Kamis, 28 November 2013

Insentif, Kendala Utama Pengembangan Proyek Energi di Indonesia

Insentif adalah hal yang sering didengung-dengungkan investor dalam menentukan pilihan untuk berinvestasi. Jika paket insentif yang dimiliki suatu negara dianggap tidak menarik, jangan harap investor akan bersedia membelanjakan uangnya di negara tersebut.

Indonesia tengah berjuang keras mengembangkan sejumlah proyek energi seiring peningkatan konsumsi dalam negeri. Sejumlah proyek, baik dari hulu maupun hilir, tengah dirancang untuk direalisasikan. Namun nyatanya hal tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan karena pengembangannya membutuhkan sejumlah insentif agar return of investment dapat terjamin.

Sebut saja, proyek hulu yang dimotori oleh Pertamina, yaitu Blok East Natuna. Proyek pengerjaan gas di Blok East Natuna tersebut akan menjadi proyek gas besar di Indonesia, selain Blok Masela di Maluku. Masalahnya proyek yang digadang-gadang sebagai salah satu pemasok gas andalan Indonesia di masa mendatang itu hingga kini terkatung-katung, padahal rencana awalnya Natuna diharapkan bisa mulai konstruksi tahun ini sehingga produksi awal diperkirakan tahun 2018.

Namun apa daya, proyek tersebut masih mengalami kendala dengan terganjalnya insentif yang belum keluar dari Kementerian Keuangan. Salah satu insentif yang masih mengganjal adalah insentif pembebasan pajak (tax holiday) selama lima tahun yang diminta oleh konsorsium Blok East Natuna. Permintaan tax holiday yang diminta oleh konsorsium betujuan agar proyek dapat mencapai internal rate of return (IRR) 12 persen. Namun hingga kini Kementrian Keuangan belum mengabulkan proposal tersebut karena menganggap tax holiday dalam industri migas sudah masuk dalam cost recovery.

Tanpa adanya persetujuan dari Kementrian Keuangan, maka Kontrak Kerja Sama Blok East Natuna antara Pertamina dan pemerintah tidak dapat ditandatangani. Molornya penandantangan tersebut juga akan mengakibatkan mundurnya pengerjaan proyek blok ini. Kini, nasib proyek tersebut masih terkatung-katung menanti kejelasan Kementerian Keuangan terkait insentif.

Blok East Natuna sendiri memiliki cadangan gas yang mencapai 222 triliun cubic feet (TCF), dimana 75 persennya mengandung CO2. Dengan demikian hanya 70 TCF lah cadangan gas di Blok East Natuna yang dapat diproduksikan. Adapun biaya pengembangannya diperkirakan membutuhkan dana sekitar $20 miliar mengingat kandungan CO2nya yang sedemikian besar. Saat ini participating interest Blok East Natuna terdiri dari PT Pertamina (35 persen), ExxonMobil (35%), Total EP (15%), dan PTT Thailand (15%).

Terganjalnya masalah insentif di industri migas bukan hanya terjadi pada Blok East Natuna saja, melainkan juga pada beberapa blok migas. Jika mereka tidak secara spesifik meminta tax holiday, namun banyak yang mengeluhkan rezim perpajakan migas Indonesia yang dianggap tidak menarik. Ada lagi selain itu, yaitu pola bagi hasil migas dianggap kalah bersaing dibandingkan negara lain. Saat ini Indonesia menganut pola bagi hasil sebesar 85:15 untuk minyak, dimana pemerintah akan mendapatkan bagian 85 persen, sedangkan sisanya investor, yaitu sebesar 15 persen.

Itu masih masalah yang terkait dengan sektor hulu. Bagaimana dengan sektor hilir? Sama saja. Kendalanya masih terkait dengan masalah insentif. Sebut saja proyek pengembangan kilang yang juga tengah direncanakan Pertamina, hingga kini jauh dari selesai. Permintaaan calon rekanan bisnis perusahaan plat merah Indonesia, yaitu Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum Corporation, untuk menikmati tax holiday ditolak mentah-mentah oleh Kementrian Keuangan. Akhirnya proyek pembangunan kedua kilang berkapasitas total 900 ribu barel per hari tersebut hanya tinggal wacana, meski Pertamina mengaku tetap akan maju dengan proyek tersebut melalui proses lelang.

Jika ditarik benang merahnya, kendala utama dari pengembangan proyek energi di Indonesia adalah insentif. Dengan faktor keekonomian yang semakin menipis, sudah tentu investor menginginkan kepastian bahwa investasinya akan kembali. Di sektor hulu misalnya, lokasi suatu blok sangat menentukan faktor keekonomiannya, pangsa pasar, harga jual, ketersediaan infrastruktur, dan faktor lainnya. Jika saja hal-hal tersebut sulit untuk dicapai, tentunya sangat wajar bila investor menginginkan insentif yang lebih.

tender-indonesia.com
Demikian pula di sektor hilir, pembangunan kilang saat ini dianggap tidak lagi menjanjikan. Investasinya sangat besar, bisa mencapai puluhan miliar dollar, padahal harga produk terkadang lebih murah ketimbang mengolah minyak mentah. Jadi tak heran jika investor menginginkan kepastian insentif di muka agar dapat meraih laba dari proyek tersebut.


Sekarang permasalahannya ada di tangan pemerintah. Apakah ingin pengembangan proyek energy mandek karena tidak bersedia mengabulkan tax holiday? Atau bersedia memberikan insentif, namun pengembangan proyek migas, baik hulu maupun hilir, dapat terlaksana? Yang harus diingat, dengan pertumbuhan penduduk yang sedemikian dashyat, rasanya sulit bagi Indonesia untuk terus-terusan bergantung dari impor.

Kamis, 21 November 2013

Sulit Cari Minyak, Indonesia Dibayangi Krisis Energi

skalanews.com
Indonesia yang dulu terkenal sebagai produsen minyak terbesar di Asia kini harus menggigit jari. Pasalnya selain tidak lagi menjadi produsen migas terbesar di benua Asia lagi, Indonesia sejak beberapa tahun terakhir malah sudah menjadi net oil importer.  Dan yang lebih parah lagi, pasca penemuan migas terbesar di Blok Cepu, relatif tidak ada penemuan dengan jumlah cadangan yang signifikan lagi. Jika kondisi ini terus berlangsung, siap-siap saja dalam 12 tahun cadangan minyak kita akan habis.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) baru-baru ini mengakui bahwa mencari minyak di Indonesia sudah menjadi sangat sulit. Setiap kegiatan eksplorasi yang bertujuan untuk mencari minyak hanya berhasil mendapatkan gas , tidak mendapatkan cadangan yang ekonomis atau bahkan gagal. Hal yang sama juga pernah diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik yang menegaskan Indonesia bukan lagi negara kaya minyak.

Jadi tak heran, untuk mencapai target pemerintah sebesar 1 juta barel per hari pada tahun 2014, Indonesia hanya mengandalkan Cepu yang dapat memproduksi hingga 165.000 barrel per hari. Namun setelah Cepu berhasil mencapai produksi puncaknya, maka produksi minyak Indonesia akan turun secara perlahan karena tidak adanya penemuan lain.

"Produksi minyak Indonesia akan meningkat hanya dengan mengharapkan dari Cepu, itupun ditargetkan pada Oktober 2014. Karena kita hampir tidak pernah menemukan lagi cadangan minyak baru," ujar Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana baru-baru ini, seperti yang dilansir detik.com.

Saat ini produksi minyak nasional rata-rata berada di level 827.000 barel per hari, jauh di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 sebesar 840.000 barrel per hari. Bahkan SKK Migas mengisyaratkan bahwa target produksi minyak nasional tahun ini bisa jadi tidak tercapai. Gagalnya pemerintah untuk mencapai target APBN bukan lah barang baru. Relative sejak sekitar tahun 2008, produksi minyak Indonesia senantiasa meleset dari target. SKK Migas sendiri juga telah bekerja keras untuk menahan laju penurunan (decline rate) menjadi nol persen serta melakukan enhance oil recovery (EOR/pengurasan sumur tahap lanjutan).

SKK Migas memperkirakan cadangan minyak Indonesia hanya 3,6 miliar barel, sungguh jauh bila dibandingkan dengan Venezuela yang jumlah cadangannya mencapai 300 miliar barel. Cadangan minyak dunia tertinggi di Asia diduduki oleh China (14,8 miliar barel), India (5,8 miliar barel), Malaysia (5,5 miliar barel), dan Vietnam (4,5 miliar barel). Apabila Indonesia memproduksi sekitar 800.000-900.000 barrel per hari, maka kira-kira cadangan minyak Indonesia akan habis 12 tahun lagi. 

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro pernah memaparkan bahwa cadangan minyak Indonesia sejak 2012 hanya sebesar 0,2% dari cadangan minyak dunia. Hal tersebut menandakan kedepan Indonesia akan mengalami krisis energi.

Sementara cadangan minyak Indonesia sebanyak 64% berada di Sumatera, dan 20% berada di Jawa.

Jika memang krisis energi sudah di depan mata, maka pemerintah sudah seharusnya bergerak marathon untuk mengambil langkah antisipasi. Misalnya dengan mengembangkan energi terbarukan, seperti angin, air dan panas bumi. Tapi ini harus dilakukan secara nyata, action not talk only.

Tapi itu saja tak cukup.  Selain mengembangkan energy terbarukan, pemerintah tetap harus menggiatkan kegiatan eksplorasi untuk memenuhi energy masa depan. Produksi migas mustahil dilakukan tanpa kegiatan eksploitasi. Dan untuk mengundang investor agar mau melakukan kegiatan eksploitasi, pemerintah masih memiliki segudang pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Misalnya saja mengevaluasi sejumlah kebijakan yang terkait dengan migas.

Kebijakan pemerintah di industri migas telah banyak dikeluhkan oleh sejumlah investor. Soal peraturan misalnya, saat ini terdapat sejumlah aturan yang tumpang tindih sehingga mengakibatkan proses perijinan menjadi panjang dan memakan waktu. Hal ini tak lepas sejak Indonesia menerapkan otonomi daerah sejak tahun 1995 yang menyebabkan pemerintah daerah memiliki otoritas penuh dalam menjalankan pemerintahannya sendiri. Dampaknya sudah jelas, selain proses perijinan semakin panjang, biaya investasi pun jadi meningkat.

Selain itu, investor juga mengeluhkan masalah kepastian hukum, dan juga pembatasan cost recovery dalam APBN yang dianggap akan mempengaruhi produksi minyak dan gas nasional.


Dengan kondisi Indonesia yang penuh keterbatasan ini sementara kita masih membutuhkan investor, sudah selayaknya pemerintah memperlakukan investor ibarat raja. Misalnya dengan memberikan paket insentif yang dianggap menarik. Bukan tak mungkin rezim fiscal kita sudah lagi tidak dianggap sexy, sehingga investor lebih memilih untuk melirik negara lain dengan potensi yang lebih besar.

Kamis, 14 November 2013

Kemacetan di Jakarta, Salah SBY atau Jokowi?


liputan6.com
Jakarta dan kemacetan adalah dua hal yang saling melengkapi. Jakarta identik dengan macet dan macet identik dengan Jakarta. Kemacetan itu semakin menggila ketika memasuki jam kantor, jam makan siang, dan terutama ketika musim hujan.

Nah masalah kemacetan ini kembali menjadi pembicaraan hangat ketika baru-baru ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara mengenai hal tersebut. Dalam pertemuan dengan pengurus Kamar Dagang dan Industri (KADIN), SBY mengungkapkan bahwa masalah kemacetan di sejumlah daerah adalah tanggung jawab para gubernur setempat. Presiden menyampaikan hal tersebut setelah mendapat sindiran dari pimpinan negara Asia Tenggara dalam pertemuan East Asian Summit 2013.

SBY menyatakan bahwa saat ini Indonesia menganut system desentralisasi otonomi daerah, sehingga tanggungjawab masalah di daerah dipegang oleh pemerintah daerah setempat.

“Kalau biang kemacetan di Jakarta, datanglah ke Pak Jokowi. Kalau biang kemacetan di Bandung, datang ke Pak Ahmad Heryawan atau walikota Bandung, Semarang, Medan, Makassar,” ungkap SBY, seperti yang dilansir detikcom.

Apakah pernyataan SBY itu 100% benar? Mungkin adanya benarnya, meski tidak seluruhnya.  Benar, bahwa pemda harus bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di daerahnya. Meski demikian, tentunya pemerintah pusat harus membantu pemda untuk mengentaskan masalah yang ada dengan paket kebijakan yang kondusif.

tempo.co
Sejumlah pengamat mengkritisi pernyataan SBY tersebut, yang dianggap tidak elok. Pemerintah pusat dianggap memiliki kewajiban pula untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta dan sekitarnya. Apalagi pemerintah pusat juga berada di Jakarta.

Jokowi pun membela diri. Menurutnya, secara umum memang pemerintah pusat sudah mendukung program DKI Jakarta terkait dengan masalah kemacetan. Meski demikian, di satu sisi kebijakan pemerintah untuk mobil murah justru kontraproduktif dengan keinginan Pemda DKI Jakarta untuk mengentaskan masalah kemacetan.

Adanya mobil murah yang popular dengan sebutan Low Cost Green Car (LGLC) tersebut berawal dari Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi Produksi Mobil Ramah Lingkungan. Dengan demikian mobil di bawah 1.200 cc dapat dijual tanpa PPnBM. Dan kini keberadaan mobil-mobil murah mulai merambah ibukota. Sejumlah produsen mobil, seperti Toyota, Daihatsu dan Honda ikut memproduksi masal mobil jenis ini.

Jokowi sebelumnya telah melayangkan surat protes kepada Wakil Presiden Boediono. Jokowi menilai adanya mobil murah hanya akan menambah kemacetan Jakarta. Kebijakan tersebut dinilai kontradiktif dengan upaya Pemerintah Daerah DKI Jakarta untuk mengurai kemacetan ibukota.

liputan6.com
Namun pemerintah bergeming. Boediono menegaskan solusi mengatasi kemacetan di Jakarta bukan dengan mengorbankan kepentingan industri yang masih dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi Indonesia. Produk otomotif masih banyak dibutuhkan di daerah. Pemerintah berjanji tidak akan lepas tangan dengan kemacetan yang melanda Ibukota (Tempo, 19 September 2013).

Pemerintah juga menepis adanya kekhawatiran akan membengkaknya subsidi BBM. Mobil LGLG dipastikan tidak akan diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi alias mereka harus mengkonsumsi Pertamax 92 atau bahkan 95.

Yang agak aneh adalah pernyataan SBY dalam sidang kabinet di depan sejumlah menteri, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (14/11/2013). Menurutnya, kebijakan mobil sebenarnya ditujukan untuk sarana angkutan pedesaan.

"Kalau saudara masih ingat dulu, kebijakan mobil murah yang dimaksud adalah untuk memikirkan angkutan pedesaan. Jadi bukan mobil pribadi. Yang kita harapkan ramah lingkungan apakah listrik atau hibrid. Saudara yang mendampingi ke India, kita ingin dapatkan perbandingan di India seperti apa angkutan pedesaan itu, seperti apa yang menggunakan listrik, sehingga hemat bahan bakar. Dengan demikian membawa kebaikan, ini yang harus dijelaskan. Kita persiapkan jawaban ke DPR yang angkat isu yang hak bertanya kepada mereka," tutur SBY.

Yang patut dipertanyakan jika memang ditujukan untuk sarana angkutan pedesaan, lalu mengapa pemerintah mengharuskan mobil tersebut menggunakan Pertamax? Apakah masyarakat desa memiliki pendapatan yang besar sehingga bisa mengkonsumsi BBM non-subsidi?

Benang merah dari kasus SBY versus Jokowi terkait dengan kemacetan ini adalah kebijakan pemerintah yang tidak pernah konsisten. Studi yang dilakukan pemerintah kurang komprehensif dan tidak melihat masalah dari luar kotak, atau out of the box. Akibatnya jika suatu kebijakan ternyata menuai masalah, pemerintah hanya bisa mencari kambing hitam untuk bertanggungjawab.


Masalah kebijakan yang tidak pernah konsisten ini sering kali dikeluhkan oleh para investor. Padahal kepatuhan terhadap kontrak (sanctity of contract) sangat dibutuhkan. Tentunya investor memiliki perhitungan bisnis jangka panjang dan membutuhkan kepastian hukum atas investasi yang akan dikeluarkannya.