Rabu, 30 Juli 2014

Macet disini, disana dan dimana-mana...

sindonews
Jakarta macet? Itu sih sudah biasa, tiada yang istimewa. Tapi menjadi luar biasa ketika di masa liburan Idul Fitri, kemacetan juga merambah wilayah ibukota ini. Praktis hanya wilayah perkantoran di Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin yang lolos dari kemacetan selama libur Lebaran. Sisanya? Jangan harap bisa melihat jalanan kosong melompong seperti yang biasanya terjadi di tahun-tahun belakangan. Duduk berjam-jam di mobil, disuguhi pemandangan mobil padat merayap adalah suatu realitas pahit yang harus siap dihadapi.

Kemacetan tak normal di ibukota terjadi sekitar seminggu menjelang Lebaran. Perjalanan menjadi 2 kali lebih lama daripada biasanya. Bahkan kendaraan motor pun terpaksa harus berhenti. Meski demikian diperkirakan kemacetan itu akan terurai ketika libur Lebaran tiba, dimana sebagian besar warga ibukota akan mudik ke kampung halamannnya masing-masing.

Nyatanya tidak. Kemacetan yang tidak normal itu masih terus membayangi. Bisa dibayangkan, jarak tempuh Jakarta ke Bekasi yang biasanya hanya sekitar satu jam mendadak menjadi dua jam lebih ketika libur lebaran. Seluruh sudut perkotaan menjadi macet.

Yang menjadi pertanyaan, bukankah sudah sebagian besar warga Jakarta mudik? Apalagi di sejumlah pemberitaan dan juga di sosial media menggambarkan keluh kesah hampir seluruh masyarakat atas kemacetan yang menggila. Bayangkan saja perjalanan menuju kawasan wisata Puncak dari Jakarta yang biasanya maksimal 3 jam kini bisa menjadi 12 jam. Demikian juga perjalanan ke Bandung, yang biasanya 3-4 jam bisa menjadi 7-8 jam.

Beda lagi dengan perjalanan ke luar kota. Jakarta-Jogja yang hanya 10 jam bisa menjadi 31 jam. Jakarta-Blora yang biasanya 13 jam menjadi 41 jam. Lalu yang menjadi pertanyaan, berapakah sesungguhnya warga Jakarta, sehingga seluruh akses dari dan ke akan Jakarta menjadi macet total? Padahal banyak pula warga Jakarta yang mudik menggunakan jasa kereta api.

PT Kereta Api Indonesia (KAI) misalnya mencatat sejak 6 tahun lalu, jumlah penumpang yang menggunakan jasa angkutan kereta api naik tajam. Terjadi lonjakan pengguna kereta api sekitar 59% bila dibandingkan tahun ini dengan 2008. Jumlah angkutan Lebaran dengan kereta api tahun ini naik 17% dibandingkan tahun lalu. Rinciannya untuk 2014 mencapai 2.568.574 orang, sedangkan 2013 hanya 2.190.483 orang.

tempo
Lepas dari berap besarnya jumlah warga Jakarta, yang patut dijadikan perhatian adalah tingginya volume kendaraan bermotor yang semakin tahun meningkat, sedangkan badan jalan tidak mengalami peningkatan. Akibatnya jalan tidak lagi dapat menampung seluruh kendaraan tersebut. Dengan demikian, tak heran jika kemacetan terjadi dimana-mana.

Sebagai contoh, data yang dikeluarkan oleh Posko Dishub menyebutkan, total jumlah kendaraan yang melintas di titik macet jalur Nagrek pada H-3 lebaran 2014 mencapai 108.198 kendaraan. Jumlah tersebut sudah melebihi jumlah total kendaraan pada puncak arus mudik pada H-2 tahun 2013 yaitu 105.112 kendaraan.

Jika kemacetan terus terjadi, sementara kebijakan subsidi BBM masih terus digelontorkan, lalu berapakah uang subsidi yang hanya habis akibat macet? Bukankah akan lebih baik jika uang itu dialokasikan untuk pendidikan dan pembangunan infrastruktur yang sifatnya lebih long lasting ketimbang dalam bentuk subsidi BBM yang habis terbakar sekejab tanpa sisa?

Lalu apakah yang harus dilakukan pemerintah baru untuk mengatasi kemacetan. Ada sejumlah hal:

1. Memperbaiki seluruh moda transportasi agar mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik.
2. Memperbaiki dan memperbesar jalan-jalan utama agar tidak terjadi kemacetan
3. Melakukan moratorium impor kendaraan bermotor untuk beberapa tahun ke depan dan meninjau ulang jika dibutuhkan
4. Melakukan pembatasan tahun kendaraan
5. Menaikkan pajak kendaraan
6. Menaikkan harga BBM bersubsidi


Tanpa adanya tindakan yang luar biasa, jangan harap simpul-simpul kemacetan di seluruh Indonesia, khususnya di ibukota, bisa terurai.

Selasa, 29 Juli 2014

Kabinet ala Jokowi Harus Diisi Profesional, Bukan Partisan

solopos
Presiden Republik Indonesia terpilih 2014-2019 Joko Widodo alias Jokowi bersama Jusuf Kalla dan segenap partai koalisinya mulai berbenah mempersiapkan susunan kabinetnya. Sesuai dengan kebijakannya sejak awal, koalisi PDIP bukanlah koalisi bagi-bagi kursi. Dengan demikian, publik banyak berharap kursi-kursi menteri diisi oleh para profesional, bukan hanya sekedar kedekatan pada partai penguasa saja.

Tak mau ingkar dengan janjinya itu, Jokowi terlebih dulu meminta pandangan publik sebelum menyusun kabinetnya. Dalam akun resmi kubu Jokowi-JK di Facebook dengan nama Jokowi Center, publik diminta berpartisipasi dalam memberi pandangan mengenai siapa yang cocok menjadi pembantu presiden dan wakil presiden pada periode mendatang.

Dalam akun tersebut, diunggah lembaran yang diberi nama Kabinet Alternatif Usulan Rakyat (KAUR). Tertulis, para relawan merasa perlu terus mengawal perjalanan politik Jokowi-JK dengan berbagai cara setelah dinyatakan sebagai pemenang pilpres.
Jokowi Center dan Radio Jokowi akhirnya memutuskan untuk ikut mengawal proses penjaringan nama-nama calon menteri yang dianggap layak oleh rakyat. Ada 34 daftar menteri yang dimintai pendapat. Masing-masing pos ada tiga calon. Ada pula opsi untuk mengisi sendiri nama tokoh di luar tiga calon yang ada.
Meski demikian terdapat sejumlah usulan nama yang munucl dalam daftar calon menteri di KAUR dinilai kurang layak menjadi pembantu presiden dan wakil presiden terpilih. Kompetensi mereka dinilai kurang, bahkan dipertanyakan. Dan jika Jokowi-JK salah pilih, sudah pasti mereka akan mendapat sorotan masyarakat.
Di posisi Menteri Keuangan terdapat sejumlah nama yang muncul, misalnya Prof Dr Hendrawan Supratikno; Dr Ir Raden Pardede, PhD; Agus Martowardojo. Sedangkan di jabatan Menteri Koordinator Perekonomian terdapat sejumlah kandidat, yakni Chairul Tanjung; Prof Dr (HC) Dahlan Iskan dan Gita Irawan Wirjawan.
Mereka memang tokoh-tokoh profesional yang layak menjadi kandidat di posisi tesebut, namun masih banyak nama-nama profesional yang sangat amat layak untuk masuk dalam bursa menteri, misalnya Sri Mulyani. Indonesia lebih membutuhkan sosok tegas itu ketimbang World Bank dan sudah selayaknya Jokowi mempertimbangkan Sri Mulyani untuk menduduki salah satu posisi menteri strategis, baik Menko Perekonomian ataupun Menteri Keuangan.
Demikian pula di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral. Jokowi harus memilih seorang profesional yang benar-benar mengerti menjalankan kebijakan sektor energi. Sektor ini sangat membutuhkan profesionalitas, jadi jangan sampai diisi oleh orang partai yang tidak paham soal energi.
Agaknya kita harus melongok ke lima tahun belakang ini, dimana sektor energi diisi oleh orang partai yang tidak memiliki latarbelakang energi. Akibatnya banyak kebijakan yang tersendat. Perpanjangan kontrak Mahakam, Masela, pengembangan Blok East Natuna....semuanya masih menggantung akibat keragu-raguan pemerintah. Padahal Indonesia sedang mati-matian menjaring investasi, seiring dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi migas ke level 1 juta barel per hari. Penurunan produksi juga harus disikapi dengan peningkatan kegiatan eksplorasi.
Dengan demikian terlalu banyak pekerjaan rumah bagi Jokowi dalam lima tahun mendatang. Banyak kebijakan yang harus diambil untuk memperbaiki iklim investasi Indonesia ke depan. Dan untuk itu Jokowi memang harus serius dan konsisten dalam janjinya untuk tidak bagi-bagi kursi karena memang profesionalisme sangat dibutuhkan untuk membentuk kabinet yang kokoh.
Berikut adalah nama-nama usulan calon menteri yang terdapat dalam KAUR:
1. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan: Jenderal TNI Budiman; Jenderal TNI Dr Moeldoko; Jenderal TNI (Purn) Sutiyoso.
2. Menteri Koordinator Perekonomian: Chairul Tanjung; Prof Dr (HC) Dahlan Iskan; Gita Irawan Wirjawan.
3. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat: Drs HA Muhaimin Iskandar, MSi; Dr Ir Kuntoro Mangkusubroto, MSIE, MSCE; Prof Dr Alwi Shihab.
4. Menteri Dalam Negeri: Dr Abraham Samad, SH, MH; Dr (HC) Agustin Teras Narang, SH; Prof Dr Pratikno, MSoc Sc.
5. Menteri Luar Negeri: Don K Marut, MA, M Phil; Drs Makmur Keliat, PhD; Dr Raden Mohammad; Marty Muliana Natalegawa, M Phil, BSc.
6. Menteri Pertahanan: Andi Widjajanto, S Sos, MSc; Mayor Jenderal (Purn) TB Hasanuddin; Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu.
7. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM): Dr Artidjo Alkostar, SH, LLM; Prof Dr Saldi Isra, SH, MPA; Dr Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM.
8. Menteri Keuangan: Prof Dr Hendrawan Supratikno; Dr Ir Raden Pardede, PhD; Agus Martowardojo.
9. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM): Dr Ir Arif Budimanta, MSc; Ir Luluk Sumiarso; Dr Ir Tumiran, M Eng.
10. Menteri Perindustrian: Anton Joenoes Supit; Dr Poempida Hidayatulloh, B Eng (Hon), PhD, DIC; Prof Dr Ir Tri Yogi Yuwono, DEA.
11. Menteri Perdagangan: Dr Mari Elka Pangestu, PhD; Soetrisno Bachir; Dr Sri Adiningsih.
12. Menteri Pertanian: Arif Wibowo; Prof Dr Bustanul Arifin; Dr Ir Iman Sugema, MSc.
13. Menteri Kehutanan: Prof Dr Ir Frans Wanggai; Dr Mohamad Prakosa; Dr Satyawan Pudyatmoko, MSc.
14. Menteri Perhubungan: Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim; Prof Dr Tech Ir Danang Parikesit M Sc; Ignasius Jonan.
15. Menteri Kelautan dan Perikanan: Prof Dr Ir Jamaluddin Jompa, MSc; Dr Kadarusman, PhD; Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS.
16. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Rieke Dyah Pitaloka; Dr Rizal Sukma; Wahyu Susilo.
17. Menteri Pekerjaan Umum: Dr Bayu Krisnamurthi, MSi; Dr Ing Ilham Akbar Habibie, MBA; Tri Mumpuni Wiyatno.
18. Menteri Kesehatan: Prof Dr Fasli Jalal; dr Ribka Tjiptaning; Prof dr Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD.
19. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Prof Dr Abdul Munir Mulkhan; Dr Hilmar Farid; Yudi Latif, MA, PhD.
20. Menteri Sosial: Dadang Juliantara; Eva Kusuma Sundari; Ir Hasto Kristiyanto, MM.
21. Menteri Agama: Prof Dr Azyumardi Azra, MA; Drs H Lukman Hakim Saifudin; Siti Maulida.
22. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Garin Nugroho; Jeffrie Geovanie; Mira Lesmana.
23. Menteri Komunikasi dan Informatika: Drs Ferry Mursyidan Baldan; Nezar Patria, MA; Ir Onno W Purbo, MEng, PhD.
24. Menteri Sekretaris Negara: Maruarar Sirait, SIP; Ir H Pramono Anung Wibowo MM; Dr H Yuddy Chrisnandi, ME.
25. Menteri Riset dan Teknologi: Dr I Gede Wenten; Dr Eng Romi Satria Wahono, BEng, MEng; Prof Yohannes Surya, PhD.
26. Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM): Abdul Kadir Karding, SPi, MSi; Dra Khofifah Indar Parawansa; Nusron Wahid, SS.
27. Menteri Pemberdayaan dan Perempuan-Anak: Lies Marcoes Natsir, MA; Nani Zulminarni, MA; Puan Maharani.
28. Menteri Lingkungan Hidup: Chalid Muhammad; Charlie Heatubun, PhD; Drs Ir Dodo Sambodo, MS.
29. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi: Dr Eko Prasojo; Ir Tri Rismaharini, MT; Agung Adi Prasetyo.
30. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal: Drs Akbar Faizal, MSi; Drs Andrinof Achir Chaniago, MSi; Indra Jaya Piliang, SS, MSi.
31. Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional: Aviliani, SE, MSi; Faisal Basri, SE, MA; Dr Revrisond Baswir.
32. Menteri Perumahan Rakyat: Prof Rhenald Khasali, PhD; Prof Ir Suprihanto Notodarmojo, PhD; Mochamad Ridwan Kamil, ST, MUD.
33. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN): Dr Hendri Saparini; Dr Kurtubi; Emirsyah Satar.

34. Menteri Pemuda dan Olahraga: Adhie MS; Anies Rasyid Baswedan PhD; Herry Zudianto, SE Akt, MM.

Kamis, 17 Juli 2014

Indonesia Ancam Kontrak Newmont Akan Dialihkan ke BUMN

tempo.co.id
Pemerintah Indonesia mengancam akan menterminasi Kontrak Karya Newmont Nusa Tenggara jika perusahaan tersebut tidak segera beroperasi. Jika hal itu terjadi, berdasarkan aturan yang ada maka kontrak yang dipegang Newmont saat ini akan dialihkan ke perusahaan plat merah, dalam hal ini Aneka Tambang.

Tapi pengalihan ataupun terminasi kontrak itu bukanlah hal mudah. Masih banyak langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah sebelum memutuskannya. Langkah pertama adalah melayangkan surat default.

Pemerintah dengan tegas telah menyatakan akan melayangkan surat default terkait dengan keputusan Newmont untuk menghentikan produksi dan menyatakan status force majeure. Apa yang terjadi saat itu, menurut pemerintah, bukanlah suatu keadaan yang bisa dikategorikan sebagai force majeure.

Melalui surat default itu, pemerintah akan memerintahkan Newmont untuk kembali beroperasi dalam kurun waktu tertentu. Jika Newmont gagal memenuhi ketentuan tersebut, maka ada kemungkinan terminasi kontrak. Meski demikian pemerintah memastikan langkah terminasi masih sangat jauh karena Newmont masih ingin terus melakukan renegosiasi terkait dengan kegiatan operasinya di Indonesia.

Namun pemerintah memberikan satu kondisi, yaitu jika memang perusahaan asal Paman Sam itu ingin melanjutkan renegosiasi, maka gugatan arbitase itu harus dicabut. Jika tidak? Jangan harap ada renegosiasi. Adanya arbitrase, menurut pemerintah, adalah tandanya adanya distrust antara kedua belah pihak.

Terminasi kontrak memang bukanlah pilihan yang baik karena akan mengganggu iklim investasi. Investor akan melihat Indonesia sebagai negara yang tidak memberikan kepastian hukum. Apalagi memang aturan pelarangan ekspor bahan mentah mineral itu diberlakukan jauh setelah kontrak dengan perusahaan tambang diteken. Tentunya adanya klausul-klausul baru dianggap memberatkan investor.

Indonesia, bagaimanapun, masih membutuhkan investasi asing. Hal ini terkait dengan keterbatasan kemampuan perusahaan lokal dalam bidang pendanaan, sumber daya manusia dan juga teknologi. Investasi yang membutuhkan ratusan juta dollar itu tentunya akan membuat ruang gerak mereka untuk merambah bisnis lain menjadi sangat terbatas. Akibatnya sumber daya alam Indonesia akan menjadi tak terjamah. Ujung-ujungnya masyarakat lokal dan pemerintah juga yang akan dirugikan.

Sebagaimana diketahui, pemerintah Indonesia digugat Newmont di forum arbitrase internasional terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor mineral. Kali ini gugatan tersebut dilayangkan oleh anak perusahaan asal Amerika Serikat, PT Newmont Nusa Tenggara  Nusa Tenggara (PTNNT) dan pemegang saham mayoritasnya, Nusa Tenggara Partnership B.V, suatu badan usaha yang terdaftar di Belanda.

Dalam gugatan arbitrase yang diajukan kepada the International Center for the Settlement of Investment Disputes, PTNNT dan NTPBV menyatakan maksudnya untuk memperoleh putusan sela yang mengizinkan PTNNT untuk dapat melakukan ekspor konsentrat tembaga agar kegiatan tambang Batu Hijau dapat dioperasikan kembali. Langkah itu diambil karena kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia itu telah mengakibatkan dihentikannya kegiatan produksi di tambang Batu Hijau dan menimbulkan kesulitan dan kerugian ekonomi terhadap para karyawan PTNNT, kontraktor, dan para pemangku kepentingan lainnya.

Menurut Newmont, pengenaan ketentuan baru terkait ekspor, bea keluar, serta larangan ekspor konsentrat tembaga yang akan dimulai Januari 2017, yang diterapkan kepada PTNNT oleh Pemerintah tidak sesuai dengan Kontrak Karya (KK) dan perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Belanda.

Negosiasi antara kedua belah pihak sudah dilakukan. Namun belum mendapatkan titik temu, sehingga Newmont akhirnya mengajukan gugatan tersebut. Sementara beda halnya dengan Newmont, negosiasi dengan Freeport Indonesia telah mencapai kesepekatan. 

Padahal sebelumnya kedua perusahaan ini sangat terkenal sangat alot dalam berdiskusi dengan pemerintah Indonesia. Freeport telah memperingatkan bahwa bila aturan larangan ekspor mineral diterapkan maka pendapatan perusahaan akan berkurang 65 persen. Akibatnya Indonesia akan kehilangan penghasilan US$1,6 miliar pada 2014 atau 0,6 persen dari pertumbuhan Pertumbuhan Domestic Bruto. Bank sentral memperkirakan pertumbuhan PDB akan mencapai sekitar 6 persen pada 2014, dibandingkan dengan 5,7 persen tahun lalu.


Apapun yang terjadi kita berharap Newmont akan segera mencabut gugatan arbitase tersebut. Adanya itikad baik bagi kedua belah pihak tentunya akan membawa keuntungan, tak hanya bagi investor, tapi juga rakyat Indonesia.