Rabu, 24 September 2014

Perangi Mafia Migas, Perlukah Petral Dibekukan?

Wacana pembekuan Pertamina Energy Trading Limited (Petral) kembali mencuat setelah pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkomitmen untuk memerangi mafia minyak dan gas. Petral kerap dituding sebagai mafia minyak yang merugikan Indonesia. Alhasil, banyak kalangan yang menyuarakan untuk menutup anak usaha PT Pertamina (Persero) tersebut. 



Dalam rekomendasinya, tim transisi Jokowi-JK mengatakan bahwa mafia migas terbukti dan diyakini menghambat dalam mewujudkan kedaulatan energi nasional. Pemerintah baru berkomitmen kuat untuk memberantas mafia migas dengan membentuk satgas anti mafia migas yang bekerja sungguh-sungguh secara efektif. Penindakan terhadap pelanggar hukum dilakukan dengan tegas dan tanpa pandang bulu. Ditindak dan dipublikasikan secara masif untuk menimbulkan efek jera. Hal ini akan dibarengi dengan perbaikan regulasi untuk menutup peluang munculnya mafia migas baru.

Langkah konkritnya, Petral akan dibekukan dan pemerintah akan melakukan audit investigatif terhadapnya. Selama proses pembekuan, masalah pembelian minyak mentah dan BBM dilakukan oleh Pertamina dan dijalankan di Indonesia.

Saat ini saham Petral 99,83% dimiliki oleh Pertamina dan 0,17% dimiliki Direktur Utama Petral , Nawazir. Petral memiliki 55 perusahaan yang terdaftar sebagai mitra usaha. Pengadaan minyak oleh Petral dilakukan secara tender terbuka. Namun Petral juga melakukan pengadaan minyak dengan pembelian langsung. Karena ada jenis minyak tertentu yang tidak dijual bebas atau pembelian minyak secara langsung dapat lebih murah dibandingkan dengan mekanisme tender terbuka.

Dahlan Iskan sebagai Menteri BUMN pernah melontarkan wacana pembubaran Petral yang bermarkas di Singapura ini. Alasan pembubaran Petral ini agar Pertamina sebagai korporasi dapat menjalankan kinerjanya secara baik di sektor hulu. Dahlan Iskan menjelaskan, selama ini banyak yang menilai bahwa Petral merupakan ajang korupsi para pejabat dan petinggi Pertamina. Petral dijadikan ajang mendapatkan komisi dari ekspor impor minyak bagi orang-orang tertentu. Karena berdomisili di Singapura, menjadi sulit dikontrol.

Dalam perkembangannya terdapat penolakan dari sejumlah kalangan terkait rencana pembubaran Petral yang bertugas melakukan ekspor impor minyak mentah untuk Pertamina itu.  Dan akhirnya wacana pembubaran Petral ini kandas di tengah jalan.

Meski demikian banyak pihak menilai bahwa pembubaran Petral tidak akan menyelesaikan persoalan mafia migas di Tanah Air. Pasalnya keberadaan mafia migas berada dari hulu hingga hilir, tidak hanya di Petral saja. Hal ini terlihat dari adanya beberapa kasus korupsi di sektor energi dan sumber daya mineral yang terkesan amat berjamaah. Dimulai dari ditangkapnya mantan Kepala Satuan Kerja Khusus (SKK Migas) yang juga mantan wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini pada tahun 2013 dan disusul dengan penetapan tersangka terhadap Sekretaris Jenderal ESDM Waryono Karno dan Menteri ESDM Jero Wacik.

Jadi jika ingin memberantas mafia migas dan memerangi korupsi industri tersebut, pemerintah harus melakukan reformasi besar-besaran. Tidak hanya di Petral, tapi juga di sejumlah lembaga lain yang berpotensi mengundang terjadinya kongkalingkong. Tidak bisa tidak, Kementrian ESDM, Pertamina, Perusahaan Gas Negara (PGN), SKK Migas juga harus diawasi dengan ketat. Pemerintah harus berupaya sedemikian rupa untuk meningkatkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga tersebut karena kesehariannya tak lepas dari uang jutaan dollar.

Kembali ke soal Petral. Jikapun Petral dibubarkan, fungsi pengadaan minyak mentah tetap dibutuhkan. Pemindahan fungsi Petral ke Pertamina yang notabene akan dijalankan di Indonesia akan dapat memotong biaya operasional. Pengawasannya pun akan lebih mudah untuk dilakukan. Tapi sekali lagi, tentu saja pemerintah harus komit dalam pemberantasan mafia ini.  


Meski demikian, sebelum pemerintah benar-benar membubarkan Petral, alangkah baiknya jika Jokowi dan JK melakukan studi kompehensif mengenai dampak positif dan negatif dari pembubaran unit bisnis Pertamina tersebut. Jangan sampai keputusan yang salah malahan akan menjadi bumerang bagi negara ini.

Senin, 15 September 2014

Sisi Nubi, Lambang Keseriusan Total Garap Mahakam di Tengah Ketidakpastian Kontrak

Di tengah ketidakpastian nasib perpanjangan Blok Mahakam, perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie tetap melakukan pengembangan-pengembangan untuk menjaga level produksi. Tanpa pengembangan tersebut, sudah dapat dipastikan produksi blok tersebut akan terjun bebas.

Proyek Sisi Nubi Fase 2B yang menelan investasi sebesar US$ 739 juta adalah salah satu contoh pengembangannya. Proyek yang bagian dari proyek MP3EI yang telah dicanangkan sejak beberapa waktu lalu akhirnya secara resmi diresmikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 September 2014.

Sebelumnya pada 2012, Total E&P Indonesia membangun tiga platform yakni Stupa, West Stupa dan East Mandu yang kesemuanya berada di proyek South Mahakam fase 1 & 2, dan pad pertengahan 2013 menambah 6 platform baru di blok Mahakam. Tak dapat disangkal, proyek-proyek ini merupakan wujud komitmen Total dan partnernya Inpex untuk terus berinvestasi di  blok migas tersebut.

Proyek Sisi-Nubi Fase 2 adalah bagian dari pengembangan Lapangan Sisi-Nubi di Blok Mahakam yang terletak di lepas pantai Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Proyek pengembangan Sisi-Nubi Fase 2B bertujuan untuk memadang dua wellhead platform baru. Platform itu yakni WPS2 di Lapangan Sisi dan WPN3 di Lapangan Nubi, termasuk jaringan pipa interkoneksi yang akan terhubung dengan dua platform yang sudah ada di masing-masing lapangan
Dalam pengembangan proyek Sisi-Nubi Fase 2, Total akan menambah 35 sumur dan menelan biaya US$1.033 miliar, dimana US$ 739 juta dialokasikan untuk Fase 2B. Suatu angka fantastis meski di tengah ketidakjelasan nasibnya dalam pengelolaan blok tersebut.
Pada 24 Agustus 2013, mulai operasi dengan pemasangan jacket di salah satu platform yang baru yakni WPS2. Pekerjaan offshore ini berlangsung selama beberapa bulan dengan melibatkan lebih dari 1.200 orang dan 42 kapal berbagai jenis.Seluruh rancang bangun dan pabrikasi proyek ini dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan nasional yakni PT Gunanusa Fabricator dan PT Rajawali Swiber Cakrawala dimana kontrak EPSCI-nya disetujui pada 27 Januari 2012. Pelibatan perusahaan-perusahaan dan produk nasional maupun tenaga ahli Indonesia dalam proyek ini, merupakan bentuk komitmen Total E&P Indonesie guna meningkatkan kapasitas Indonesia di industri hulu migas.
Memang untuk menjaga kestabilan produksi migas di sebuah blok tua semacam Blok Mahakam bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Makanya tidak heran jika setiap tahun Total dan Inpex membelanjakan sekitar US$ 2,5 miliar per tahun untuk mengelola blok tersebut. Keduanya juga berjanji untuk menginjeksikan investasi sebesat US$ 7,3 miliar hingga 2017 jika pemerintah memperpanjang kontrak Blok Mahakam.
Keseriusan Total memang sudah tampak jelas. Namun pemerintah tak juga memberikan kepastian mengenai masalah perpanjangan. Padahal Pertamina sebagai BUMN juga berminat untuk mengelolanya. Dan duet Pertamina dan Total dalam mengelola Mahakam pasca 2017 bisa jadi merupakan solusi terbaik. Itu adalah win-win solution yang membawa kebaikan bagi negara ini. 
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah sangat lamban dalam mengambil keputusan strategis dalam industri migas. Dalam kasus Mahakam, Total dan Inpex telah mengajukan proposal perpanjangan sejak 2008, namun hingga kini belum ada keputusan. Sementara pemerintah harus berkejaran dengan waktu agar produksi di Mahakam tidak menurun drastis akibat ketidakjelasan ini. 
Apalagi Mahakam adalah pemasok gas terbesar, yaitu sebesar 80 persen bagi kilang LNG Bontang di Kalimantan Timur. Kilang itu sendiri sebagian besar diperuntukan ekspor ke negara-negara Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Jika saja produksi Mahakam turun, maka sudah pasti penerimaan negara juga akan anjlok.
Kini saatnya pemerintah serius menggarap kebijakan migas dan memberikan kepastian bagi investor. Bagaimanapun juga Indonesia masih membutuhkan investor asing mengingat industri migas adalah industri yang padat karya, padat modal dan padat teknologi. Apalagi cadangan migas yang tersisa saat ini hanya tinggal di wilayah laut dalam yang lebih membutuhkan investasi besar.


Tanpa mempercepat persetujuan perpanjangan blok dan juga menggiatkan kegiatan eksplorasi, maka produksi migas nasional akan terus dalam kondisi SOS. Artinya Indonesia harus siap menjadi negara pengimpor migas sejati. Nah!

Kamis, 11 September 2014

CT Jadi MESDM, Akankah Persetujuan Proyek Migas Jadi Mulus?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya secara resmi telah menunjuk Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung sebagai Pelaksana Tugas Menteri ESDM menggantikan Jero Wacik yang menjadi tersangka kasus korupsi. Pria yang akrab dipanggil dengan CT tersebut akan menjalankan tugasnya tersebut sampai berakhirnya Kabinet Indonesia Bersatu II pada 20 Oktober 2014. Akankah terjun langsungnya CT ke industri ESDM akan mempercepat persetujuan beberapa proyek migas yang tertunda?

Penunjukan Chairul tersebut ditetapkan melalui Keppres No 77/P Tahun 2014 pada tanggal 9 September 2014. Penunjukkan itu dilakukan setelah pada pekan lalu Jero Wacik secara resmi mengajukan surat pengunduran diri sebagai Menteri ESDM kepada SBY. Sejak menyelenggarakan konferensi pers pada hari KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka kasus pemerasan, batang hidung Wacik memang sudah tak tampak lagi di lingkungan ESDM.

Ingin bekerja cepat, pada hari ini pula CT langsung mengadakan rapat pimpinan di lingkungan Kementerian ESDM. Dalam rapat tersebut selain wamen dan pejabat eselon satu Kementerian ESDM, juga dihadiri Kepala SKK Migas dan Kepala BPH Migas. CT berjanji untuk mengembalikan harkat dan martabak serta semangat Kementrian ESDM setelah berubi-tubi dilanda masalah.

CT juga menegaskan walaupun hanya berfungsi sebagai Ad Interim, kewenangannya tidak ada bedanya dengan Menteri ESDM. CT bisa mengambil tindakan dan keputusan apa pun terkait dengan kebijakan dan penyelesaian yang ada dalam tubuh Kementerian ESDM. Adanya CT di kementrian teknis tersebut menaruh setitik harap bahwa sejumlah masalah di sektor migas akan segera diselesaikan. Pasalnya selama ini, Kementrian ESDM harus berkonsultasi terlebih dahulu kepada Kementrian Koordinator Perekonomian dan Kementrian Keuangan, sehingga membutuhkan proses yang panjang. Nah jika MESDM dijabat oleh orang yang sama dengan Menko, sudah barang tentu proses persetujuan akan menjadi lebih singkat.

Gebrakan CT ketika didapuk menjadi Menko Perekonomian oleh SBY pada awal tahun ini memang pantas mendapatkan aplaus. Dalam tempo singkat CT membuat list masalah-masalah yang harus segera diselesaikan. Meski memang belum semuanya tuntas, tapi setidaknya ada keinginan untuk menuntaskan masalah.

Saat ini terdapat sejumlah proyek migas yang membutuhkan persetujuan dari pemerintah. Dan kebanyakan adalah masalah perpanjangan kontrak blok migas. Misalnya Blok Mahakam yang dioperasikan Total EP Indonesie dan Inpex yang akan habis pada 2017. Pihak operator sendiri telah mengajukan proposal perpanjangan sejak 2008 namun hingga kini belum ada keputusan. Selain itu, masih ada sejumlah blok-blok lain yang akan habis masa kontraknya. Sepanjang 2015-2021 akan ada 28 blok migas yang habis masa kontraknya. Dan artinya itu membutuhkan kerja cepat pemerintah untuk memberikan persetujuan.

Diperkirakan pemerintah saat ini memang takut untuk memberikan keputusan strategis. Tapi bukan berarti seorang CT tidak bisa memberikan masukan kepada pemerintahan Joko Widodo melalui tim transisinya. Dan juga tidak mungkin jika melalui konsultasi tersebut akhirnya diputuskan bahwa pemerintah saat ini dan pemerintah akan datang sepakat untuk memperpanjang kontrak-kontrak blok migas saat ini. Tujuannya tentunya untuk kemaslahatan bersama. Ujung-ujungnya negara juga yang akan diuntungkan karena produksi blok-blok tersebut setidaknya bisa dipertahankan jika pemerintah segera memberikan keputusan.

Sebagai pengusaha tentunya CT sangat paham bahwa dalam mengambil keputusan masalah perpanjangan, pemerintah harus melihatnya dalam jangka panjang. Misalnya bagaimana Indonesia masih membutuhkan investor dalam industri migas yang terkenal padat modal, karya dan teknologi.


Dengan demikian, harapan kita pada CT di sisa usia kabinet ini sangat besar. Pasalnya jika tidak dilakukan saat ini, mau kapan lagi? Setiap detik keputusan itu sangat bermanfaat bagi kepastian investasi sang penanam modal dan tentunya saja, bagi produksi migas nasional di masa mendatang.

Rabu, 03 September 2014

Siap Tak Populer, Jokowi Akan Naikkan Harga BBM Tahun Ini

Presiden terpilih Joko Widodo, yang akrab dipanggil dengan Jokowi, memastikan akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada tahun ini, setidak-tidaknya pada bulan Oktober setelah ia dilantik secara resmi menjadi RI-1. Langkah awal yang berani yang ditunggu-tunggu publik sekaligus meruntuhkan dugaan pencitraan yang kerap kali dituduhkan ke calon presiden ke-tujuh itu.

Jokowi menilai kenaikan harga BBM adalah hal pertama yang harus dipecahkan pemerintahannya untuk mengakhiri defisit ganda, defisit neraca pembayaran dan defisit perdagangan. Kalau dua defisit tersebut bisa dipecahkan, Jokowi yakin bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menjadi sehat. Dan jika makan trust terhadap pemerintahan baru akan terbangun sehingga arus investasi masuk.

Jokowi berjanji bahwa rakyat akan mendapatkan keuntungan dari pengalihan anggaran subsidi BBM ke pengembangan infrastruktur, pertanian, usaha kecil, untuk solar nelayan. Untuk itu diperlukan sistem benar dan dipastikan tepat sasaran agar penyaluran subsidi bisa dipertanggungjawabkan.

Soal subsidi ini memang selalu menjadi urusan pelik. Pasalnya tak hanya pejabat, bahkan rakyat biasa pun sebenarnya paham bahwa harga BBM tidak bisa tidak harus segera dinaikkan. Sistem yang ada saat ini dinilai tidak efektif dan salah sasaran. Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang yang sanggup membeli mobil tapi masih menikmati subsidi dari pemerintah. Sedangkan rakyat di Papua yang notabene rawan miskin malah tidak menikmatinya. Dimana rasa keadilan itu?

Meski demikian, menaikkan harga BBM adalah bola panas yang terus dihindari pemerintah. Misalnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas telah menolak untuk menaikkan harga BBM dengan alasan tidak mau menambah beban masyarakat yang sudah cukup berat. Terlebih harga BBM sudah dinaikkan pada 2013 lalu, ditambah dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun ini.

Padahal, dalam APBN 2014 pemerintah dan DPR telah sepakat untuk memangkas volume quota BBM bersubsidi dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kl dengan asumsi harga BBM akan dinaikkan Rp 1.000 per liter pada Agustus ini. Tak heran jika pemerintah mendatang merasa pusing tujuh keliling untuk memecahkan masalah agar subsidi BBM Indonesia tidak melebihi budget yang telah ditentukan.

Tanpa ada kenaikan harga, masyarakat akan terus boros mengonsumsi BBM bersubsidi dan kuota 46 juta kilo liter bisa terlampaui. Jika terus mengeluarkan anggaran subsidi BBM ratusan triliun rupiah per tahun, negara bisa bangkrut. Maka tidak ada lagi sisa untuk membangun infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Memang diakuii, pemerintahan SBY telah berulang kali melakukan kenaikan harga BBM. Bahkan tahun 2005 sempat menaikan sampai 140 persen. Tahun 2013 lalu juga sudah menaikan kembali harga BBM sekitar 33 persen. Namun bukan berarti kebijakan itu tidak bisa diambil lagi mengingat saat ini kondisinya sudah sangat mendesak. Kebijakan kenaikan harga BBM memang tidak popolis namun hanya itu satu-satunya yang bisa ditempuh untuk mengurangi defisit anggaran.

Kebijakan pemberian subsidi BBM Indonesia terus menuai kritik karena dianggap tidak mencapai sasaran. Bagaimana tidak, kalangan menengah yang dianggap mampu –setidaknya mampu membeli mobil segenap dengan segala konsekuensinya- tetap diberi kucuran subsidi oleh pemerintah.

Bank Dunia (World Bank) berulangkali telah mengeritik kebijakan pemerintah tersebut. World Bank menilai tingginya subsidi BBM dan listrik dapat menekan keuangan negara dan dapat menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan alokasi subsidi BBM untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak, seperti subsidi untuk investasi dalam bidang infrastruktur, perbaikan iklim investasi, dan perbaikan pelayanan masyarakat.

Jika Jokowi berani menaikkan harga BBM, maka sudah sepatutnya ia mendapatkan apresiasi. Pasalnya hal tersebut akan meruntuhkan dugaan pencitraan terhadap Jokowi. Resiko menaikkan harga BBM sudah jelas sangat berat, yaitu menurunnya simpati publik karena masyarakat Indonesia sangat gerah dengan keputusan kenaikan harga BBM. Turunnya Presiden Soeharto setelah 32 tahun merajai Indonesia sedikit banyak juga dipicu oleh kebijakan kenaikan harga BBM.

Rakyat Indonesia banyak menaruh harapan terhadap Jokowi. Bukan hanya soal menaikkan harga BBM, tapi juga menyelesaikan banyak pekerjaan rumah pemerintahan SBY. Sebut saja soal perpanjangan kontrak migas. Saat ini banyak blok-blok migas yang menanti kepastian pemerintah, misalnya Blok Mahakam dan Blok Masela. Padahal kedua blok tersebut akan sangat memberikan kontribusi yang signifikan pada APBN.


SBY memang terkenal dengan prinsip kehati-hatian yang amat sangat. Bahkan saking hati-hatinya, terlalu banyak kebijakan yang mengambang yang tidak membuahkan hasil. Padahal keputusan dari pemerintah telah dinanti-nantikah khalayak. DI tangan Jokowi, gebrakan-gebrakan yang tak populer itu lah yang dinanti-nanti. Sebagai mantan pengusaha, Jokowi pasti mengerti langkah-langkah apa yang harus diambil untuk meningkatkan investasi. Dan tak muluk jika kita mengharapkan Indonesia baru di masa lima tahun mendatang.