Selasa, 28 Oktober 2014

Menteri ESDM Sudirman Said, Sang Aktivis Anti Korupsi

Dipilihnya Sudirman Said sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sangat mengejutkan. Pasalnya Direktur Utama PT Pindad itu selama ini tidak pernah disebutkan namanya dalam bursa calon menteri.

Padahal sebelumnya beredar sejumlah nama yang bakal menduduki jabatan sebagai Menteri ESDM, seperti halnya mantan Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto, Dirut PT PGN Tbk Hendi P Santoso, dan Direktur Niaga dan Pemasaran PT Pertamina (Persero) Hanung Budya. Pengalaman Sudirman di bidang energi dan migas sekaligus sepak terjangnya di gerakan transparansi dan anti korupsi membuatnya dipercaya menjadi Menteri ESDM.

Sudirman bukanlah nama yang sama sekali baru di sektor ESDM. Ia pernah bergelut di sektor privat sekaligus publik di bidang energi dan migas. Ia merupakan Mantan Deputi Direktur Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina.

Awalnya, Sudirman dipercaya menjadi Staf Ahli Dirut Pertamina pada era Ari Soemarno. Selanjutnya, ia dipercaya sebagai Sekretaris Perusahaan, sebelum menduduki posisi strategis sebagai Senior Vice President Integrated Supply Chain (ISC). Pria berkumis tersebut juga pernah menjabat Wakil Dirut PT Petrosea Tbk dan Group Chief of Human Capital and Corporate Services di PT Indika Energy Tbk. 

Ia diketahui pernah menjabat Deputi Kepala Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias Bidang Pengembangan Kelembagaan dan Sumber Daya Manusia. Lalu, Sudirman membentuk Satuan Anti Korupsi (SAK) yang bertugas mendidik semua pemangku kepentingan di Aceh dan Nias pascatsunami. Lalu, sejak 4 Juni 2014, Sudirman dipercaya menduduki jabatan Dirut Pindad.

Sudirman merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada 1984. Pada 1994, Sudirman melanjutkan di George Washington University, Washington DC, AS untuk program Master of Business Administration, Majoring in Human Resources Management and Organizational Behavior & Development.

Melihat rekam jejak Sudirman, tak heran jika Presiden Jokowi banyak berharap padanya untuk melakukan perbaikan di sektor ESDM. Jokowi sendiri mengatakan sangat mengandalkan Sudirman Said dalam membangun Kementerian ESDM yang bersih. "Perlu ada pemimpin dengan leadership yang kuat. Kita sering kedodoran di manajemen pengawasan,” ujar Jokowi mengenai Menteri ESDM.

Memang hadirnya seorang Sudirman Said mau tidak mau mengingatkan kita bahwa sektor ESDM sangat membutuhkan orang yang berintegritas dan mampu melawan mafia-mafia migas. Butuh reformasi dan perbaikan massive pada sektor tersebut. Apalagi dalam dua tahun terakhir, terlalu banyak pejabat-pejabat yang terkait dengan sektor ini yang dinyatakan terlibat dalam korupsi. Dimulai dari mantan Wakil Menteri ESDM yang juga Kepala Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Rudi Rubiandini, Sekretaris Jenderal ESDM Waryono Karno dan yang paling gres Menteri ESDM Jero Wacik.

Tentunya keterlibatan pejabat-pejabat tinggi tersebut dalam kasus korupsi sedikit banyak mempengaruhi iklim investasi migas dalam negeri. Para investor jadi melihat ketidakpastian karena bukan tak mungkin pemenang tender diberikan kepada perusahaan yang dapat memberi sogokan lebih besar ketimbang dilihat kompetensinya.

Kini, Sudirman Said diharapkan dapat memberantas hal tersebut, memberikan kepastian hukum bagi para investor. Selain itu, diharapkan Sudirman juga dapat menuntaskan sejumlah pekerjaan rumah yang belum selesai, seperti kepastian perpanjangan kontrak, cost recovery dan tentu saja peningkatan produksi migas.



Minggu, 19 Oktober 2014

Selamat Datang Presiden Jokowi, Sejumlah PR Migas Telah Menanti

Selamat Datang Presiden Baru Joko Widodo. Rakyat telah menantimu untuk memberikan warna baru terhadap pemerintahan. Pemerintah yang hangat dan tidak birokratis seperti halnya pemimpin-pemimpin sebelumnya. Selain itu, tentu saja harapan agar perkenomian negara ini bisa melesat tajam, dan tak terkecuali produksi migas nasional bisa dikerek. Namun untuk mewujudkannya, tentunya terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang harus digarap pemerintah baru untuk menciptakan Indonesia baru.

Hadirnya presiden ketujuh ini memberi harapan baru bagi seluruh rakyat Indonesia akan perubahan. Perubahan yang lebih baik dalam masa, setidaknya, lima tahun mendatang. Perubahan yang signifikan terhadap pembangunan negeri ini, terhadap rakyat kecil dan tentunya tak terkecuali terhadap industri migas yang memberikan kontribusi signifikan terhadap APBN negara ini.

Terlalu banyak pekerjaan rumah yang ditinggalkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terutama di bidang perekonomian dan khususnya industri migas. Ini berbanding terbalik dengan target pemerintah untuk meningkatkan produksi sebesar 1 juta barrel per hari. Target yang seharusnya dicanangkan untuk dicapai pada tahun 2013, lalu mundur ke tahun 2014, kini menjadi tanda tanya besar: mungkin kah akan tercapai?

Sejumlah praktisi industri migas sendiri meragukan pencapaian angka tersebut. Alasannya sejak penemuan di Blok Cepu puluhan tahun yang lalu, praktis tidak ada lagi penemuan minyak yang signifikan. Padahal pengurasan cadangan kita sudah cukup banyak, seiring dengan konsumi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri yang mencapai 1,5 juta barrel per hari. Apakah semuanya bisa dipenuhi dari produksi minyak domestik? Jawabannya tidak, karena produksi minyak kita terus mengalami penurunan dan bahkan saat ini hanya berada di kisaran 800.000an barrel per hari.

Ini tak lepas dari sepinya kegiatan eksplorasi migas nasional. Dengan tingkat pengurasan yang semakin tajam, sudah barang tentu cadangan migas kita menjadi berkurang. Kini the untouchable areas hanya tinggal berada di kawasan timur Indonesia dan laut dalam. Daerah-daerah onshore sudah dieksploitasi. Namun tentu saja untuk melakukan kegiatan eksplorasi di laut dalam, diperlukan insentif yang tidak sedikit karena resikonya juga tidak mudah. Investor harus siap kehilangan uang triliunan rupiah kalau gagal menemukan cadangan hidrokarbon. Nah, bagaimana untuk meningkatkan minat investor ini? Tentu saja dengan memberikan paket insentif yang menarik.

Sebelumnya Indonesian Petroleum Association telah memberikan guideline kepada pemerintah mengenai masalah di industri migas yang harus segera diselesaikan untuk menggairahkan kegiatan eksplorasi dan produksi. Usulan itu diantaranya adalah dengan mencabut adanya batasan cost recovery yang saat ini dipatok di APBN, memberikan kepastian kontrak, mempermudah proses perijinan dan juga menuntaskan masalah tumpang tindih lahan migas.

Masalah kepastian kontrak memang menjadi salah satu perhatian serius industri migas ini karena banyaknya nasib Kontrak Kerja Sama (KKS) yang masih mengambang karena ketidakberanian pemerintah untuk memutuskan. Kontrak-kontrak tersebut antara lain adanya perpanjangan Blok Mahakam, perpanjangan Blok Makassar Strait dan perpanjangan Blok Masela. Ketiganya harus diputuskan segera karena menyangkut komitmen investasi yang mencapai miliaran dollar AS. Jika pemerintah tidak segera memutuskan, bukan mustahil para investor tersebut angkat kaki dari Indonesia.

Total dan Inpex saat ini membelanjakan sekitar US$ 2,5 miliar per tahun untuk mengelola blok tersebut. Keduanya juga berjanji untuk menginjeksikan investasi sebesat US$ 7,3 miliar hingga 2017 jika pemerintah memperpanjang kontrak Blok Mahakam. Memang untuk menjaga kestabilan produksi migas di sebuah blok tua semacam Blok Mahakam bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit.

Selain itu, jika tidak segera diputuskan, dikhawatirkan nilai proyek akan melambung tinggi sehingga menggerus keekonomian proyek tersebut. Apalagi di masa mendatang, harga gas bukan mustahil menjadi sangat murah karena keberhasilan pengelolaan shale gas di Amerika sehingga pasar kebanjiran gas. Jika nilai proyek naik, sementara harga gas turun, sudah barang tentu proyek gas Indonesia akan ditinggal lari para investor.


Nah Pak Jokowi, kira-kira itulah sejumlah masalah di industri migas yang harus segera diselesaikan. Nasib industri ini ada di tangan Jokowi. Tentunya alangkah bijaksananya jika masalah-masalah krusial tersebut menjadi prioritas utama di 100 hari pemerintahan Jokowi.

Selasa, 14 Oktober 2014

Skenario Bandung Kenalkan Skenario Ketahanan Energi Nasional 2030

Kondisi energi Indonesia yang dibayangi krisis, membuat 28 tokoh nasional menelurkan empat skenario yang diharapkan dapat menjawab masalah energi di tahun 2030. Pada masa itu tanpa ada terobosan Indonesia akan menjadi negara pengimpor energi secara permanen.

Keduapuluhdelapan orang tersebut berasal dari sejumlah latar belakang, diantaranya pemerintah, partai politik, BUMN, perusahaan swasta, akademisi, dan organisasi masyarakat di sektor energi. Mereka berkumpul di Bandung pada Agustus silam sehingga tak heran jika skenarionya disebut sebagai Skenario Bandung.

Pada esensinya, pertemuan tersebut menghasilkan rumusan empat skenario tentang perbaikan di sektor energi di Indonesia tahun 2030. Adapun keempat skenario itu adalah skenario ombak, skenario badai, skenario Karang dan skenario Awak. Apa sih maksudnya?

Skenario Ombak adalah skenario untuk pemerintah pusat dalam bekerja dan memperbaiki tata kelola sektor energi, dengan penekanan utama pada BUMN sebagai lokomotif pengimplementasi kebijakan.

Skenario Badai adalah skenario energi untuk mengantisipasi perubahan iklim dan harmonisasi antara sumber energi dengan energi serta teknologi yang bersih terbarukan. Perubahan iklim global dan resiko-resiko kerusakan lingkungan mendominasi kebijakan nasional dan global terutama pada kebijakan prioritas pengurangan emisi gas rumah kaca melalui pengembangan sumber energi bersih, di mana pengembangan energi bersih sendiri membutuhkan biaya yang mahal.

Ketiga adalah Skenario Karang. Skenario tersebut adalah skenario energi yang digunakan ditengah ketegangan konflik di luar negeri yang saling berkompetisi untuk mencari sumber energi, sehingga dapat memaksa Indonesia bergantung pada pasokan energi domestik untuk menopang pembangunan.

Skenario keempat adalah Skenario Awak, yaitu strategi pengendalian perdagangan dari pemerintah pusat atas pemerintah daerah yang dapat menciptakan kesenjangan masyarakat, ketimpangan ekonomi yang tajam, serta potensi konflik di daerah. Di mana pendorong terjadinya hal tersebut adalah kompetisi untuk mencari sumber energi.

Skenario tersebut dipaparkan sebagai sistem energi sebagai akibat faktor pendorong seperti dampak perubahan iklim, instabilitas regional, potensi gangguan geopolitik internasional terkait pasokan energi, dan kerangka aturan yang tidak efektif.


Skenario Bandung merupakan skenario yang dikembangkan oleh Shell pada 1972 dan sudah digunakan di Afrika Selatan. Di Indonesia, skenario ini mulai diterapkan.

Skenario tersebut memang menarik untuk disimak dan untuk diterapkan. Namun sering kali pemerintah menelurkan skenario-skenario yang pada akhirnya hanya menjadi target dan wacana semata, tapi pengaplikasiannya nol besar. Inilah yang harus dihindari.

Bangsa ini sudah mengalami krisis energi yang hebat. Hal tersebut bisa dilihat dari bagaimana produksi migas nasional jeblok sementara di satu sisi konsumsi tetap meningkat tajam. Bayangkan, produksi minyak kita hanya sekitar 800.000 barrel per hari. Bandingkan dengan konsumsi minyak yang sebesa 1,5 juta barrel per hari. Ada defisit yang jelas-jelas harus diminimalisir. Bagaimana caranya?

Mau tidak mau adalah dengan mengintensifkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Selain itu juga diperlukan pembangunan kilang minyak untuk mengurangi impor. Namun tentu saja, ada harga yang harus dibayar untuk pengintesifan kegiatan produksi dan eksplorasi tersebut, yaitu dengan menciptakan situasi investasi yang kondusif.

Bagaimana situasi yang kondusif? Yaitu dengan duduk bersama dengan investor untuk mencari jalan keluar mandeknya industri migas nasional. Saat ini ada sejumlah masalah yang sudah diidentifikasi para investor migas, yaitu kepastian perpanjangan kontrak, cost recovery dan insentif.

Kini pemerintah Indonesia akan berganti dalam hitungan hari. Semoga pemerintahan Jokowi memberi angin segar bagi industri migas nasional yang dapat mencegah bangsa ini menjadi negara pengimpor energi permanen.


Kamis, 09 Oktober 2014

Kandasnya Mimpi Indonesia Untuk Produksi Minyak 1 Juta Barrel Per Hari

Mimpi Indonesia untuk dapat memproduksi minyak sebesar 1 juta barrel per hari tampaknya kandas. Pasalnya proyek Cepu yang selama ini digadang-gadang dapat mengkatrol produksi minyak nasional untuk mencapai angka tersebut ternyata tidak cukup ampuh. Apalagi keberhasilan Cepu ternyata tidak dibarengi dengan peningkatan produksi di lapangan lain.
Pada awal pekan ini, Indonesia sangat bahagia. Pasalnya proyek migas yang telah dinantikan sejak tahun 2004 itu akhirnya berhasil diresmikan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan peningkatan produksi minyak Lapangan Banyu Urip, Blok Cepu sebesar 10.000 barel per hari. Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Johanes Widjonarko mengatakan tambahan 10.000 barel per hari tersebut menjadikan produksi Banyu Urip meningkat dari 30.000 barel per hari saat ini menjadi 40.000 barel.
Produksi ini akan terus naik bertahap mencapai puncaknya sebesar 165.000 barel per hari pada quartal ketiga tahun depan. Puncak produksi tersebut diperkirakan akan berlangsung selama tiga tahun dan kemudian menurun secara alami.
Sesuai rencana pengembangan lapangan (Plan Of Development atau POD), Proyek Banyu Urip menelan investasi US$ 2,5 miliar yang terdiri atas fasilitas produksi US$ 2,2 miliar dan pengeboran sumur US$ 337 juta. Pembangunan fasilitas produksi terbagi dalam lima kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction atau rekayasa, pengadaan, dan konstruksi), yakni fasilitas produksi utama (Central Production Facility/CPF), pipa darat (onshore) 72 km, pipa laut (offshore) dan menara tambat (mooring tower), Floating Storage Off-loading (FSO), dan fasilitas infrastruktur pendukung.

Dulu, pemerintah meyakini bahwa Cepu akan mengkatrol produksi migas nasional menjadi 1 juta barrel per hari setidaknya mulai 2015-2017. Angka ini sedikit pesimis dibandingkan estimasi awal pemerintahan sebelumnya yang mengatakan bahwa angka 1 juta barrel per hari dapat dicapai dalam kurun 10 tahun, yakni 2015-2025.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo memastikan bahwa dengan produksi puncak Cepu sekalipun, produksi minyak Indonesia tetap akan berada di bawah angka 1 juta barrel per hari. Hal itu tercermin dari angka produksi di APBN 2015 yang hanya 900,000 barrel per hari, meski telah mmeperhitungkan produksi puncak Cepu.

Angka produksi minyak nasional pun diperkirakan akan turun drastis di angka 600.000 barrel per hari pada 2020 jika tidak ada kegiatan eksplorasi. Jadi kuncinya tetap pada eksplorasi. Dan untuk memancing minta investor untuk eksplorasi, maka dibutuhkan sejumlah pekerjaan rumah yang harus diperbaiki pemerintah.

Beberapa PR itu diantara lain memotong peijinan eskplorasi yang kerap dikeluhkan investor. Selain sanctity of contract. Saat ini Indonesia dinilai terlampau sering tidak mematuhi kontrak dan tidak transparan. Untuk itu ke depan, pemerintah diminta menerapkan prinsip kejelasan, konsistensi, dan kepastian dalam semua peraturan dan ketentuan di sektor minyak dan gas bumi. Misalnya terkait perpanjangan kontrak kerja sama minyak dan gas bumi. Untuk itu Indonesian Petroleum Association juga telah meminta transparansi pemerintah terkait ketentuan dalam perpanjangan kontrak kerja sama migas. Ketidakjelasan mengenai keputusan perpanjangan kontrak dinilai akan mengganggu rencana investasi minyak dan gas bumi yang berpotensi menurunkan produksi migas nasional.

Saat ini terdapat sejumlah kontrak kerja sama yang akan habis masa kontraknya, misalnya saja Blok Mahakam yang dikelola Total E&P Indonesie bersama partnernya Inpex. Kontrak Blok Mahakam akan habis tahun 2017 dan proposal perpanjangan telah diajukan sejak 2008. Namun hingga kini belum ada kejelasan pemerintah terkait nasib Blok Mahakam.


Kini nasib bangsa ini ada di tangan pemerintah baru. Semoga tim ekonomi presiden terpilih Joko Widodo dapat menciptakan angin perubahan yang positif. Dengan demikian minat investor untuk melakukan eksplorasi semakin meningkat.