Kamis, 26 Maret 2015

Jangan Kasus Divestasi Newmont Terulang di Blok Mahakam

Kasus divestasi Newmont Nusa Tenggara bisa menjadi pelajaran mahal untuk Indonesia. Bisa dibilang pemerintah kecolongan saat itu sehingga jatah pemerintah daerah akhirnya dikuasai oleh pihak swasta. Jangan lagi kasus ini terulang di Blok Mahakam.

Ribut-ribut Pemda Kaltim yang ingin memiliki saham di Mahakam mengingatkan kita pada kasus divestasi Newmont. Apalagi Pemda Kaltim secara jelas telah mengatakan akan menggandeng perusahaan swasta Yudistira Bumi Energi. Yudistira akan menjadi mitra perusahaan daerah PT Mandiri Mitra Perdana. Keduanya telah menandatangani nota kesepahakam kerjasama di Mahakam pada tahun 2010. 

Dalam MoU tersebut terdapat klausul pembagian saham sebesar 25 persen untuk PT MMP dan 75 persen untuk PT YBE. Jelas, pihak swasta lebih besar daripada pemda sendiri. Inilah yang membuat pemerintah secara tegas menolak keikutsertaan asing lewat pemda karena tidak ingin kasus divestasi Newmont terulang.

Masalah divestasi Newmont bermula dari kewajiban divestasi saham milik asing sebesar 51%. Pemerintah daerah setempat terhitung paling berminat dan lantas membentuk PT Daerah Maju Bersaing (DMB). Perusahaan ini bentukan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB), Pemkab Sumbawa, dan Pemkab Sumbawa Barat. Mereka lantas membentuk konsorsium PT Multi Daerah Bersaing (MDB), hasil kerjasama dengan anak usaha Grup Bakrie yakni PT Multicapital dibawah PT Bumi Resources Tbk (BUMI) pada 23 Juli 2009. Sayangnya, manajemen MDB didominasi oleh Multicapital atau sebanyak 75%.

Dalam MoU disebutkan, jumlah investasi MDB untuk pembelian saham NNT sebesar 24% senilai US$ 865 juta atau Rp 8,6 triliun dari target investasi, yaitu US$ 1,1 miliar. Ini telah memberikan manfaat kepada daerah antara lain DMB telah menerima advance dividen dari Multicapital sebesar US$ 4 juta. Pemda sendiri memperoleh manfaat US$ 38 juta yang telah diwujudkan dalam berbagai program pembangunan.

Multicapital sendiri bertanggung jawab untuk menyediakan seluruh pendanaan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk pembelian seluruh saham divestasi NNT. DMB tidak akan pernah dibebani oleh hutang pendanaan yang timbul dalam rangka pendanaan pembelian saham divestasi NNT tersebut. Pada 2010, NNT telah membayar dividen sebesar US$ 500 juta atau Rp 4,3 triliun, yang dibayarkan kepada MDB senilai US$ 120 juta. Rinciannya, US$ 90 juta disetor untuk Multicapital dan MDB hanya kebagian US$ 30 juta.

Lebih celakanya Multicapital ternyata meminjam dana ke lembaga keuangan internasional bernama Credit Suisse Singapura (CSS) dengan jaminan saham NNT. Dividennya pun untuk pembayaran pinjaman. Dividen itu kabarnya tidak diterima pemda karena digunakan untuk membayar utang MDB ke CSS. Padahal mestinya ketiga pemda yang memiliki saham Newmont melalui anak usahanya DMB bisa mengantungi US$ 30 juta dari dividen Newmont.

Nah atas hal itulah, pemerintah saat ini tengah mempersiapkan regulasi terkait hak partisipasi proporsi kepemilikan pengelolaan Blok Mahakam di Kutai, Kalimantan Timur. Hak partisipasi sebesar 10% hanya untuk daerah, sehingga jika ada perusahaan swasta dan internasional yang ingin masuk melalui hak partisipasi yang dimiliki daerah tetap harus mengikuti aturan tender.

Pemerintah juga tengah menggodok kemungkinan tidak memberikan hak partisipasi di Blok Mahakam pada Pemda Kaltim. Pemerintah daerah, Pemprov Kaltim dan Pemkab Kutai Kartanegara akan langsung mendapatkan dividen atau bagi hasil keuntungan dalam bentuk tambahan bagi hasil dari pengelolaan Blok Mahakam. dengan tidak memberika saham partisipasi, pemda akan terhindar dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya.

Gubernur Kalimatan Timur Awang Faroek Ishak sendiri menolak usulan tersebut. Pihaknya bahkan menyatakan pemerintah pusat jangan menganggap Pemprov Kaltim bodoh terkait Blok Mahakam.

"Apa kita dianggap bodoh apa. Apa dianggap pusat itu lebih tahu. Kita ini lebih pengalaman. Misalnya pengelolaan blok itu kan di Kaltim, kita terlibat di dalamnya. Kesulitan dan kemudahan yang dialami pengelola itu kita tahu. Sekali lagi, jangan mengingkari hak kita yang sudah diputuskan di Undang-Undang. Kalau menteri berkata begitu, kita akan tolak," tambah Awang.

Penolakan itu akan dilakukan secara resmi. Pemprov Kaltim bersama DPRD Kaltim akan melakukan penolakan, sesuai prosedur. Dia menekankan soal pembagian saham 10% dalam bentuk Participating Interest (PI) merupakan amanat UU, sehingga pembagian hak partisipasi daerah tidak bisa dikurangi maupun diubah.

Sementara, soal penentuan hak partisipasi daerah diserahkan ke Pertamina sebagai pemegang saham mayoritas di Blok Mahakam nantinya, Awang mememinta Menteri Sudirman untuk belajar lagi. Menteri ESDM, kata Awang, harus memahami maksud dari pemerintah.


Lepas dari itu, seharusnya Pemda Kaltim menyadari bahwa pengelolaan Mahakam tidak hanya melulu mengejar untung. Melainkan ada faktor kompetensi, baik teknologi, SDM dan keuangangan yang dimana Pemda memiliki keterbatasan. Jadi tidak bisa tidak, Mahakam harus dikelola oleh pihak yang benar agar terhindar dari penurunan produksi.

Selasa, 24 Maret 2015

Perlukah Pemda Kaltim di Pengelolaan Mahakam?

Blok Mahakam itu ibarat gula yang selalu saja dikerubuti semut. Selalu saja ada pihak-pihak yang tertarik untuk ikutserta dalam pengelolaannya, seperti misalnya Pemerintah Daerah Kalimantan Timur. Yang menjadi masalah, apakah mereka memiliki kompetensi untuk mengelolanya?

Mengelola blok migas itu senantiasa dianggap menguntungkan oleh banyak pihak. Harga minyak dan harga gas selalu saja dianggap fantastis untuk mengeruk untung. Makanya tak heran jika banyak pihak yang menginginkan untuk ikutserta dalam pengelolaan blok migas dengan berbagai cara. Cara itu bisa melalui tender normal yang diselenggarakan pemerintah ataupun partisipasi ketika kontrak suatu blok akan habis.

Padahal sebagai usaha yang membutuhkan investasi besar, pengelolaan migas juga tinggi dengan resiko. Ketika kegiatan eksplorasi misalnya, jika mereka gagal menemukan cadangan yang ekonomis maka uang mereka akan menguap alias tak akan kembali. Sementara jika sudah berproduksi, keuntungan juga tak mesti ada di depan mata. Misalnya seperti saat ini ketika harga minyak dan gas anjlok, artinya pendapatan akan menurun drastis padahal biaya operasional tetap sama.

Nah, kembali ke Mahakam. Pemda Kaltim sudah berulangkali mengungkapkan keinginannya untuk mendapatkan setidaknya 10 persen saham di Mahakam dengan menggandeng Yudistira Bumi Energi. Yudistira Bumi Energi belum dikenal di kancah dunia minyak dan gas Indonesia. Namanya pun dikenal publik setelah pemerintah daerah mendengungkan nama tersebut ke publik, bahwa mereka lah yang akan menjadi rekanan dengan perusahaan daerah PT Migas Mandiri Pratama dalam mengelola Mahakam. Adapun perusda itu sendiri baru dibentuk pada tahun 2009.

Yudistira dinilai pemda Kalimantan Timur dapat membantu mereka dalam mendanai Mahakam, yaitu dengan menggelontorkan dana setidaknya US$ 300-600 juta, perkiraan investasi yang dibutuhkan untuk ikut mengelola Blok Mahakam. Selain itu Yudistira juga disebut memiliki pengalaman dalam mengelola blok migas di Maluku dan Riau, meski tak jelas nama-nama bloknya.

Semua tahu, ngototnya Pemda Kaltim untuk mendapatkan porsi di Mahakam tak lepas karena keinginan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Meski sebenarnya jika hanya ingin meningkatkan pendapatan daerah, pemda tidak harus melalui jalan memiliki saham.

Tak heran jika pemerintah mewacanakan agar tidak mendapatkan saham partisipasi atau participating interest (PI) di Blok Mahakam. Ada opsi keuntungan lain yang bisa didapat Pemda dari hasil pengelolaan blok migas tersebut.  Makanya, pemerintah mengusulkan Pemda bisa mendapatkan tambahan bagi hasil dari pengelolaan Blok Mahakam. Dengan tidak memberikan saham partisipasi, maka Pemda Kaltim terhindar dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya. Pihak tersebut menjadikan Pemda sebagai alat untuk mendapatkan saham pada pengelolaan pertambangan. Padahal, Pemda tidak merasakan manfaat dari kepemilikan saham tersebut. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) yang juga pekerja Pertamina Faisal Yusra menyatakan agar yang terlibat dalam pengelolaan Blok Mahakam adalah pihak yang mengerti akan industri migas. Makanya dia juga lebih setuju dengan usulan MESDM Sudirman Said mengenai tambahan bagi hasil kepada Pemda, tanpa harus mendapatkan saham.


Jadi jelas, pemda tidak perlu berperan aktif di Mahakam. Cukup serahkan Mahakam kepada ahlinya, yakni Pertamina dan Total agar produksi blok dapat terus dipertahankan. Keikutsertaan Total pasca 2017 di Mahakam memang tidak dapa dihindari demi menjaga laju produksi agar pendapatan pemerintah pusat dan daerah tidak turun.

Kamis, 12 Maret 2015

Implikasi Ditunjuknya Pertamina Jadi Operator Di Blok Mahakam

Meski belum secara definitif Pertamina ditunjuk sebagai operator Mahakam, namun hampir pasti hal itu akan menjadi kenyataan. Pemerintah telah berulangkali mengatakan bahwa mereka menyakini kemampuan perusahaan plat merah dalam memegang kendali di blok gas terbesar di Indonesia tersebut. Lalu bagaimana implikasinya penunjukan tersebut terhadap penerimaan negara?

Beruntunglah Indonesia memiliki Blok Mahakam menyusul ditemukannya cadangan gas dalam jumlah besar pada tahun 1972 setelah lima tahun masa eksplorasi. Gabungan cadangan terbukti dan cadangan potensial atau dikenal dengan istilah 2P awal yang ditemukan saat itu sebesar 1,68 miliar barel minyak dan gas bumi sebesar 21,2 triliun kaki kubik. Dari penemuan itu maka blok tersebut mulai diproduksikan dari lapangan Bekapai pada tahun 1974.

Produksi dan pengurasan secara besar-besaran cadangan tersebut di masa lalu membuat Indonesia menjadi eksportir LNG terbesar di dunia pada tahun 1980-2000. Kini, setelah pengurasan selama 40 tahun, maka sisa cadangan 2P minyak saat ini sebesar 185 juta barel dan cadangan 2P gas sebesar 5,7 TCF. Pada akhir maka kontrak tahun 2017 diperkirakan masih menyisakan cadangan 2P minyak sebesar 131 juta barel dan cadangan 2P gas sebanyak 3,8 TCF pada tahun 2017. Dari jumlah tersebut diperkirakan sisa cadangan terbukti (P1) gas kurang dari 2 TCF.

Meski jumlah cadangan tidak lagi sebesar dahulu namun keberadaan blok ini masih sangat membantu penerimaan negara. Setidaknya pendapatan negara melalui sektor migas akan melonjak. Jadi tak heran jika masalah perpanjangan blok Mahakam sangat erat kaitannya dengan upaya untuk menjamin dan memaksimalkan penerimaan negara.

Kini sudah barang tentu Pertamina yang ditunjuk sebagai operator akan membawa beban berat di pundak. Ia harus dapat mempertahankan level produksi blok tersebut agar penerimaan negara tidak terkoreksi. Pertamina sendiri merasa yakin dapat mengelola Mahakam baik secara financial, kemampuan sumberdaya manusia dan teknologi. Meski secara tidak langsung Pertamina mengakui bahwa ia akan menggandeng Total di Mahakam.


Dewan Perwakilan Rakyat sendiri menilai Pertamina memiliki kapasitas dalam mengelola Blok Mahakam. Namun Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika menilai bahwa potensi untuk menjaga kestabilan produksi pasca 2017 akan sulit jika dilakukan sendiri.

"Ya kalau mampu sih, mampu. Tetapi apakah kinerja akan seperti Total? Nah itu lain soal," ujar Kardaya di Jakarta.

Memang Pertamina telah memiliki pengalaman dalam melakukan pengelolaan blok ONWJ, WMO dan Sanga-Sanga. Namun tentunya ketiga blok ini tidak dapat disandingkan dengan Mahakam yang umurnya sudah jauh lebih tua dengan karakteristik yang jauh lebih sulit.


Nah ini pula lah yang menelatarbelakangi pemerintah yang meminta Pertamina untuk menggandeng Total di Mahakam. Keikutsertaan Total di Mahakam tidak bisa dihindari dan menjadi suatu keharusan jika ingin penerimaan negara dari sektor migas tidak anjlok.

Selasa, 10 Maret 2015

Pemerintah Tunjuk Pertamina Garap Mahakam, Total Diharapkan Juga Ikutan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memutuskan pengelola Blok Mahakam diberikan kepada Pertamina. Namun pemerintah memberikan isyarat bahwa Pertamina bisa menggandeng operator sebelumnya, yakni Total E&P Indonesie, untuk memastikan bahwa produksi gas tidak akan terganggu.

Pemerintah memang sangat menyadari bahwa mengelola Mahakam tidak lah sama dengan mengelola blok lain. Pasalnya blok tersebut adalah blok tua yang jika salah sedikit saja pengelolaannya maka produksinya akan jeblok. Padahal sebagai penghasil gas terbesar di Indonesia, Total memegang peranan penting dalam memberikan kontribusi pendapatan terhadap negara ini. Nah pemerintah menghindari perubahan operator pada blok tersebut akan mempengaruhi laju produksi yang berujung pada pendapatan negara.

Setelah menetapkan Pertamina sebagai operator Mahakam,
untuk tahap selanjutnya, Kementerian ESDM akan mengundang Pertamina dan Total E&P Indonesie untuk membahas mengenai porsi saham. Selain itu, pemerintah juga mengharapkan adanya masa transisi yang dilakukan secara cepat agar rencana eksplorasi tidak akan terhambat. Artinya, Pertamina bisa segera masuk ke Blok Mahakam sebelum tahun 2017, agar transisinya bisa berjalan baik.

Pemerintah memang menginginkan agar setidaknya Pertamina menjadi pemilik saham mayoritas, meski bagaimanapun Total harus diikutsertakan. Lalu bagaimana kesiapan Pertamina? Memang di atas kertas Pertamina merasa mampu untuk mengelola Mahakam, meski harus diakui tampaknya perusahaan plat merah itu kemungkinan bisa kesandung masalah dana karena keterbatasan kemampuan. Pertamina, menurut ESDM, bersedia menginvestasikan dana sebesar US$ 25,2 miliar selama 20 tahun di Mahakam. Jika dibagi 20 tahun, maka hanya ada dana sekitar US$ 1,26 miliar yang diinjeksikan untuk Mahakam.

Angka itu memang besar mengingat Pertamina masih harus mengejar target lainnya, yaitu menjadi the world's energy champion di tahun 2025. Dimana untuk mencapai target tersebut maka Pertamina harus melakukan ekspansi besar-besaran di luar negeri karena sulit jika hanya mengandalkan produksi dan cadangan migas dari dalam negeri yang telah menipis. Artinya untuk ekspansi ini dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Jadi tentunya tidak bijak jika Pertamina hanya mengalokasikan dana yang dimilikinya untuk Mahakam saja. Padahal masih banyak blok-blok migas lain yang juga lebih potensial dan layak dikembangkan selain Mahakam.

Nah, kembali ke soal investasi. Dengan kemampuan investasi sebesar US$ 1,26 miliar per tahun di Mahakam, tidak bisa tidak Pertamina harus menggandeng Total. Pasalnya saat ini Total dan Inpex telah menggelontorkan dana sebesar US$ 2,4-2,5 miliar per tahun untuk mengelola Mahakam. Tentunya dengan prosentase laju penurunan produksi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, maka idealnya Pertamina harus bekerjasama dengan Total mengingat diperlukannya bantuan teknologi, finansial dan tentu saja sumber daya manusia untuk memastikan bahwa produksi Mahakam tidak akan mengalami perubahan.

Lalu bagaimana dengan porsinya? Memang keinginan pemerintah Pertamina menjadi pemegang saham mayoritas, namun rasanya bukan dosa jika Pertamina menyerahkan sebagian besar saham Mahakam ke Total karena alasan keuangan di atas. Atau bisa saja, saham mayoritas diberikan ke Total selama masa transisi lima tahun pertama kemudian jika segala sesuatunya telah berjalan lancar maka kendali operasi diberikan ke Pertamina.


Apapun hasilnya nanti, kita hanya bisa menunggu. Pemerintah berharap hasil kajian ini paling lambat bisa diberikan pada bulan mendatang agar kejelasan masalah Mahakam bisa semakin cepat selesai.