Insentif adalah hal yang sering didengung-dengungkan investor
dalam menentukan pilihan untuk berinvestasi. Jika paket insentif yang dimiliki
suatu negara dianggap tidak menarik, jangan harap investor akan bersedia
membelanjakan uangnya di negara tersebut.
Indonesia tengah berjuang keras
mengembangkan sejumlah proyek energi seiring peningkatan konsumsi dalam negeri.
Sejumlah proyek, baik dari hulu maupun hilir, tengah dirancang untuk direalisasikan.
Namun nyatanya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan karena
pengembangannya membutuhkan sejumlah insentif agar return of investment dapat terjamin.
Sebut saja, proyek hulu yang dimotori
oleh Pertamina, yaitu Blok East Natuna. Proyek
pengerjaan gas di Blok East Natuna tersebut akan menjadi proyek gas besar di
Indonesia, selain Blok Masela di Maluku. Masalahnya proyek yang digadang-gadang sebagai salah satu pemasok gas
andalan Indonesia di masa mendatang itu hingga kini terkatung-katung, padahal
rencana awalnya Natuna diharapkan bisa mulai konstruksi tahun ini sehingga
produksi awal diperkirakan tahun 2018.
Namun apa daya, proyek tersebut masih mengalami kendala dengan terganjalnya insentif yang belum
keluar dari Kementerian Keuangan. Salah satu insentif yang masih mengganjal adalah
insentif pembebasan pajak (tax holiday) selama lima tahun yang diminta oleh konsorsium Blok
East Natuna. Permintaan tax holiday
yang diminta oleh konsorsium betujuan agar proyek dapat mencapai internal rate of return (IRR) 12 persen.
Namun hingga kini Kementrian Keuangan belum mengabulkan proposal tersebut
karena menganggap tax holiday dalam
industri migas sudah masuk dalam cost
recovery.
Tanpa adanya persetujuan dari
Kementrian Keuangan, maka Kontrak Kerja Sama Blok East Natuna antara Pertamina
dan pemerintah tidak dapat ditandatangani. Molornya penandantangan tersebut
juga akan mengakibatkan mundurnya pengerjaan proyek blok ini. Kini, nasib
proyek tersebut masih terkatung-katung menanti kejelasan Kementerian Keuangan
terkait insentif.
Blok East Natuna sendiri memiliki cadangan gas yang mencapai 222 triliun cubic feet (TCF), dimana
75 persennya mengandung CO2. Dengan demikian hanya 70 TCF lah cadangan gas di
Blok East Natuna yang dapat diproduksikan. Adapun biaya pengembangannya
diperkirakan membutuhkan dana sekitar $20 miliar mengingat kandungan CO2nya
yang sedemikian besar. Saat ini participating interest Blok East Natuna terdiri
dari PT Pertamina (35 persen), ExxonMobil (35%), Total EP (15%), dan PTT Thailand
(15%).
Terganjalnya masalah insentif di
industri migas bukan hanya terjadi pada Blok East Natuna saja, melainkan juga
pada beberapa blok migas. Jika mereka tidak secara spesifik meminta tax holiday, namun banyak yang
mengeluhkan rezim perpajakan migas Indonesia yang dianggap tidak menarik. Ada
lagi selain itu, yaitu pola bagi hasil migas dianggap kalah bersaing
dibandingkan negara lain. Saat ini Indonesia menganut pola bagi hasil sebesar
85:15 untuk minyak, dimana pemerintah akan mendapatkan bagian 85 persen,
sedangkan sisanya investor, yaitu sebesar 15 persen.
Itu masih masalah yang terkait dengan
sektor hulu. Bagaimana dengan sektor hilir? Sama saja. Kendalanya masih terkait
dengan masalah insentif. Sebut saja proyek pengembangan kilang yang juga tengah
direncanakan Pertamina, hingga kini jauh dari selesai. Permintaaan calon
rekanan bisnis perusahaan plat merah Indonesia, yaitu Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum Corporation, untuk menikmati
tax holiday ditolak mentah-mentah oleh Kementrian Keuangan. Akhirnya proyek pembangunan kedua
kilang berkapasitas total 900 ribu barel per hari tersebut hanya tinggal wacana, meski Pertamina mengaku tetap
akan maju dengan proyek tersebut melalui proses lelang.
Jika ditarik benang merahnya, kendala
utama dari pengembangan proyek energi di Indonesia adalah insentif. Dengan
faktor keekonomian yang semakin menipis, sudah tentu investor menginginkan
kepastian bahwa investasinya akan kembali. Di sektor hulu misalnya, lokasi
suatu blok sangat menentukan faktor keekonomiannya, pangsa pasar, harga jual, ketersediaan
infrastruktur, dan faktor lainnya. Jika saja hal-hal tersebut sulit untuk
dicapai, tentunya sangat wajar bila investor menginginkan insentif yang lebih.
tender-indonesia.com |
Demikian pula di sektor hilir,
pembangunan kilang saat ini dianggap tidak lagi menjanjikan. Investasinya
sangat besar, bisa mencapai puluhan miliar dollar, padahal harga produk
terkadang lebih murah ketimbang mengolah minyak mentah. Jadi tak heran jika
investor menginginkan kepastian insentif di muka agar dapat meraih laba dari
proyek tersebut.
Sekarang permasalahannya ada di
tangan pemerintah. Apakah ingin pengembangan proyek energy mandek karena tidak
bersedia mengabulkan tax holiday? Atau bersedia memberikan insentif, namun
pengembangan proyek migas, baik hulu maupun hilir, dapat terlaksana? Yang harus
diingat, dengan pertumbuhan penduduk yang sedemikian dashyat, rasanya sulit
bagi Indonesia untuk terus-terusan bergantung dari impor.