Liputan6.com |
Terbatasnya cadangan minyak dan gas yang
semakin sedikit dan sporadis menyebabkan biaya eksplorasi di Indonesia semakin
mahal. Bagaimana sebaiknya sikap pemerintah menghadapi hal tersebut?
Baru-baru ini Wakil Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengungkapkan sulitnya menemukan cadangan minyak
dan gas di Indonesia. Tak heran karena daerah-daerah hijau yang kaya minyak
sudah habis terkuras. Pulau Jawa, Pulau Sumatera, apalagi jika letaknya di
daratan (on shore) sudah tidak lagi
diharapkan bisa menyumbangkan cadangan minyak baru bagi negara ini.
Akibatnya cadangan yang tersisa sekarang hanyalah
yang berlokasi di tengah laut dalam (offshore)
atau di daerah daratan yang terpencil (remote
area). Lokasi pengeboran offshore ini, umumnya terletak sekitar
2.000 meter hingga 3.000 meter di bawah permukaan laut. Jadi tak heran jika
biaya eksplorasi juga meningkat tajam, tidak bisa dibilang sedikit. Padahal di
satu sisi, resiko yang dihadapi investor juga makin berat mengingat lokasinya
yang sulit itu.
Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral melansir
biaya yang harus dirogoh dari kocek investor dalam kegiatan eksplorasi
tersebut. Misalnya untuk menemukan satu sumber gas baru di darat atau onshore,
diperlukan investasi minimal US$ 30 juta atau sekitar Rp 300 miliar. Sementara
untuk mengebor sumur gas baru di tengah laut atau offshore, diperlukan
dana minimal US$ 100 juta atau setara Rp 1 triliun. Suatu angka yang fantastis,
mengingat investor belum tentu menemukan cadangan hidrokarbon yang ekonomis.
Padahal kegiatan eksplorasi ini mutlak diperlukan
untuk menggantikan cadangan migas nasional yang sudah dikuras. Tanpa adanya
kegiatan eksplorasi, maka jangan harap kebutuhan migas nasional di masa
mendatang dapat terpenuhi. Hingga akhirnya ketergantungan Indonesia pada impor
minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak akan dapat berakhir, malahan
akan semakin bertambah parah.
Saat
ini Indonesia menggunakan mekanisme cost recovery
dimana pemerintah tidak akan mengganti biaya yang dikeluarkan investor jika tidak
ditemukan cadangan migas yang bisa dikomersialisasi. Sedangkan biaya eksplorasi
ini lebih mahal ketimbang biaya eksploitasi karena eksplorasi membutuhkan data
yang detil dan melalui sejumlah studi. Misalnya saja jika
eksploitasi hanya menghabiskan biaya US$ 5 juta, eksplorasi bisa menghabiskan
US$ 10 juta. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana besarnya resiko
investor dalam industri migas.
Menurut data Kementrian ESDM, sepanjang 2009 hingga
2013 terdapat 12 Kontraktor Kontrak Kerja (KKKS) migas asing yang mengalami
kerugian hingga US$1,9 miliar atau Rp19 triliun di 16 blok eksplorasi di laut
dalam. Kerugian itu sebagai imbas dari kegagalan mereka dalam mendapatkan
cadangan minyak dan gas yang ekonomis. Seluruh kerugian dalam kurun waktu 2009
hingga 2013 tersebut ditanggung sendiri oleh KKKS asing tersebut dan tidak
diganti oleh negara.
Sejumlah perusahaan itu antara lain Statoil, ExxonMobil,
Talisman, dan ConocoPhillips.
Mahalnya
biaya tersebut membuat sejumlah perusahaan kewalahan dalam melakukan kegiatan
eksplorasi. Makanya tak heran jika realisasi investasi untuk
eksplorasi minyak dan gas bumi masih rendah. Misalnya saja pada tahun 2012,
dari komitmen investasi US$ 2 miliar, yang direalisasikan hanya US$ 150 juta.
Pada
awal pekan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengeluhkan
sedikitnya komitmen investasi migas. Misalnya saja penandatangan Kontrak Kerja
Sama (KKS) hanya tujuh saja, padahal jumlah idealnya 10 kontrak per tahunnya.
Jero juga mengingatkan pentingnya kegiatan eksplorasi karena hasilnya baru akan
dinikmati dalam waktu 10-15 tahun mendatang.
Melihat
kondisi demikian, harusnya pemerintah segera memahami dan membuat aturan yang
dapat menciptakan iklim investasi. Indonesia bagaimanapun sebetulnya masih
menarik jika dilihat dari sisi letak geografis. Namun investor mengeluhkan
sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap kontraproduktif terhadap keinginannya
sendiri untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan peningkatan produksi.
Salah satu yang menjadi perhatian adalah kejelasan,
konsistensi dan kepastian dalam semua peraturan dan ketentuan di sektor migas.
Ketentuan dalam perpanjangan Kontrak Kerja Sama (KKS) misalnya menjadi sorotan
utama. Hal ini tak lepas dari investasi hulu migas yang merupakan investasi
jangka panjang sehingga investor memerlukan kepastian atas kontrak-kontak yang
sudah ditandatangani.
Kepastian mengenai masalah perpanjangan
kontrak demi kesinambungan produksi suatu lapangan sangat penting. Dan tentunya
kepastian jauh sebelum masa kontrak berakhir akan sangat membantu dalam
kesinambungan produksi suatu lapangan. Selain itu pemerintah diharapkan
memperlihatkan proses yang transparan dalam menentukan diperpanjang atau
tidaknya suatu kontrak. Kasus tidak diperpanjangnya KKKS Chevron di Blok Siak
pada detik-detik terakhir, bisa menjadi pembelajaran sendiri, karena hal tersebut
menunjukkan bagaimana pemerintah tidak bisa memberikan kepastian investasi bagi
para penanam modal.
IPA
mencatat bahwa dalam lima tahun mendapat terdapat sekitar 20 perusahaan minyak
yang masa kontraknya akan habis dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Dan
pengaruhnya terhadap produksi minyak nasional mencapai 30 persen. Sedangkan
dalam 10 tahun mendatang, kontrak yang akan habis mencapai equivalent 61 persen
atau setara dengan sekitar 601.000 barel oil equivalent per day (setara minyak
per hari) terhadap produksi migas nasional. Sedangkan produksi migas nasional
saat ini hanya mencapai sekitar 2 juta barrel setara minyak per hari.
Sebetulnya
persoalan-persoalan di sektor migas sudah sangat terang benderang. Sekarang
bolanya ada di tangan pemerintah. Dan bagaimana pemerintah menyikapinya akan menentukan
bagaimana nasib industri migas nasional di masa mendatang.