merdeka.com |
Kebijakan
larangan ekspor bijih mineral mentah –dikenal dengan istilah hilirisasi- yang
akan diberlakukan pemerintah mulai 12 Januari 2014 bagai buah simalakama. Mengapa?
Jika diberlakukan sesuai dengan amanat Undang Undang Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, maka pendapatan pemerintah dari sektor sumber
daya mineral akan berkurang drastis –kondisi yang ironis di tengah melemahnya
nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS-. Namun sebaliknya jika pemberlakuannya
ditunda, maka pemerintah akan dinilai tidak konsisten.
Pemerintah memperkirakan negara akan
mengalami kehilangan penerimaan negara akibat penerapan kebijakan larangan
ekspor bijih mineral hingga Rp17 triliun. Kehilangan pajak dari pajak
penghasilan perusahaan ekstraktif yang tidak bisa ekspor ditambah dengan pajak
pertambahan nilai (PPN) dan pajak lain mencapai Rp10 triliun.
Masalahnya kondisi ekonomi nasional saat
ini dinilai sedang tidak memungkinkan untuk mengimplementasikan kebijakan
tersebut secara bulat. Belum lagi pemerintah menengarai bahwa pemberlakuan
kebijakan tersebut juga akan memunculkan potensi pemutusan hubungan kerja
lantaran banyak perusahaan yang belum memiliki smelter yang siap mengolah mineral
mentah.
Pemerintah
sendiri bermaksud untuk memberikan nilai tambah (added value) bagi barang tambang nasional agar
industri manufaktur lokal berkembang. Dengan demikian negara akan mendapatkan pemasukan akan
meningkat di masa mendatang. Dengan demikian seluruh bijih mineral yang akan
dieksport harus diolah di dalam negeri. Artinya semua perusahaan tambah harus
memiliki fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang siap mengolah bahan mineral
mentah.
Melihat kondisi hal ini, pemerintah
pernah berencana memberikan kelonggaran ekspor mineral mentah dengan memberikan
pengecualian kepada perusahaan tambang yang serius membangun smelter. Relaksasi
ini akan diatur dalam revisi PP No 24 Tahun 2012 tentang pelaksanaan kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara.
Pemerintah pernah meminta persetujuan
Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas rencana relaksasi tersebut. Namun
DPR menolak dan meminta pemerintah konsekuen menjalankan kebijakan pelarangan
ekspor mineral mentah tersebut. Hal tersebut malah dinilai bertentangan dengan
UU Mineral dan batubara.
Atas
hasil ini, maka pemerintah akhirnya memutuskan untuk meneruskan aturan larangan
ini sesuai jadwal. Mesti pada akhirnya
pemerintah tetap mencoba mencari celah dalam menerapkannya, seiring dengan
adanya protes dari dua perusahaan tambang Amerika Serikat, yakni Newmont dan
Freeport, atas pemberlakuan aturan baru tersebut. Maklum saja, sejumlah pihak
menilai Kontrak Karya (KK) atas dua tambang tersebut telah diberlakukan jauh
sebelum UU Minerba dikeluarkan. Dan seharusnya KK yang telah ditandatangani
bersifat mengikat. Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Boedioro
Soetjipto pernah mengakui, pihaknya belum siap untuk menghentikan ekspor
tambang mentah mulai tahun depan. Bila ini tetap dilakukan, maka 60% produksi
tambang Freeport di Papua terancam tidak dikeruk tahun depan. Dampaknya ada 31
ribu karyawan yang terancam PHK.
Tak
hanya itu, Kamar Dagang dan industri (Kadin)
Indonesia telah mengirimkan surat ke Menteri Koordinator Perekonomian Hatta
Rajasa agar mau melonggarkan ekspor bijih
mentah mineral. Pengecualian ekspor
bijih mentah mineral harus diberikan ke pemilik izin usaha pertambangan
(IUP) dan IUP Khusus (IUPK) skala kecil yang memiliki keterbatasan sumber daya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga telah meminta bantuan Pakar
Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra untuk mengkaji pelonggaran pelarangan
ekspor mineral dan tambang mentah. Celah itu adalah dengan mengubah Peraturan Pemerintah
terkait dengan kadar pemurnian. Misalnya logam tertentu yang saat ini hanya
boleh diekspor dengan kadar 99.9 persen, ke depan akan diturunkan
prosentasenya.
Harus
diakui pemerintah tampak tidak konsisten dalam menerapkan aturan yang telah
dibuatnya. Aturan baku yang telah ditelurkan pemerintah seyogyanya dipatuhi
secara konsekuen, bukan malahan mencari celah untuk tidak mentaatinya. Apalagi
pemerintah sudah memberikan waktu selama lima tahun bagi para perusahaan untuk
membangun smelter. Sehingga tidak heran banyak orang yang meragukan pemerintah.
Untuk jangka pendek mungkin penerimaan negara akan berkurang signifikan, namun
di masa mendatang akan banyak fasilitas smelter yang akan ditemukan di negeri
ini.
Kepercayaan
terhadap pemerintah, baik dari publik dan investor, memang tengah mengalami
masa krisis. Di industri migas misalnya, sejumlah investor mengeluhkan sejumlah
kebijakan pemerintah yang dianggap tidak kondusif dan pro investor. Padahal
sektor energi dan sumber daya mineral masih sangat membutuhkan investor. Dan
untuk itu, dukungan pemerintah, baik dalam bentuk kepastian kontrak ataupun
kebijakan sangat memegang peranan penting.