Rabu, 18 Juni 2014

Marak, Penyelundupan Minyak Mentah di Indonesia

Masalah penyelundupan minyak mentah di Indonesia bukanlah berita baru. Ini adalah berita usang yang senantiasa terjadi. Selalu dibasmi namun ibarat pepatah, "hilang satu tumbuh seribu."

Baru-baru ini kasus penyelundupan minyak mentah terbesar dalam sejarah di Indonesia terjadi. Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau menggagalkan usaha penyelundupan minyak mentah. Tanker bernama MT Jelita Bangsa membawa muatan 402.000 barel minyak mentah. Bukan jumlah yang sedikit. Dengan harga minyak yang mencapai lebih dari $100 per barel saat ini, wuiiih.....bisa dibayangkan berapa keuntungannya.

Usut punya usut, minyak tersebut merupakan milik Pertamina yang diambil dari sumur Chevron di Dumia. MT Jelita Bangsa yang disewa Pertamina harusnya membawa minyak tersebut ke Kilang Balongan, namun tanker ini menyelundupkannya ke kapal lain di perbatasan Malaysia.

Pertamina sendiri membantah bahwa perusahaannya terlibat dalam usaha penyelundupan tersebut. Bahkan Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya mengatakan, MT Jelita Bangsa melakukan pelanggaran penyelundupan yang sangat jelas, yaitu mematikan GPS dan menyimpang dari jalur yang seharusnya. Pertamina akan menuntut perusahaan pemilik tanker, yaitu PT Trada Maritim Tbk (TRAM), untuk memastikan minyak mentah ini diantar ke Balongan dengan jumlah utuh. Pertamina juga meminta pihak yang berwajib untuk mengusut tuntas para pelakunya.

Kilas balik ke tahun 2005. Pada saat itu terungkapnya kasus penyelundupan di terminal milik Pertamina di Lawe-lawe, Kalimantan Timur yang ternyata telah terjadi bertahun-tahun. Kali itu penyelundupannya terjadi pada Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan minyak mentah. Kasus ini cukup spektakuler dan menjadi sorotan semua pihak karena kerugian negara yang ditimbulkan mencapai lebih dari 8 triliun rupiah lebih per tahun.

Modus operandinya pun juga membuat kita berdecak kagum. Para pelaku menggunakan pipa berdiameter 1,5 meter dan panjangnya sampai tujuh mil, kemudian pipa tersebut dimasukkan ke bawah laut. Melalui pipa inilah setiap malam, minyak curian dialirkan dari tepi Kaltim di Single Buoy Mooring di Lawe-lawe, ke kapal-kapal pengangkut untuk diselundupkan keluar. Ditengarai puluhan orang terlibat dalam kasus penyelundupan tersebut. Sekurang-kurangnya delapan pejabat Pertamina, lima warga negara asing dan 35 pelaksana lapangan ditengarai turut serta dalam penyelundupan tersebut.

Selain kasus spektakuler tersebut, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga kerap kali menangkap penyeludupan-penyelundupan dalam jumlah kecil. Meski jumlahnya kecil namun itu acap kali terjadi. Dan penyelamatan yang dilakukan BPH Migas juga cukup signifikan.

Maklum saja jika BBM Indonesia sering diselundupkan. Ini tak lain sebagai akibat dari penerapan mekanisme subsidi BBM yang masih berlaku di Indonesia. Akibatnya harga BBM Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan harga pasar. Jika saja BBM itu diselundupkan ke negara yang sudah tidak menerapkan subsidi, maka bisa dibayangkan berapa banyak keuntungan penyelundup atas aksinya tersebut.

Melihatnya ritme dan profesionalisme para penyelundup ini
tak heran jika pada kasus penyelundupan kali ini, sejumlah pihak kembali bersuara lantang dan meminta institusi penegak harus memberi respons maksimal terhadap segala macam bentuk konspirasi penyelundupan, baik BBM ataupun minyak mentah.
Jika tidak ditangani secara serius maka kerugian negara yang ditimbulkannya akan semakin besar.


Para pelaku penyelundupan harus ditindak tegas untuk memberikan efek jera. Penegak hukum tidak boleh tebang pilih dalam menentukan tersangka, apakah ia pejabat ataupun bukan. Selain itu pemerintah juga harus meninjau kebijakan subsidi BBM yang ternyata malah lebih banyak mudhortnya daripada manfaatnya.

Senin, 16 Juni 2014

Benarkah Investor Asing Siap Tinggalkan Indonesia Jika Prabowo Menang

Mayoritas investor asing berpotensi untuk hengkang dari Indonesia jika calon presiden Prabowo Subianto terpilih jadi presiden. Aksi capital outflow yang akan mereka lakukan didasarkan kekawatiran Prabowo tidak mampu membentuk pemerintahan yang profesional.
 Demikian menurut survei yang dilakukan oleh Deutsche Bank yang dirilis baru-baru ini.
Menurut survey tersebut, sebanyak 56 persen dari 70 responden yang disurvei oleh PT Deutsche Bank Verdhana Indonesia pada bulan Mei-Juni mengatakan akan melakukan penjualan aset bila Prabowo menang, sementara 13 persen dari responden mengatakan akan melakukan pembelian aset.

Sebaliknya jika yang menang adalah Joko Widodo (Jokowi), 74 persen dari responden mengatakan akan melakukan pembelian aset (saham maupun obligasi) di pasar keuangan Indonesia, dan hanya 6 persen yang mengatakan akan melakukan penjualan.


Survei oleh Deutsche Bank ini menunjukan 87 persen suara mengatakan bahwa hasil pemilu akan berpengaruh terhadap keputusan investasi mereka dan hanya 13 persen suara yang menyatakan hasil pemilu tidak berpengaruh atas keputusan investasi.
Disebutkan pula dalam survey tersebut bahwa 50 persen investor mengaku percaya pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla bakal menang. Potensi untuk pasangan capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebesar 41 persen. Sementara itu, sebanyak 9 persen pemilih belum menentukan pilihan atau undecided voters. Terdapatnya koalisi Jokowi-Jusuf Kalla di hati para responden tersebut karena pendekatan koalisi pasangan capres dan cawapres nomer dua tersebut dinilai non-transaksional, dibanding pendekatan Prabowo-Hatta Rajasa yang kompromistis pragmatis. Dengan demikian piliha  antara kedua capres itu adalah antara perubahan atau status quo.
Jokowi dengan tegas menyatakan tidak ada transaksi koalisi dalam pembentukan kabinetnya bila dia menang, sedangkan Prabowo memperlihatkan adanya janji-janji politik kepada koalisinya. Hal ini yang menjadi kekhawatiran utama bagi investor, bahwa kabinet yang terbentuk tidak bisa menjalankan roda pemerintahan secara profesional
Pro dan kontra mewarnai hasil survey tersebut. Sejumlah pengamat menilai hasil survei yang dilakukan PT Deutsche Bank Verdhana Indonesia tidak serta merta menggambarkan kondisi pasar modal secara keseluruhan. Pasalnya yang disurvei hanya 70 investor yang bermitra dengan Deutsche Bank di pasar keuangan. Dengan demikian hasilnya tidak bisa dianggap mewakili suara investor di pasar sebenarnya. Tak hanya itu, bahkan investor asing juga dinilai mencari keuntungan di tengah situasi politik menjelang peralihan kekuasaan. Skenario terburuknya, kalaupun investor asing melepas sahamnya, investor lain –meskipun itu investor lokal- akan siap menampungnya. Jadi Indonesia tidak perlu takut dengan adanya hasil survey tersebut.
Lepas dari itu, sosok Prabowo memang tidak lepas dari isu nasionalisasi. Selama ini mantan jenderal bintang satu itu memang santer menyuarakan pro industri nasional. Entah bagaimana, ada ketakutan pro industri nasional tersebut diartikan dengan nasionalisasi ala Hugo Chavez, dimana seluruh asset asing akan disita negara, seluruh kontrak-kontrak akan diamandemen. Itulah yang dikhawatirkan para investor asing. Padahal ada triliunan investasi asing yang ditanamkan di Indonesia. Tak hanya perusahaan asing kelas menengah, namun juga perusahaan asing ternama seperti Total, Chevron, ExxonMobil, dll.
Dan lagi, baru-baru ini Hasyim Djohadikusumo yang notabene adalah adik kandung Prabowo menyatakan akan memberikan perpanjangan kontrak Mahakam kepada Pertamina jika Prabowo terpilih menjadi presiden. Pernyataan tersebut dinilai sebagai bagian dari nasionalisasi yang akan dilakukan Prabowo.
Lalu bagaimana tanggapan Prabowo sendiri? Dalam debat capres edisi kedua yang ditayangkan di TV nasional, Prabowo membantah adanya stigma bahwa dirinya anti asing. Bahkan ia mengakui investasi asing adalah hal positif. Namun pemerintah juga harus mempedulikan masyarakat bawah sehingga pemerintah juga harus turun tangan dengan tidak membiarkan masyarakat bawah langsung bersaing dengan yang kuat. Investor asing boleh saja masuk ke Indonesia tetapi juga harus mementingkan kepentingan ekonomi Indonesia
"Ini membedakan dengan neolib. Kami dukung investasi asing tetapi tidak boleh mematikan rakyat. Datang ke Indonesia bawa uang. Jangan datang pakai uang Indonesia," ujar Prabowo dalam debat Capres, Minggu (15/6/2014) malam.
Meski demikian Prabowo berjanji akan merenegosiasi ulang kontrak-kontrak dengan kontraktor asing.kkontrak-kontrak pertambangan dengan investor asing akan ditinjau kembali demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.


Lepas dari siapapun presiden terpilih nanti, Indonesia tetap membutuhkan investasi asing. Terlalu banyak proyek-proyek, terutama infrastruktur dan proyek migas yang membutuhkan dana besar dan sulit dipenuhi oleh investor lokal. Inilah yang menjadikan investor asing tetap berfungsi sebagai mitra. Kita harus bisa membedakan antara nasionalisme dan nasionalisasi. Keduanya memiliki arti yang jauh berbeda. Nasionalisme adanya di hati, bukan dengan cara melakukan nasionalisasi.

Minggu, 01 Juni 2014

2018, Indonesia Berpotensi Alami Krisis Listrik

antarasumut.com
Pemerintah memberikan peringatan bahwa Indonesia berpotensi mengalami krisis pasokan listrik pada tahun 2018. Krisis itu tak hanya terjadi di Pulau Jawa saja, namun juga di seantero nusantara akibat terbatasnya dana investasi dan mendeknya pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batang di Jawa Tengah yang berkapasitas total 2.000 megawatt (MW). Proyek yang ditargetkan rampung pada tahun 2016 tersebut menjadi tidak jelas kapan selesainya. Pasalnya pembebasan lahan yang harusnya rampung pada 2012 lalu, sampai saat ini belum juga kelar. Padahal konstruksi proyek tersebut diperkirakan memakan waktu empat tahun.

Tak hanya itu, terbatasnya dana investasi kelistrikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) turut memberikan kontribusi terbesar atas terhambatnya pembangunan pembangkit-pembangkit listik baru. Padahal idealnya Indonesia setidaknya harus memiliki tambahan pasokan listrik setiap tahunnya sebesar antara 5.000-6.000 MW. Namun nyatanya PLN hanya mampu memenuhi kebutuhan 4.000 MW saja, sedang sisanya tidak dapat dipenuhi. Artinya ada defisit listrik minimal 1.000 MW per tahun.

Saat ini, beban puncak listrik di Pulau Jawa adalah 23.000 MW, sementara kapasitas listriknya 31.000 MW, sehingga masih ada cadangan 30%. Namun dalam empat hingga lima tahun ke depan, beban ini bakal naik bila tak ada tambahan listrik. Kebutuhan listrik tiap tahun terus meningkat mencapai hingga 8,5% per tahun jika pertumbuhan ekonomi mencapai 6% per tahun.

Sebagai gambaran bagaimana terbatasnya dana investasi PLN, untuk tahun ini saja, PLN membutuhkan dana sebesar Rp 151 triliun yang dipakai untuk mencukupi subsidi dan membiayai investasi pembangunan infrastruktur kelistrikan. Namun masalahnya, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2014, Kementerian Keuangan hanya menaikkan pagu subsidi dari Rp 71,4 triliun menjadi Rp 107,1 triliun. Artinya, masih ada kekurangan Rp 8 triliun yang harus dipenuhi PLN. Akibatnya investasi menjadi terkendala padahal pertumbuhan konsumsi listrik semakin meningkat.

Menteri Koordinator Perekonomian yang baru Chairul Tanjung mengatakan pemerintah akan berusaha untuk segera menyelesaikan proyek tersebut. Untuk itu, pria yang akrab dipanggil CT tersebut akan terjun langsung ke lapangan bertemu dengan pemerintah daerah termasuk soal pembebasan lahan. Maklum saja, selain proyek tersebut bernilai vital bagi perekonomian nasional, investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut juga cukup besar, yaitu Rp 38 triliun.

Pemerintah sendiri juga mengaku prihatin dengan kondisi listrik di luar Jawa, seperti misalnya Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang sangat parah kekurangan pasokannya. Dan ternyata, masalah perijinan juga menjadi masalah dalam sektor kelistrikan, sebagaimana terjadi juga di sektor migas nasional.

Ancaman krisis listrik ini mungkin bukan hal yang baru lagi. Jadi yang dibutuhkan saat ini adalah langkah cepat pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah-masalah terkait. Pasalnya listrik adalah energi vital untuk menggerakan perekonomian nasional. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah meningkatkan penggunaan gas domestic dan juga menciptakan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah selama ini dinilai kurang mengakomodir permintaan investor sehingga pembangunan infrastruktur gas menjadi terhambat.

Beberapa tahun silam, Wakil Presiden Boediono pernah mengingatkan betapa pentingnya pembangunan infrastruktur bagi pengembangan dan penggunaan gas domestik. Namun pembeli gas harus bersedia melakukan renegosiasi harga beli gasnya agar produsen bisa mendapatkan harga yang kompetitif. Maklum saja, masih banyak kontrak jual beli gas domestic yang nilainya masih di bawah $4/MMBtu. Maka tak heran jika banyak produsen gas yang lebih memilih ekspor ketimbang memasok gas dalam negeri.  

Harus diingat, peranan pemerintah sangat besar karena kebijakannya lah yang akan menentukan banyak tidaknya investor masuk ke industri gas nasional. Bisa dibayangkan, dengan prototype Indonesia sebagai negara kepulauan, tentunya dibutuhkan investasi yang besar untuk dapat membangun pipa yang menghubungkan satu kepulauan dengan kepulauan lain. Dan untuk itu dibutuhkan insentif, baik untuk industri hilir maupun hulu.

Investor sangat membutuhkan insentif untuk menjamin proyeknya berjalan lancar. Insentif apakah yang bisa diberikan pemerintah? Ya misalnya insentif fiscal, seperti pembebasan biaya masuk dan tax holiday. Insentif-insentif ini akan merangsang investor di kegiatan hulu untuk melakukan eksplorasi dan meningkatkan produksinya. Sementara di kegiatan hilir, ini dapat mempercepat pembangunan pipanisasi yang terintegrasi di Indonesia. Siapa tahu, jika di masa mendatang gas dari Kalimantan bisa dialirkan ke Jawa melalui pipa.


Meski demikian pemerintah sebaiknya tidak lupa untuk memberikan kepastian hukum demi kelancaran investasi dan juga cepat dalam memberikan keputusan. Sudah sekian banyak contoh yang menunjukan betapa pemerintah sangat lamban dalam memberikan kepastian, misalnya di kasus Blok Mahakam, dimana Total E&P Indonesie dan Inpex telah mengajukan perpanjangan sejak 2008 namun hingga kini belum ada keputusan. Hendaklah hal ini menjadi pelajaran pemerintah di masa mendatang jika memang ingin menghindari krisis energi terjadi di Indonesia.