Masalah penyelundupan minyak mentah di Indonesia
bukanlah berita baru. Ini adalah berita usang yang senantiasa terjadi. Selalu
dibasmi namun ibarat pepatah, "hilang satu tumbuh seribu."
Baru-baru ini kasus penyelundupan minyak mentah
terbesar dalam sejarah di Indonesia terjadi. Bea dan Cukai Tanjung Balai
Karimun, Kepulauan Riau menggagalkan usaha penyelundupan minyak mentah. Tanker
bernama MT Jelita Bangsa membawa muatan 402.000 barel minyak mentah. Bukan jumlah
yang sedikit. Dengan harga minyak yang mencapai lebih dari $100 per barel saat
ini, wuiiih.....bisa dibayangkan berapa keuntungannya.
Usut punya usut, minyak tersebut merupakan milik
Pertamina yang diambil dari sumur Chevron di Dumia. MT Jelita Bangsa yang
disewa Pertamina harusnya membawa minyak tersebut ke Kilang Balongan, namun
tanker ini menyelundupkannya ke kapal lain di perbatasan Malaysia.
Pertamina sendiri membantah bahwa perusahaannya
terlibat dalam usaha penyelundupan tersebut. Bahkan Direktur Pemasaran dan
Niaga Pertamina Hanung Budya mengatakan, MT Jelita Bangsa melakukan pelanggaran
penyelundupan yang sangat jelas, yaitu mematikan GPS dan menyimpang dari jalur
yang seharusnya. Pertamina akan menuntut perusahaan pemilik tanker, yaitu PT Trada
Maritim Tbk (TRAM), untuk memastikan minyak mentah ini diantar ke Balongan
dengan jumlah utuh. Pertamina juga meminta pihak yang berwajib untuk mengusut tuntas
para pelakunya.
Kilas balik ke tahun 2005. Pada saat itu
terungkapnya kasus penyelundupan di terminal milik Pertamina di Lawe-lawe,
Kalimantan Timur yang ternyata telah terjadi bertahun-tahun. Kali itu
penyelundupannya terjadi pada Bahan Bakar Minyak (BBM), bukan minyak mentah.
Kasus ini cukup spektakuler dan menjadi sorotan semua
pihak karena kerugian negara yang ditimbulkan mencapai lebih dari 8 triliun
rupiah lebih per tahun.
Modus operandinya pun juga membuat kita berdecak
kagum. Para pelaku menggunakan pipa berdiameter 1,5 meter dan panjangnya sampai
tujuh mil, kemudian pipa tersebut dimasukkan ke bawah laut. Melalui pipa inilah
setiap malam, minyak curian dialirkan dari tepi Kaltim di Single Buoy Mooring
di Lawe-lawe, ke kapal-kapal pengangkut untuk diselundupkan keluar. Ditengarai
puluhan orang terlibat dalam kasus penyelundupan tersebut. Sekurang-kurangnya delapan
pejabat Pertamina, lima warga negara asing dan 35 pelaksana lapangan ditengarai
turut serta dalam penyelundupan tersebut.
Selain kasus spektakuler tersebut, Badan Pengatur
Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga kerap kali menangkap
penyeludupan-penyelundupan dalam jumlah kecil. Meski jumlahnya kecil namun itu
acap kali terjadi. Dan penyelamatan yang dilakukan BPH Migas juga cukup
signifikan.
Maklum saja jika BBM Indonesia sering
diselundupkan. Ini tak lain sebagai akibat dari penerapan mekanisme subsidi BBM
yang masih berlaku di Indonesia. Akibatnya harga BBM Indonesia tergolong rendah
dibandingkan dengan harga pasar. Jika saja BBM itu diselundupkan ke negara yang
sudah tidak menerapkan subsidi, maka bisa dibayangkan berapa banyak keuntungan
penyelundup atas aksinya tersebut.
Melihatnya ritme dan profesionalisme para
penyelundup ini
tak heran jika pada kasus penyelundupan kali ini,
sejumlah pihak kembali bersuara lantang dan meminta institusi penegak harus memberi
respons maksimal terhadap segala macam bentuk konspirasi penyelundupan, baik
BBM ataupun minyak mentah.
Jika tidak ditangani secara serius maka kerugian
negara yang ditimbulkannya akan semakin besar.
Para pelaku penyelundupan harus ditindak tegas
untuk memberikan efek jera. Penegak hukum tidak boleh tebang pilih dalam menentukan
tersangka, apakah ia pejabat ataupun bukan. Selain itu pemerintah juga harus
meninjau kebijakan subsidi BBM yang ternyata malah lebih banyak mudhortnya
daripada manfaatnya.