Minggu, 28 Desember 2014

Hilangkan Premium di Indonesia

Tim Reformasi Tata Kelola Migas mengusulkan pemerintah untuk menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Artinya, PT Pertamina (Persero) harus menghentikan impor jenis bensin RON 88. Sebagai gantinya Pertamina harus menggantikannya dengan memperbanyak impor produk Pertamax RON 92.

Salah satu latar belakang dikeluarkannya rekomendasi tersebut adalah formula penghitungan harga indeks pasar untuk premium dan solar berdasarkan data masa lalu yang sudah relatif lama sehingga tidak mencerminkan kondisi terkini. Publikasi internasional saat ini pun tidak mencatumkan  RON 88. Produk ini dinilai tidak transparan dan likuiditas di market pun tidak banyak. Adapun yang ada di pasar internasional saat ini adalah bensin RON 92 karena memang produk inilah yang banyak diperdagangkan di pasar internasional. Dengan demikian, mekanisme penetapan harga pasar jauh lebih transparan dibanding menggunakan Mogas 88

Tidak transparannya penghitungan jenis BBM tersebut diperkirakan bisa memicu terjadinya mafia. Praktek tidak transparan ini pada akhirnya akan menimbulkan kerugian yang tentu saja merugikan banyak orang. Maka tidak heran jika Tim Reformasi merekomendasikan penghapusan impor premium 88.

Harga minyak mentah dunia saat ini berada masih dalam tren melemah. Akibatnya, selisih harga keekonomian bensin Ron 88 dengan bensin non subsidi seperti Pertamax 92 sudah tipis. Melemahnya harga minyak dunia, tipe Brent hingga Texas, bisa dipakai menghapus dan mengganti bensin jenis Ron 88 menjadi bensin jenis Ron 92. Disamping selisih harga rendah, selama ini bensin Ron 88 merupakan produk minyak Ron 92 yang diturunkan kualitasnya.

Ke depan, Faisal berpadangan sebaiknya subsidi BBM memakai skema subsidi tetap atau fix. Hal ini bisa membantu pemerintah di dalam mengerem bocornya alokasi anggaran subsidi di APBN jika harga minyak dunia kembali melonjak.

Meski demikian Tim Reformasi menyadari bahwa proses transisi kemungkinan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat dan tim akan memberikan tenggat waktu hingga lima bulan ke depan.

Lalu mungkinkah rekomendasi tersebut diaplikasikan? Pertamina sendiri menyatakan bahwa rekomendasi tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan dilakukan secara bertahap. Hal ini terkait dengan produksi kilang Pertamina untuk Ron 92 yang dibutuhkan nasional juga masih belum mencukupi, di mana hanya 200.000 barel per bulan. Terbatasnya produksi dari kilang Pertamina tersebut membuat perusahaan pelat merah ini tetap melakukan impor Ron 92.
Dalam jangka panjang mungkin memang Pertamina dapat melakukan penghapusan premium karena terkait dengan rencana perusahaan untuk melakukan upgrade kilang-kilangnya.

Perusahaan plat merah tersebut telah menandatangani empat Nota Kesepahaman dengan tiga perusahaan minyak dan gas global, yakni Saudi Aramco, Sinopec dari China dan JX Nippon Oil and Energy Corporation dari Jepang untuk kerjasama peningkatan kapasitas dan upgrade lima kilang terpilih di Indonesia melalui konsep Refining Development Master Plan (RDMP). Ekspansi dan upgrade kilang-kilang tersebut diperkirakan memerlukan investasi yang signifikan, yaitu sekitar $25 miliar selama sepuluh tahun ke depan.

Proyek-proyek ini diharapkan dapat melipatgandakan kapasitas produksi kilang. Hal ini dapat diwujudkan melalui peningkatan kompleksitas kilang untuk meningkatkan hasil produksi bahan bakar utama, dan pelipatgandaan kapasitas unit pengolahan minyak mentah (CDU) dari 820.000 barrel per hari (bph) menjadi 1,680 juta bph.

Secara khusus, produksi bensin akan meningkat sebanyak 3,3 kali lipat dari 190.000 bph menjadi 630.000 bph, produksi diesel akan meningkat sebanyak 2,4 kali dari 320.000 bph menjadi 770.000 bph, dan produksi bahan bakar avtur akan meningkat dari 50.000 bph menjadi 120.000 bph dimana fase akhir dari proyek diperkirakan akan selesai di tahun 2025.

Dilihat dari angka kapasitas produksi yang akan meningkat dua kali lipat, memang proyek modifikasi kilang ini sangat menarik. Investasinya jauh lebih murah dibandingkan dengan membangun kilang yang baru, namun sama-sama dapat memberikan nilai tambah dan bahkan mengurangi angka impor di masa mendatang.


Nah jika proyek-proyek tersebut telah selesai digarap, maka niscaya penghapusan premium akan mudah untuk diimplementasikan.

Selasa, 16 Desember 2014

Pelemahan Nilai Tukar Rupiah, Bayang-bayang Krisis Dan Pengaruhnya Terhadap Investasi

Pelemahan nilai tukar rupiah beberapa minggu belakangan ini sudah dalam tahap mengkhawatirkan.  Setelah melewati batas psikologis di level Rp 12.000 terhadap dollar AS, nilai tukar Rupiah melemah ke level 12.700an dan bahkan hampir mencapai angka Rp 13.000 pada Selasa (16/12/3014). Jelas, ini adalah angka terburuk sejak krisis moneter menghantam Indonesia pada tanun 1998. Apakah penyebabnya? Akankah krisis berulang? Lalu bagaimana pengaruhnya terhadap investasi di Indonesia?

Penguatan dolar itu membuat rupiah jatuh hingga ke titik terendahnya sejak Agustus 1998. Banyak spekulasi yang memperkirakan penyebab dari melorotnya mata uang Rupiah. Semuanya adalah kombinasi antara faktor intenal dan eksternal, domestik dan internasional. Ada pengamat yang mengatakan bahwa pelemahan rupiah terhadap dollar AS akibat perekonomian negeri Paman Sam mengalami perbaikan. Pemerintah di sana, mampu meningkatkan jumlah pekerja hingga lima persen. Atas dasar tersebut, maka dollar AS menguat dan berimbas pelemahan mata uang negara lain. Selain itu, hal tersbut juga sebagai imbas dari arah perekonomian global yang berbalik ke Amerika setelah penghentian kucuran stimulus The Fed.

Sementara pengamat lain menilai bahwa anjloknya nilai tukar rupiah disebabkan rendahnya confidence terhadap macro economic management pemerintahan Jokowi. Selain itu inflasi setelah kenaikan Harry bahan bakar minyak ternyata melampaui ekspektasi sehingga Rupiah terjun bebas.

Meski demikian Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih wajar. Pemerintah belum berencana mengintervensi tren pergerakan tersebut. Bahkan menurut Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Sofyan Djalil, cadangan devisa Indonesia yang saat ini US$ 111 miliar diperkirakan bisa habis jika Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi terhadap pelemahan rupiah atas dolar AS. Tentunya ini kontradiktif dengan keinginan pemerintah yang ingin melakukan penghematan, salah satunya dengan menaikkan harga BBM. 

Meski demikian Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi pasar yang cukup besar untuk menjaga nilai tukar rupiah yang tertekan dalam 2 hari terakhir. Perry Warjiyo, Deputi Gubernur BI, mengatakan bank sentral sudah melakukan intervensi senilai Rp 1,7 triliun. Akibatnya, Rupiah ditutup di level sekitar Rp 12.600an pada 16 Desember 2013.

Akankah keadaan ini dapat menyebabkan krisis ekonomi kembali menghantam Indonesia? Banyak yang memperkirakan keadaan saat ini berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1998. Pasalnya dollar AS yang kuat akan berpengaruh positif pada neraca perdagangan Indonesia. Tren tersebut akan mengerem volume impor, sekaligus mendorong penerimanaan dari ekspor. Apalagi, pelemahan mata uang bukan hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di negara lainnya.

Rusia dan Brazil, dua negara yang masuk kategori negara emerging market mengalami depresiasi kurs hingga 48% dan 12% sepanjang Januari hingga Desember ini. Di Asia, yen Jepang anjlok hingga 10%. Adapun kondisi rupiah masih lebih baik karena sepanjang tahun ini hanya mengalami pelemahan pada kisaran 5%.

Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan, posisi rupiah akan kembali stabil setelah ada kepastian waktu dan besaran kenaikan suku bung the Fed. Hal ini berbeda dengan kejadian tahun 1998, dimana masalah perekonomian dan politik nasional turut mendorong terjadinya krisis tersebut.

Lalu bagaimana kaitannya pelemahan rupiah terhadap investasi?  Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani meyakini pelemahan Rupiah tidak menggoyahkan minat investasi di Indonesia.

BKPM menilai rencana investasi yang akan datang masih akan sangat tinggi, mengingat minat para investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Terlebih setelah pidato Presiden Joko Widodo dalam pertemuan APEC di Beijing, Tiongkok, beberapa waktu lalu. Para investor melihat pemerintah yang baru terpilih telah memberikan harapan baru terkait investasi. Hal itu ditunjukkan dengan komitmen pemerintah memperbaiki iklim investasi melalui penyederhanaan sistem perizinan satu atap serta pengkajian masalah lahan. Beberapa sektor yang begitu diminati para investor di antaranya yakni infrastruktur dan industri padat karya.

Sementara di sektor minyak dan gas, kalaupun ada penundaan investasi, itu semata-mata karena harga minyak yang terus tergerus. Meski demikian pemerintah diminta tetap melakukan perbaikan iklim investasi migas agar investor tidak hengkang dari Indonesia. Apa saja perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah?

Direktur Indonesian Petroleum Association Lukman Mahfoedz mengungkapkan bahwa kondisi saat ini sebaiknya digunakan pemerintah untuk memperbaiki prosedur investasi migas. Penyederhanaan proses harus dilakukan sambil menunggu perbaikan dan kenaikan harga minyak mentah ke posisi di US100/barrel. Pada saat itu investor diyakini akan kembali berbondong-bondong untuk berinvestasi.

Selain masalah perijininan, banyak pihak yang mengharapkan pemerintah dapat memberikan kepastian kepada investor terkait perpanjangan blok migas yang akan habis. Masalah Blok Mahakam misalnya, masalah ini sudah terlalu lama didiamkan dan untuk itu diharapkan pemerintah segera mengambil keputusan begitu Pertamina selesai mengajukan proposal pengembangannya. Yang harus diingat, Total dan Inpex telah berkomitmen untuk berinvestasi di blok tersebut sebesar US$ 7.3 miliar jika kontraknya diperpanjang. Angka ini sangat besar, apalagi ketika bisnis migas tidak semenarik dulu ketika harga minyak masih tinggi.

Mari kita nanti proposal Pertamina dan keputusan pemerintah. Semoga hasilnya dapat memberikan kemaslahatan bagi masyarakat melalui kepastian produksi yang tidak jeblok di blok tersebut.


Kamis, 11 Desember 2014

Harga Minyak, Investasi Migas dan Mahakam

Harga minyak dunia yang terus terjun bebas di bawah level US$70/barrel menyebabkan investasi minyak dan gas dunia, terutama Indonesia, terancam. Banyak perusahaan migas yang memilih untuk menunda rencana investasinya  karena menilai harga minyak saat ini kurang ekonomis. Pendeknya, prospek investasi proyek migas tahun depan diperkirakan kurang bergairah. Lalu bagaimana kaitannya dengan Mahakam?

Indonesian Petroleum Association (IPA) memperkirakan nilai investasi sektor hulu minyak dan gas bumi tahun depan akan turun sebesar 20 persen menjadi US$ 25,6 miliar dibandingkan proyeksi investasi tahun ini sebesar US$ 32 miliar. Sementara untuk level global, terdapat sejumlah proyek-proyek hulu migas besar di negara lain senilai US$ 150 miliar juga akan mengalami penundaan investasi.

Sementara tanpa adanya penurunan harga minyak tersebut, realisasi investasi di industri migas per Agustus lalu baru mencapai US$ 8 miliar dari target US$ 15 miliar. Sedangkan realisasi investasi di eksplorasi sendiri baru mencapai 40 persen dari target US$ 2 miliar.

PT Medco E&P Indonesia, anak usaha Medco Energi sendiri telah memutuskan untuk tidak menambah jumlah produksi migas tahun depan akibat harga minyak yang rendah. Sepanjang 2015 mendatang, Medco menargetkan akan memproduksi migas sebesar 60,000 barel oil equivalent per day (BOEPD) seperti target produksinya tahun ini.

Perusahaan migas menilai angka yang ekonomis untuk mengembangkan suatu lapangan adalah jika harga minyak berada di kisaran minimal US$80/barrel. Jika di bawah itu, maka investasi proyek migas juga akan ikut keok. Sementara sejumlah pengamat memprediksi bahwa harga minyak akan terus anjlok hingga mencapai angka US$50/barrel.

Adanya ancaman penundaan investasi migas di Indonesia, sudah barang tentu akan juga mengancam pendapatan pemerintah. Produksi dipastikan bakal jeblok, APBN tergoncang dan akibatnya bukan tak mungkin subsidi akan semakin dikurangi. Beban akan semakin berat.

Lalu apa hubungannya semua ini dengan Mahakam? Ya ini tak jauh dari komitmen operator saat ini, yaitu Total dan partnernya Inpex untuk menginjeksikan dana sebesar US$ 7,3 milliar jika kontrak Mahakam diperpanjang. Belum lagi, perusahaan ini biasa mengalokasikan US$ 2,5 milliar per tahun untuk pengembangan Mahakam. Di tengah ketidakpastian komitmen perusahaan migas asing akibat harga minyak turun, tentunya komitmen Total itu ibarat angin surga. Dan tentu saja, ini akan membantu keuangan pemerintah secara signifikan.

Pertamina mungkin saja memiliki kemampuan untuk menginjeksikan dana di Mahakam. Tapi dana sebesar US$ 2,5 milliar per tahun tentunya bukan main-main. Alangkah sangat baiknya jika Pertamina membagi resiko dan investasi bersama Total dalam mengembangkan Mahakam pasca 2017.

Sharing the risk atau berbagi resiko dalam mengelola suatu lapangan sudah jamak dilakukan oleh perusahaan migas, bahkan berkelas dunia pun. Misalnya BP di Tangguh yang memiliki sejumlah partner, seperti misalnya Mitsui dan Inpex. Ada juga Blok Muara Bakau dimana Eni berkongsi dengan GDZ Suez, dan masih banyak sederet blok yang dikelola perusahaan migas kelas nasional dengan partnernya.

Singkatnya, tidak memegang saham 100% bukan berarti kekalahan bagi suatu perusahaan. Bahkan bisa jadi hal tersebut akan memberi nilai tambah. Di sisi lain Pertamina juga dapat mengalokasikan sebagai dana investasinya untuk blok-blok lain di luar negeri, misalnya dengan melakukan merger dan akusisi.


Berkongsi dalam mengelola blok migas di tengah ketidakpastian harga minyak ini merupakan pilihan yang terbaik. Pertamina tidak harus menanggung resiko sendirian, melainkan dengan Total. Dan Total dengan pengalamannya akan banyak mengajarkan masalah teknologi dan expertise kepada Pertamina yang bisa dijadikan modal di masa mendatang.

Kamis, 04 Desember 2014

Menanti Proposal Pengelolaan Mahakam Pertamina

Dalam tiga bulan dari sekarang Pertamina akan menyampaikan proposal pengelolaan Blok Mahakam. Saat ini perusahaan plat merah tersebut tengah membuka data room dan melakukan study apa yang terbaik dilakukan dalam mengelola blok tersebut. Akankah Pertamina akan mengelolanya sendirian atau tetap akan menggandeng Total?

Masyarakat Indonesia dan juga tentunya Total dan Inpex telah menanti kepastian status pengelolaan Mahakam sejak tahun 2008. Namun nyatanya pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono -di dua kali masa kepemimpinannya- gagal mengambil keputusan krusial tersebut. Padahal keputusan cepat tersebut sangat penting karena menyangkut masa depan produksi terkait dengan rencana investasi dan pengelolaan blok dalam jangka panjang.

Lepas dari itu semua, mari kita lihat bagaimana peran Mahakam dalam postur APBN kita. Pertama, bisa dilihat dari kontribusi produksinya yang membantu pendapatan negara. Menurut Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), satu-satunya kabar menggembirakan di sektor migas saat ini -di tengah terus turunnya produksi minyak nasional- adalah angka lifting gas bumi yang diperkirakan mencapai target.

Hingga akhir Oktober 2014 lifting gas bumi nasional yang telah menyentuh angka 7,085 miliar British thermal unit per hari (BBTUD) atau 99,8 persen dari target  7,099 BBTUD yang ditetapkan dalam APBN-P tahun 2014.  Kontribusi lifting gas terbesar berasal dari lima kontraktor kontrak kerja sama (Kontraktor KKS), yaitu Total E&P Indonesie, ConocoPhillips (Grissik) LTD, PT Pertamina EP, BP Berau LTD, dan PetroChina International Jabung LTD. Kelila Kontraktor KKS ini berkontribusi melebihi 75 persen dari total lifting gas.

Di tahun 2013 saja, pemerintah setidaknya mendapatkan bagian sebesar Rp 45 trilliun dari Mahakam. Angka tersebut jauh lebih besar ketimbang Total ataupun Inpex yang masing-masing hanya sebesar Rp 15 triliun. Bagian pemerintah tahun ini memang mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 63 triliun, seiring dengan makin menurunannya produksi dari Mahakam dan biaya (cost) per barrel yang semakin meningkat.

Mahakam mengalokasikan sekitar 35 persen produksinya untuk domestik, seperti kebutuhan industri lokal dan rumah tangga sekitar. Bahkan jumlah kontribusi Mahakam pada pemenuhan gas domestik pada tahun 2019 diperkirakan akan meningkat, mencapai lebih dari 50 persen.

Saat ini Mahakam memasok 3.960 rumah tangga di wilayah Bontang dengan volume gas sejumlah 1.500 MMBTU per hari, terhitung sejak 28 Januari 2013 hingga 2017. Pasokan tersebut dialirkan melalui PT Bontang Migas dan Energi (BME) yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kota Bontang.

Tak hanya itu, selama ini Mahakam juga memasok gas produsen listrik swasta di Bontang melalui PT Bontang Migas Energi serta Perusahaan Listrik Negara Kanaan. Mahakam juga memasok gas bumi ke berbagai industri kimia, pupuk di Kaltim dan Jawa –melalui fasilitas LNG terapung (floating storage and receiving unit) milik PT Nusantara Regas- serta LPG domestik. Mahakam juga memenuhi pasokan gas bumi bagi perusahaan listrik swasta (Independent Power Producer) untuk Bontang dengan kapasitas enam megawatts.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Total dan Inpex saat ini telah menjadi bagian penting sebagai pemasok gas bumi untuk proyek pemerintah. Dan proyek gas bumi untuk rumah tangga saat ini telah dilaksanakan di tujuh kota, dan Bontang merupakan kota ke tujuh,. Hal ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepakatan antara Total E & P Indonesia dan Inpex Corporation dengan Direktorat Jenderal Migas pada 6 April 2011 sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.

Selain untuk memenuhi kebutuhan domestik, Mahakam juga memasok gas untuk PT Badak NGL yang mengelola kilang Bontang. Mahakam memasok sekitar dua per tiga dari total kebutuhan PT Badak. Selanjutnya gas yang telah diolah menjadi LNG tersebut akan dikirimkan ke sejumlah negara yang terikat kontrak dengan Indonesia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.

Akankah perpindahan operatorship akan mengganggu keberlangsungan kontribusi Mahakam selama ini? Tentu saja potensi ke arah itu sangat terbuka lebar. Bagaimanapun juga perpindahan operatorship membutuhkan masa transisi, yang durasinya bisa mencapai 5-10 tahun. Tampaknya akan sulit rasanya perpindahan operatorship tanpa masa transisi akan dapat berjalan smooth dan tidak berpengaruh terhadap produksi. Makanya joint operation bisa jadi merupakan solusi ideal yang dapat diambil untuk mengatasi dilema masalah Blok Mahakam.


Kini keputusan tersebut ada di tangan Pertamina dan pemerintah. Harapan rakyat tentu saja, keputusan yang diambil tidak hanya berlandaskan ego sektoral, melainkan keberlangsungkan kontribusi Mahakam terhadap keuangan negara.