Kamis, 26 September 2013

Kelirumologi Cost Recovery


indonesiafinancetoday
Kelirumologi atau salah kaprah mengenai apa dan bagaimana pengelolaan industri minyak dan gas Indonesia masih terjadi. Banyak orang menilai bahwa industri ini hanya menguntungkan segelintir orang saja, yaitu mayoritas pemain-pemain asing, sementara pemerintah dan perusahaan minyak nasional hanya menjadi penonton di negeri sendiri.

Besarnya perhatian publik terhadap industri migas tak lepas dari besarnya kontribusi industri ini terhadap laju perekonomian nasional. Tengok saja, sepanjang semester pertama tahun 2013 ini, penerimaan negara dari pengelolaan industri hulu minyak dan gas bumi mencapai US$18,7 miliar dari target yang ditetapkan US$18.4 miliar untuk setengah tahun pertama.  Sementara pada 2012, minyak dan gas membukukan penerimaan negara sebesar US$34,9 miliar atau lebih dari Rp 350 triliun. Jumlah ini ekivalen dengan 104 persen dari target APBN-P 2012.

Melihat jumlah yang fantastis ini tentunya masyarakat langsung berpikir bahwa kalau bagian pemerintah sebegitu besar, pastinya bagian kontraktor juga lebih besar. Ini adalah kelirumologi yang harus segera diluruskan. Tak hanya itu, masih beberapa hal salah kaprah yang perlu untuk diketahui. Apa saja kah itu?

indonesiafinancetoday
Salah satunya adalah soal cost recovery. Acap kali urusan ini menyedot perhatian publik karena jumlahnya yang mencapai triliunan rupiah dan dianggap merugikan negara. Padahal cost recovery adalah pengembalian atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan suatu perusahaan jika berhasil memproduksikan minyak dan gas. Suatu perusahaan minyak tentunya harus menanggung resiko biaya eksplorasinya tidak akan digantikan jika tidak berhasil mengkomersialisasikan hidrokarbon.

Yang menjadi masalah, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menganggarkan sejumlah cost recovery pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada tahun 2013, cost recovery dipatok sebesar $15.2 miliar dan $15.13 miliar pada 2012

Kalangan investor tidak begitu bahagia dengan keputusan tersebut. Indonesian Petroleum Association bahkan menyebutkan sekitar 70-80 persen cost recovery dari hulu migas merupakan investasi. Dengan demikian, jika pembiayaan cost recovery dibatasi dan ditekan, tentunya akan berpengaruh kepada produksi minyak dan gas nasional. Dan pada akhirnya pemerintah juga lah yang akan mengalami kerugian.

Jika pemerintah memang menginginkan peningkatan produksi migas nasional, sudah selayaknya cost recovery tidak lagi ditekan dalam APBN. Jangan sampai satu kebijakan dengan kebijakan yang lain berseberangan.

Rabu, 18 September 2013

Blok Migas Masela dan Mahakam di Indonesia, Serupa Tapi Tak Sama


Blok Masela dan Blok Mahakam di Indonesia memiliki persamaan, meski tak 100% serupa. Persamaannya, kedua blok ini sangat diharapkan pemerintah untuk menunjang perekonomian negara di masa mendatang. Memang dari segi produksi, kedua blok tersebut memang sangat amat menjanjikan dan sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan produksi gas karena Indonesia sudah tak lagi kaya minyak.

Inpex memiliki saham di Blok Mahakam dan Masela tersebut. Jika di Masela, Inpex menjadi operator, maka di Mahakam perusahaan asal Jepang tersebut hanya sebagai non-operating company dengan memegang saham sebesar 50%. Kedua blok ini sangat mengharapkan kepastian dari pemerintah mengenai perpanjangan kontraknya. Jika Blok Mahakam baru akan selesai kontraknya pada tahun 2017, kontrak Masela baru akan habis pada tahun 2028. Meski demikian para investor tersebut membutuhkan kepastian dari pemerintah mengenai nasib perpanjangannya karena terkait dengan perencanaan investasi jangka panjang.

Dalam mengelola Masela, Inpex berminta dengan perusahaan asal Belanda, Shell. Kedua perusahaan tersebut dengan mengembangkan lapangan gas Abadi yang berada di Masela sebagai “green-field project” dengan menggunakan teknologi LNG terapung. Teknologi ini baru pertama kali diterapkan di Indonesia. Jadi tidak heran jika Inpex benar-benar serius dalam menggarapnya.

President & Chief Executive Officer (CEO) Inpex Toshiaki Kitamura dalam pertemuannya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin (18 September 2013), menyatakan keyakinannya bahwa Proyek Abadi LNG akan berperan secara signifikan terhadap kemakmuran jangka panjang bagi Indonesia.

Proyek Abadi menargetkan produksi awal LNG sebanyak 2,5 juta ton per tahun dengan jangka waktu proyek selama 30 tahun. Kapasitasnya bisa bertambah jika memang cadangan gas yang ada di blok tersebut telah berhasil disertifikasi. Untuk itu Inpex juga sedang mengerjakan tahap pengembangan lebih lanjut dari Lapangan Abadi dengan tujuan untuk mengembangkan potensi besar gas Abadi secara penuh di masa depan. 

Blok Masela akan memulai produksi pertamanya sekitar pada tahun 2018-2019. Masalahnya, proyek tersebut menjadi sangat tidak ekonomis jika hanya dilakukan dalam jangka waktu 19-20 tahun. Untuk itu Inpex mengajukan perpanjangan kontrak selama 20 tahun hingga tahun 2048 agar proyek Masela menjadi ekonomis.

merdeka.com
Hal serupa juga terjadi pada Blok Mahakam. Total E&P Indonesie sebagai operator blok teresebut meminta kepastian pemerintah untuk perpanjangan kontraknya karena terkait dengan investasi yang akan ditanamkannya. Total dan Inpex telah komit untuk menginvestasikan dana sebesar $7,3 miliar untuk mempertahankan level produksi Mahakam di level 1,2 miliar kubik per hari dari 1,7-1,8 miliar kaki kubik per hari pada saat ini.  Namun untuk  mencapai angka 1,2 miliar kaki kubik per hari tersebut terntunya Total harus melakukan eksplorasi sejak saat ini. Jika tidak,  maka produksi gas Mahakam akan jeblok ke angka 500,000-800,000 kaki kubik per hari.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengaku pemerintah masih terus mengevaluasi usulan perpanjangan Masela dan Mahakam karena ingin memastikan Indonesia akan mendapatkan manfaat yang lebih banyak dari blok tersebut (Kompas, 19 September 2013).

Mengingat tahun depan adalah tahun politik, sudah selayaknya pemerintah memberikan keputusan terkait dua blok tersebut selambat-lambatnya pada tahun 2013. Selain memberikan kepastian pada investor secepatnya, konsentrasi pemerintah pun belum terlalu buyar akibat harus menghadapi Pemilu. Selain itu, PR yang dilakukan pemerintah masih sangat banyak, misalnya saja amandemen UU Migas 2001. Jangan sampai hal-hal non-teknis tersebut pada akhirnya hanya akan merugikan negara ini. 

Selasa, 10 September 2013

Dapatkah Pertamina Kelola Blok Migas Mahakam di Indonesia Tanpa Total?


Dapatkah Pertamina mengelola Blok migas Mahakam di Kalimantan tanpa Total? Banyak hal yang harus dibahas untuk menjawab pertanyaan ini. Pasalnya ini menyangkut urusan ekonomi dan politik.

Meski demikian, baru-baru ini pemerintah diminta DPR RI menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017 kepada Pertamina. Pasalnya Pertamina dinilai sudah mumpuni untuk dapat mengelolanya sendiri. Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Zainuddin Amali dari Fraksi Partai Golkar seperti yang dikutip Waspada, Senin (9/9/2013), sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33, hak pengelolaan Blok Mahakam mesti diserahkan ke Pertamina karena negara akan memperoleh keuntungan besar kalau dikelola oleh Pertamina. Total sudah  menikmati keuntungan hingga triliunan rupiah saat mengelola Blok Mahakam selama 50 tahun hingga 2017.

Benarkan Total sudah untung besar? Dengan pola bagi hasil yang diterapkan pemerintah, yaitu normalnya 70:30 untuk pola bagi gas, memang Total mendapatkan bagian dari produksi di blok tersebut. Namun Total menggelentorkan investasi yang tidak sedikit, yaitu sekitar $2.5-3 miliar per tahun. Sementara revenuenya mencapai $11.23 miliar pada tahun 2012 dan diperkirakan turun menjadi $8.92 miliar (Rp 85 triliun_ pada tahun 2013 (detikcom, 3 April 2013), namun angka tersebut masih harus dipotong biaya dan pajak, seperti cost recovery. Lalu berapa sih yang akan didapat pemerintah dari revenue tersebut? Ternyata cukup fantastis dan sangat membantu APBN, yaitu Rp 63 trillion pada 2012 dan Rp 45 triliun pada 2013. Sementara Total dan Inpex yang memegang saham masing-masing 50% di Blok Mahakam hanya mendapatkan masing-masing Rp 7.5 triliun.

Lalu kenapa sih revenue dan juga profit yang didapatkan pemerintah pada tahun ini diperkirakan turun dibandingkan tahun kemarin? Tak lain dan tak bukan, penyebabnya adalah penurunan produksi gas di blok tersebut. Maklum saja, Mahakam telah berproduksi puluhan tahun sehingga penurunan alami pasti terjadi. Jika Total dan Inpex tidak menambah investasinya di blok ini, sudah pasti produksi akan terjun bebas. Maka tak heran jika Total berkomitmen untuk menyuntikkan dana sebesar $7,3 miliar pasca 2017, tentunya jika pemerintah memperpanjang kontraknya.

Tanpa adanya investasi tersebut produksi Blok Mahakam akan semakin jeblok ke angka 500-800 juta kaki kubik di tahun 2017 dari angka produksi saat ini di level 1.8 miliar kaki kubik. Namun jika investasi tersebut disuntikkan Total, maka laju penurunan produksi bisa ditahan di level 1.1-1.2 miliar kaki kubik.

Kompleksitas blok tersebut tak perlu diragukan lagi. Dibutuhkan pengalaman, teknologi dan juga SDM yang dapat menahan laju penurunan produksi. Jika tidak, maka produksi Mahakam akan terjun bebas. Akibatnya penerimaan negara juga akan jungkir balik.

Pertanyaannya, sanggupkah Pertamina menanganinya sendiri, seperti yang diminta sejumlah kalangan? Mungkin saja Pertamina mampu, namun tentunya tidak serta merta dapat mempertahankan laju produksi Mahakam seperti level saat ini, setidaknya butuh waktu untuk beradaptasi. Namun jika Pertamina tidak segera dapat beradaptasi, sudah dipastikan Mahakam akan menjadi lapangan yang se-sexy sekarang. Sementara kalau secara finansial, sekali lagi, mungkin saja mampu melalui pendanaan pihak ketiga. Yang menjadi masalah, saat ini Pertamina juga sedang gencar melakukan ekspansi kegiatan hulunya ke luar negeri, seperti Irak yang diperkirakan dapat memproduksi 2 juta barrel/hari. Sudah pasti ini membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Apakah alangkah tidak lebih baik jika Pertamina memprioritaskan investasinya untuk usaha ekspansi ke luar negeri mengingat produksinya yang lebih menjanjikan, ketimbang focus ke Mahakam yang produksinya semakin turun?

Tapi jika menafikan Pertamina sama sekali rasanya juga tidak mungkin karena ini akan menjadikan bola panas di negeri ini. Jadi rasanya penerapan masa transisi seperti yang diajukan Total merupakan solusi terbaik dari pro dan kontra kasus ini.

Dapatkah Pertamina Kelola Blok Migas Mahakam di Indonesia Tanpa Total?




Dapatkah Pertamina mengelola Blok migas Mahakam di Kalimantan tanpa Total? Banyak hal yang harus dibahas untuk menjawab pertanyaan ini. Pasalnya ini menyangkut urusan ekonomi dan politik.




Meski demikian, baru-baru ini pemerintah diminta DPR RI menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017 kepada Pertamina. Pasalnya Pertamina dinilai sudah mumpuni untuk dapat mengelolanya sendiri. Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR Zainuddin Amali dari Fraksi Partai Golkar seperti yang dikutip Waspada, Senin (9/9/2013), sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33, hak pengelolaan Blok Mahakam mesti diserahkan ke Pertamina karena negara akan memperoleh keuntungan besar kalau dikelola oleh Pertamina. Total sudah  menikmati keuntungan hingga triliunan rupiah saat mengelola Blok Mahakam selama 50 tahun hingga 2017.

Benarkan Total sudah untung besar? Dengan pola bagi hasil yang diterapkan pemerintah, yaitu normalnya 70:30 untuk pola bagi gas, memang Total mendapatkan bagian dari produksi di blok tersebut. Namun Total menggelentorkan investasi yang tidak sedikit, yaitu sekitar $2.5-3 miliar per tahun. Sementara revenuenya mencapai $11.23 miliar pada tahun 2012 dan diperkirakan turun menjadi $8.92 miliar (Rp 85 triliun_ pada tahun 2013 (detikcom, 3 April 2013), namun angka tersebut masih harus dipotong biaya dan pajak, seperti cost recovery. Lalu berapa sih yang akan didapat pemerintah dari revenue tersebut? Ternyata cukup fantastis dan sangat membantu APBN, yaitu Rp 63 trillion pada 2012 dan Rp 45 triliun pada 2013. Sementara Total dan Inpex yang memegang saham masing-masing 50% di Blok Mahakam hanya mendapatkan masing-masing Rp 7.5 triliun.

Lalu kenapa sih revenue dan juga profit yang didapatkan pemerintah pada tahun ini diperkirakan turun dibandingkan tahun kemarin? Tak lain dan tak bukan, penyebabnya adalah penurunan produksi gas di blok tersebut. Maklum saja, Mahakam telah berproduksi puluhan tahun sehingga penurunan alami pasti terjadi. Jika Total dan Inpex tidak menambah investasinya di blok ini, sudah pasti produksi akan terjun bebas. Maka tak heran jika Total berkomitmen untuk menyuntikkan dana sebesar $7,3 miliar pasca 2017, tentunya jika pemerintah memperpanjang kontraknya.

Tanpa adanya investasi tersebut produksi Blok Mahakam akan semakin jeblok ke angka 500-800 juta kaki kubik di tahun 2017 dari angka produksi saat ini di level 1.8 miliar kaki kubik. Namun jika investasi tersebut disuntikkan Total, maka laju penurunan produksi bisa ditahan di level 1.1-1.2 miliar kaki kubik.

Kompleksitas blok tersebut tak perlu diragukan lagi. Dibutuhkan pengalaman, teknologi dan juga SDM yang dapat menahan laju penurunan produksi. Jika tidak, maka produksi Mahakam akan terjun bebas. Akibatnya penerimaan negara juga akan jungkir balik.

Pertanyaannya, sanggupkah Pertamina menanganinya sendiri, seperti yang diminta sejumlah kalangan? Mungkin saja Pertamina mampu, namun tentunya tidak serta merta dapat mempertahankan laju produksi Mahakam seperti level saat ini, setidaknya butuh waktu untuk beradaptasi. Namun jika Pertamina tidak segera dapat beradaptasi, sudah dipastikan Mahakam akan menjadi lapangan yang se-sexy sekarang. Sementara kalau secara finansial, sekali lagi, mungkin saja mampu melalui pendanaan pihak ketiga. Yang menjadi masalah, saat ini Pertamina juga sedang gencar melakukan ekspansi kegiatan hulunya ke luar negeri, seperti Irak yang diperkirakan dapat memproduksi 2 juta barrel/hari. Sudah pasti ini membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Apakah alangkah tidak lebih baik jika Pertamina memprioritaskan investasinya untuk usaha ekspansi ke luar negeri mengingat produksinya yang lebih menjanjikan, ketimbang focus ke Mahakam yang produksinya semakin turun?

Tapi jika menafikan Pertamina sama sekali rasanya juga tidak mungkin karena ini akan menjadikan bola panas di negeri ini. Jadi rasanya penerapan masa transisi seperti yang diajukan Total merupakan solusi terbaik dari pro dan kontra kasus ini.