Minggu, 29 Desember 2013

Polemik Larangan Ekspor Bijih Mineral Indonesia, Wujud Inkonsistensi Pemerintah?


merdeka.com
Kebijakan larangan ekspor bijih mineral mentah –dikenal dengan istilah hilirisasi- yang akan diberlakukan pemerintah mulai 12 Januari 2014 bagai buah simalakama. Mengapa? Jika diberlakukan sesuai dengan amanat Undang Undang Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka pendapatan pemerintah dari sektor sumber daya mineral akan berkurang drastis –kondisi yang ironis di tengah melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS-. Namun sebaliknya jika pemberlakuannya ditunda, maka pemerintah akan dinilai tidak konsisten.

Pemerintah memperkirakan negara akan mengalami kehilangan penerimaan negara akibat penerapan kebijakan larangan ekspor bijih mineral hingga Rp17 triliun. Kehilangan pajak dari pajak penghasilan perusahaan ekstraktif yang tidak bisa ekspor ditambah dengan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak lain mencapai Rp10 triliun.

Masalahnya kondisi ekonomi nasional saat ini dinilai sedang tidak memungkinkan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut secara bulat. Belum lagi pemerintah menengarai bahwa pemberlakuan kebijakan tersebut juga akan memunculkan potensi pemutusan hubungan kerja lantaran banyak perusahaan yang belum memiliki smelter yang siap mengolah mineral mentah.

Pemerintah sendiri bermaksud untuk memberikan nilai tambah (added value) bagi barang tambang nasional agar industri manufaktur lokal berkembang. Dengan demikian negara akan mendapatkan pemasukan akan meningkat di masa mendatang. Dengan demikian seluruh bijih mineral yang akan dieksport harus diolah di dalam negeri. Artinya semua perusahaan tambah harus memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang siap mengolah bahan mineral mentah.

Melihat kondisi hal ini, pemerintah pernah berencana memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah dengan memberikan pengecualian kepada perusahaan tambang yang serius membangun smelter. Relaksasi ini akan diatur dalam revisi PP No 24 Tahun 2012 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Pemerintah pernah meminta persetujuan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas rencana relaksasi tersebut. Namun DPR menolak dan meminta pemerintah konsekuen menjalankan kebijakan pelarangan ekspor mineral mentah tersebut. Hal tersebut malah dinilai bertentangan dengan UU Mineral dan batubara.

Atas hasil ini, maka pemerintah akhirnya memutuskan untuk meneruskan aturan larangan ini sesuai jadwal. Mesti pada akhirnya  pemerintah tetap mencoba mencari celah dalam menerapkannya, seiring dengan adanya protes dari dua perusahaan tambang Amerika Serikat, yakni Newmont dan Freeport, atas pemberlakuan aturan baru tersebut. Maklum saja, sejumlah pihak menilai Kontrak Karya (KK) atas dua tambang tersebut telah diberlakukan jauh sebelum UU Minerba dikeluarkan. Dan seharusnya KK yang telah ditandatangani bersifat mengikat. Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro Soetjipto pernah mengakui, pihaknya belum siap untuk menghentikan ekspor tambang mentah mulai tahun depan. Bila ini tetap dilakukan, maka 60% produksi tambang Freeport di Papua terancam tidak dikeruk tahun depan. Dampaknya ada 31 ribu karyawan yang terancam PHK.

Tak hanya itu, Kamar Dagang dan industri (Kadin) Indonesia telah mengirimkan surat ke Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa agar mau melonggarkan ekspor bijih mentah mineral. Pengecualian ekspor bijih mentah mineral harus diberikan ke pemilik izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) skala kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga telah meminta bantuan Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra untuk mengkaji pelonggaran pelarangan ekspor mineral dan tambang mentah. Celah itu adalah dengan mengubah Peraturan Pemerintah terkait dengan kadar pemurnian. Misalnya logam tertentu yang saat ini hanya boleh diekspor dengan kadar 99.9 persen, ke depan akan diturunkan prosentasenya.

Harus diakui pemerintah tampak tidak konsisten dalam menerapkan aturan yang telah dibuatnya. Aturan baku yang telah ditelurkan pemerintah seyogyanya dipatuhi secara konsekuen, bukan malahan mencari celah untuk tidak mentaatinya. Apalagi pemerintah sudah memberikan waktu selama lima tahun bagi para perusahaan untuk membangun smelter. Sehingga tidak heran banyak orang yang meragukan pemerintah. Untuk jangka pendek mungkin penerimaan negara akan berkurang signifikan, namun di masa mendatang akan banyak fasilitas smelter yang akan ditemukan di negeri ini.


Kepercayaan terhadap pemerintah, baik dari publik dan investor, memang tengah mengalami masa krisis. Di industri migas misalnya, sejumlah investor mengeluhkan sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap tidak kondusif dan pro investor. Padahal sektor energi dan sumber daya mineral masih sangat membutuhkan investor. Dan untuk itu, dukungan pemerintah, baik dalam bentuk kepastian kontrak ataupun kebijakan sangat memegang peranan penting.

Kamis, 12 Desember 2013

Kasus KSO Blok Migas Cepu, Lagi-lagi Dahlan Iskan dan Pertamina……..

republika.com
Sosok Menteri Negara Badan Umum Milik Negara (menneg BUMN) Dahlan Iskan memang selalu menjadi sorotan publik. Selalu ada saja yang dilakukannya, lepas positif maupun negative, sehingga mengundang perhatian masyarakat. Ketika publik masih teringat perang urat antara Dahlan dan Pertamina soal pembubaran Petral, tiba-tiba sang menteri bermanuver 180 derajat dengan mendukung perusahaan plat merah itu untuk mengelola Blok Mahakam pasca 2017. Dan kini keduanya diberitakan terlibat dalam Kerja Sama Operasi (KSO) Pertamina EP di Lapangan Limau Timur dan Lapangan Cepu yang diduga syarat penyimpangan.
Dugaan penyimpangan itu berawal dari dipilihnya Daging Oilfield Company Ltd asal Cina dan PT Geo Cepu Indonesia dalam KSO Pertamina EP, masing-masing dalam pengelolaan Lapangan Limau Timur (Asset 2) dan Lapangan Cepu (Asset 4).
Menurut pemerhati masalah kebijakan energi nasional Yusri Usman, seperti yang dilansir dari jurnas (18/11/2013), KSO Pertamina dengan pihak swasta sebenarma bisa dilakukan, namun hanya pada lapangan yang sudah tidak dioperasikan Pertamina karena membutuhkan teknologi baru dan modal besar. Sedangkan lapangan Limau dan Cepu masih produktif, sehingga tidak perlu di-KSO-kan. Yusri juga meminta seluruh karyawan untuk melaporkan tindakan jajaran direksi dan komisaris Pertamina serta Dahlan Iskan yang ikut mengetahui dan menyetujui proses bisnis tersebut.
Lain lagi dengan ulasan majalah TEMPO yang menyatakan keterlibatan perusahaan swasta dalam proyek KSO Pertamina tak lepas dari bantuan Dahlan Iskan yang meloloskan perusahaan sahabat lamanya untuk mengerjakan proyek eksplorasi sumur-sumur minyak tua milik Pertamina di Blok Cepu. Memo atau disposisi Dahlan Iskan itu dikatakan telah memuluskan jalan perusahaan asal Hongkong itu. Dan, oleh karenanya Pertamina kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp. 37 triliun. Sejumlah pihak yang dikaitkan dengan kasus ini membantah adanya katelebece dalam menentukan KSO. Semuanya diklaim sebagai bisnis murni tanpa adanya kepentingan pihak tertentu.
Lepas dari kasus tersebut, masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) memang masih merebak di Indonesia. Memang arusnya tidak sederas dahulu ketika sebelum era reformasi. Namun toh tetap saja KKN masih mendominasi dan dapat mengubah arah kebijakan pemerintah untuk memuluskan dan menguntungkan pihak-pihak tertentu.
Bukan bermaksud mengjudge Dahlan Iskan dan jajaran direksi Pertamina bersalah dalam kasus KSO Cepu, namun adanya pemberitaan itu cukup membuat orang awam tergelitik. Jika saja memang blok sekelas di-KSO-kan, bagaimana dengan nasib Blok Mahakam yang lebih sulit dan menantang?
Blok Mahakam memang terkenal memiliki karakteristik unik dan sulit. Sebagai blok yang telah berusia puluhan tahun, tidak mengherankan jika laju penurunan produksinya mencapai 50 persen per tahun. Total E&P Indonesie dan Inpex harus menggelontorkan investasi (capital expenditure) sebesar US$2,6 miliar per tahun untuk menahan laju penurunan produksi dan menjaga produksi di level 1,7 miliar barel per hari. Total tidak main-main dalam mengelola Mahakam karena memang dibutuhkan teknologi, modal dan kecakapan sumber daya manusia. Bahkan, sebagai gambaran, ketika salah satu sumur Total mengalami kebocoran, perusahaan asal Perancis itu harus memanggil tenaga ahli yang didatangkan dari Perancis untuk memastikan bahwa kebocoran tersebut tidak membahayakan.
Lalu bagaimana dengan Pertamina jika diserahkan Blok Mahakam secara penuh? Sanggup kah ia mengelolanya sebaik Total? Ini patut dijadikan tanda tanya besar.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa Pertamina adalah menjadi ATM bagi para bohir-bohir di negara ini. Sanggupkah Pertamina mempertahankan diri dari segala kepentingan segelintir orang tersebut dan hanya fokus pada kepentingan negara saja?
Mahakam bisa menjadi lahan empuk bagi para penguasa untuk dapat mengeruk keuntungan bagi pribadi. Inilah yang patut diwaspadai, selain tentunya unsur modal, teknologi dan SDM juga tak kalah penting. Untuk itu diperlukan penyeimbang, yang bisa didapatkan melalui perpanjangan Total dan Inpex di Blok Mahakam pasca 2017. Joint operatorship dengan komposisi 35:35:30 bagi Total, Inpex dan Pertamina diyakini bisa menjadi jalan keluar dari kekhawatiran adanya KKN dalam pengelolaan Mahakam.

Selain itu adanya peran operator lama dalam kontrak kerja sama yang baru diyakini juga dapat mempertahankan laju produksi Blok Mahakam itu sendiri. Dengan demikian maka pendapatan APBN dari sektor migas, khususnya Mahakam, tidak akan terganggu.

Kamis, 05 Desember 2013

Kepastian Perpanjangan Kontrak Kunci Produksi Migas Indonesia Masa Depan

tenderindonesia.com
Produksi minyak nasional Indonesia yang semakin turun terus menerus menjadi perhatian khusus bagi semua orang, khususnya stakeholder minyak dan gas. Satu-satunya jalan untuk meningkatkannya adalah dengan menggenjot kegiatan eksplorasi. Jika memang pemerintah ingin serius, mau tidak mau seluruh pekerjaan rumah yang dianggap sebagai kendala dalam berinvestasi harus segera dituntaskan. Salah satunya adalah ketentuan dalam perpanjangan Kontrak Kerja Sama.

Sektor minyak dan gas adalah salah satu sektor yang menjadi penyumbang terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pada tahun 2012, sektor ini menyumbangkan US$ 35 miliar atau sekitar 28% dari total APBN. Tak hanya itu, terdapat investasi langsung (direct investment) sebesar US$ 16 miliar yang didapat pemerintah dari sektor ini.

Tak cukup sampai disitu, sektor migas juga menyediakan kesempatan kerja untuk lebih dari 300.000 orang dan lapangan kerja tidak langsung yang sangat besar dan juga memberikan kontribusi signifikan untuk kegiatan corporate social responsibility (CSR). Terakhir, industri migas adalah pembayar pajak pendapatan perusahaan paling tinggi (corporate income tax rate) hingga 50 persen. Nah di tahun 2013 ini, sebesar $23 miliar direct investment telah dianggarkan dan kontribusi ke APBN diperkirakan mencapai US$32 miliar.

Masalahnya sejumlah masalah sangat mengancam produksi minyak nasional. Seperti diketahui produksi minyak Indonesia saat ini terus menurun dari tahun ke tahun. Sedangkan kebutuhan energi terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Kebutuhan energi Indonesia diperkirakan akan meningkat tiga kali dari sekarang di tahun 2022 atau setara dengan 8,3 juta barel setara minyak per hari.

Kesenjangan antara produksi migas dan kebutuhan energi akan terus membesar. Bahkan kesenjangan itu akan melampaui 3 juta barel setara minyak per hari di tahun 2030. Oleh karenanya sumber daya energi di Indonesia harus segera dimanfaatkan.

Bagaimana cara memanfaatkannya? Tentunya dengan menggenjot investasi. Kebutuhan investasi di sektor migas diperkirakan akan membutuhkan dana yang sangat besar, yaitu mencapai US$ 28 miliar per tahun. Hal tersebut akan dipergunakan untuk memebuhi kebutuhan energi nasional.

Meski demikian, ternyata masih terdapat isu-isu pokok industri hulu migas yang menjadi perhatian para stakeholder migas, khususnya Indonesian Petroleum Association. Salah satunya ada penerapan prinsip 3K, yaitu kejelasan, konsistensi dan kepastian dalam semua peraturan dan ketentuan di sektor migas. Ketentuan dalam perpanjangan Kontrak Kerja Sama (KKS) misalnya menjadi sorotan utama. Hal ini tak lepas dari investasi hulu migas yang merupakan investasi jangka panjang sehingga investor memerlukan kepastian atas kontrak-kontak yang sudah ditandatangani.

Kepastian mengenai masalah perpanjangan kontrak demi kesinambungan produksi suatu lapangan sangat penting. Dan tentunya kepastian jauh sebelum masa kontrak berakhir akan sangat membantu dalam kesinambungan produksi suatu lapangan. Selain itu pemerintah diharapkan memperlihatkan proses yang transparan dalam menentukan diperpanjang atau tidaknya suatu kontrak. Kasus tidak diperpanjangnya KKKS Chevron di Blok Siak pada detik-detik terakhir, bisa menjadi pembelajaran sendiri, karena hal tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah tidak bisa memberikan kepastian investasi bagi para penanam modal.

IPA mencatat bahwa dalam lima tahun mendapat terdapat sekitar 20 perusahaan minyak yang masa kontraknya akan habis dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Dan pengaruhnya terhadap produksi minyak nasional mencapai 30 persen. Sedangkan dalam 10 tahun mendatang, kontrak yang akan habis mencapai equivalent 61 persen atau setara dengan sekitar 601.000 barel oil equivalent per day (setara minyak per hari) terhadap produksi migas nasional. Sedangkan produksi migas nasional saat ini hanya mencapai sekitar 2 juta barrel setara minyak per hari.

“IPA sangat mengharapkan pemerintah membuat kebijakan kapan perusahaan migas bisa mengajukan proposal perpanjangan dan kapan kepastian perpanjangan itu diberikan,” ujar Presiden IPA Lukman Mahfoedz.

Kepastian perpanjangan kontrak sangat dibutuhkan bagi kesinambungan produksi suatu blok itu sendiri. Dapat dibayangkan jika tanpa kepastian, maka investor tidak akan menanamkan modal untuk pengembangan blok tersebut. Hal ini pernah terjadi pada blok West Madura Offshore, dimana operator terdahulunya yaitu Kodeco tidak lagi menginjeksikan dana investasi pengembangan akibat ketidakpastian perpanjangan kontrak dari pemerintah. Akibatnya produksi blok tersebut jeblok dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai angka produksi normal.

Tentunya kita tidak ingin kasus serupa terjadi di Blok Mahakam. Blok yang akan habis masa kontraknya pada tahun 2017 hingga kini masih menunggu nasib. Operatornya Total E&P Indonesie bersama partnernya Inpex Corp telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak 2008. Namun hingga kini pemerintah belum memberikan keputusan. Padahal Mahakam adalah salah satu sumber pendapatan APBN karena banyak memberikan kontribusi terhadap berjalannya Badak LNG plant yang mengekspor LNG ke sejumlah negara Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Jika saja produksi Mahakam jeblok, jangan harap APBN Indonesia bisa selamat.

Kini keputusan ada di tangan pemerintah, apakah ingin revenue bagi APBN tetap berjalan mulus atau terseok-seok. Yang pasti, apapun keputusannya, peran Total di kontrak yang baru mutlak diperlukan demi menjaga kesinambungan produksi Blok Mahakam.


Kamis, 28 November 2013

Insentif, Kendala Utama Pengembangan Proyek Energi di Indonesia

Insentif adalah hal yang sering didengung-dengungkan investor dalam menentukan pilihan untuk berinvestasi. Jika paket insentif yang dimiliki suatu negara dianggap tidak menarik, jangan harap investor akan bersedia membelanjakan uangnya di negara tersebut.

Indonesia tengah berjuang keras mengembangkan sejumlah proyek energi seiring peningkatan konsumsi dalam negeri. Sejumlah proyek, baik dari hulu maupun hilir, tengah dirancang untuk direalisasikan. Namun nyatanya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan karena pengembangannya membutuhkan sejumlah insentif agar return of investment dapat terjamin.

Sebut saja, proyek hulu yang dimotori oleh Pertamina, yaitu Blok East Natuna. Proyek pengerjaan gas di Blok East Natuna tersebut akan menjadi proyek gas besar di Indonesia, selain Blok Masela di Maluku. Masalahnya proyek yang digadang-gadang sebagai salah satu pemasok gas andalan Indonesia di masa mendatang itu hingga kini terkatung-katung, padahal rencana awalnya Natuna diharapkan bisa mulai konstruksi tahun ini sehingga produksi awal diperkirakan tahun 2018.

Namun apa daya, proyek tersebut masih mengalami kendala dengan terganjalnya insentif yang belum keluar dari Kementerian Keuangan. Salah satu insentif yang masih mengganjal adalah insentif pembebasan pajak (tax holiday) selama lima tahun yang diminta oleh konsorsium Blok East Natuna. Permintaan tax holiday yang diminta oleh konsorsium betujuan agar proyek dapat mencapai internal rate of return (IRR) 12 persen. Namun hingga kini Kementrian Keuangan belum mengabulkan proposal tersebut karena menganggap tax holiday dalam industri migas sudah masuk dalam cost recovery.

Tanpa adanya persetujuan dari Kementrian Keuangan, maka Kontrak Kerja Sama Blok East Natuna antara Pertamina dan pemerintah tidak dapat ditandatangani. Molornya penandantangan tersebut juga akan mengakibatkan mundurnya pengerjaan proyek blok ini. Kini, nasib proyek tersebut masih terkatung-katung menanti kejelasan Kementerian Keuangan terkait insentif.

Blok East Natuna sendiri memiliki cadangan gas yang mencapai 222 triliun cubic feet (TCF), dimana 75 persennya mengandung CO2. Dengan demikian hanya 70 TCF lah cadangan gas di Blok East Natuna yang dapat diproduksikan. Adapun biaya pengembangannya diperkirakan membutuhkan dana sekitar $20 miliar mengingat kandungan CO2nya yang sedemikian besar. Saat ini participating interest Blok East Natuna terdiri dari PT Pertamina (35 persen), ExxonMobil (35%), Total EP (15%), dan PTT Thailand (15%).

Terganjalnya masalah insentif di industri migas bukan hanya terjadi pada Blok East Natuna saja, melainkan juga pada beberapa blok migas. Jika mereka tidak secara spesifik meminta tax holiday, namun banyak yang mengeluhkan rezim perpajakan migas Indonesia yang dianggap tidak menarik. Ada lagi selain itu, yaitu pola bagi hasil migas dianggap kalah bersaing dibandingkan negara lain. Saat ini Indonesia menganut pola bagi hasil sebesar 85:15 untuk minyak, dimana pemerintah akan mendapatkan bagian 85 persen, sedangkan sisanya investor, yaitu sebesar 15 persen.

Itu masih masalah yang terkait dengan sektor hulu. Bagaimana dengan sektor hilir? Sama saja. Kendalanya masih terkait dengan masalah insentif. Sebut saja proyek pengembangan kilang yang juga tengah direncanakan Pertamina, hingga kini jauh dari selesai. Permintaaan calon rekanan bisnis perusahaan plat merah Indonesia, yaitu Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum Corporation, untuk menikmati tax holiday ditolak mentah-mentah oleh Kementrian Keuangan. Akhirnya proyek pembangunan kedua kilang berkapasitas total 900 ribu barel per hari tersebut hanya tinggal wacana, meski Pertamina mengaku tetap akan maju dengan proyek tersebut melalui proses lelang.

Jika ditarik benang merahnya, kendala utama dari pengembangan proyek energi di Indonesia adalah insentif. Dengan faktor keekonomian yang semakin menipis, sudah tentu investor menginginkan kepastian bahwa investasinya akan kembali. Di sektor hulu misalnya, lokasi suatu blok sangat menentukan faktor keekonomiannya, pangsa pasar, harga jual, ketersediaan infrastruktur, dan faktor lainnya. Jika saja hal-hal tersebut sulit untuk dicapai, tentunya sangat wajar bila investor menginginkan insentif yang lebih.

tender-indonesia.com
Demikian pula di sektor hilir, pembangunan kilang saat ini dianggap tidak lagi menjanjikan. Investasinya sangat besar, bisa mencapai puluhan miliar dollar, padahal harga produk terkadang lebih murah ketimbang mengolah minyak mentah. Jadi tak heran jika investor menginginkan kepastian insentif di muka agar dapat meraih laba dari proyek tersebut.


Sekarang permasalahannya ada di tangan pemerintah. Apakah ingin pengembangan proyek energy mandek karena tidak bersedia mengabulkan tax holiday? Atau bersedia memberikan insentif, namun pengembangan proyek migas, baik hulu maupun hilir, dapat terlaksana? Yang harus diingat, dengan pertumbuhan penduduk yang sedemikian dashyat, rasanya sulit bagi Indonesia untuk terus-terusan bergantung dari impor.