Wacana
pembekuan Pertamina Energy Trading Limited (Petral) kembali mencuat setelah
pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkomitmen untuk memerangi mafia
minyak dan gas. Petral kerap dituding sebagai mafia minyak yang
merugikan Indonesia. Alhasil, banyak kalangan yang menyuarakan untuk menutup
anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut.
Dalam rekomendasinya, tim transisi Jokowi-JK mengatakan bahwa mafia
migas terbukti dan diyakini menghambat dalam mewujudkan kedaulatan energi
nasional. Pemerintah baru berkomitmen kuat untuk memberantas mafia migas dengan
membentuk satgas anti mafia migas yang bekerja sungguh-sungguh secara efektif.
Penindakan terhadap pelanggar hukum dilakukan dengan tegas dan tanpa pandang
bulu. Ditindak dan dipublikasikan secara masif untuk menimbulkan efek jera. Hal
ini akan dibarengi dengan perbaikan regulasi untuk menutup peluang munculnya
mafia migas baru.
Langkah konkritnya, Petral akan
dibekukan dan pemerintah akan melakukan audit investigatif terhadapnya. Selama
proses pembekuan, masalah pembelian minyak mentah dan BBM dilakukan oleh
Pertamina dan dijalankan di Indonesia.
Saat ini saham Petral 99,83% dimiliki oleh
Pertamina dan 0,17% dimiliki Direktur Utama Petral , Nawazir. Petral memiliki
55 perusahaan yang terdaftar sebagai mitra usaha. Pengadaan minyak oleh Petral
dilakukan secara tender terbuka. Namun Petral juga melakukan pengadaan minyak
dengan pembelian langsung. Karena ada jenis minyak tertentu yang tidak dijual
bebas atau pembelian minyak secara langsung dapat lebih murah dibandingkan
dengan mekanisme tender terbuka.
Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN pernah
melontarkan wacana pembubaran Petral yang bermarkas di Singapura ini. Alasan
pembubaran Petral ini agar Pertamina sebagai korporasi dapat menjalankan
kinerjanya secara baik di sektor hulu. Dahlan Iskan menjelaskan, selama ini
banyak yang menilai bahwa Petral merupakan ajang korupsi para pejabat dan
petinggi Pertamina. Petral dijadikan ajang mendapatkan komisi dari ekspor impor
minyak bagi orang-orang tertentu. Karena berdomisili di Singapura, menjadi
sulit dikontrol.
Dalam perkembangannya terdapat penolakan dari
sejumlah kalangan terkait rencana pembubaran Petral yang bertugas melakukan
ekspor impor minyak mentah untuk Pertamina itu. Dan akhirnya wacana pembubaran Petral ini
kandas di tengah jalan.
Meski demikian banyak pihak menilai bahwa
pembubaran Petral tidak akan menyelesaikan persoalan mafia migas di Tanah Air.
Pasalnya keberadaan mafia migas berada dari hulu hingga hilir, tidak hanya di
Petral saja. Hal ini terlihat dari adanya beberapa kasus korupsi di sektor
energi dan sumber daya mineral yang terkesan amat berjamaah. Dimulai dari
ditangkapnya mantan Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK Migas) yang juga mantan wakil
Menteri ESDM Rudi Rubiandini pada tahun 2013 dan disusul dengan penetapan
tersangka terhadap Sekretaris Jenderal ESDM Waryono Karno dan Menteri ESDM Jero
Wacik.
Jadi jika ingin memberantas mafia migas dan
memerangi korupsi industri tersebut, pemerintah harus melakukan reformasi
besar-besaran. Tidak hanya di Petral, tapi juga di sejumlah lembaga lain yang
berpotensi mengundang terjadinya kongkalingkong. Tidak bisa tidak, Kementrian
ESDM, Pertamina, Perusahaan Gas Negara (PGN), SKK Migas juga harus diawasi
dengan ketat. Pemerintah harus berupaya sedemikian rupa untuk meningkatkan
pengawasan terhadap lembaga-lembaga tersebut karena kesehariannya tak lepas
dari uang jutaan dollar.
Kembali ke soal Petral. Jikapun Petral dibubarkan,
fungsi pengadaan minyak mentah tetap dibutuhkan. Pemindahan fungsi Petral ke Pertamina
yang notabene akan dijalankan di Indonesia akan dapat memotong biaya
operasional. Pengawasannya pun akan lebih mudah untuk dilakukan. Tapi sekali
lagi, tentu saja pemerintah harus komit dalam pemberantasan mafia ini.
Meski demikian, sebelum pemerintah benar-benar
membubarkan Petral, alangkah baiknya jika Jokowi dan JK melakukan studi
kompehensif mengenai dampak positif dan negatif dari pembubaran unit bisnis
Pertamina tersebut. Jangan sampai keputusan yang salah malahan akan menjadi
bumerang bagi negara ini.