Kamis, 27 Februari 2014

Mahalnya Biaya Eksplorasi Migas di Indonesia

Liputan6.com
Terbatasnya cadangan minyak dan gas yang semakin sedikit dan sporadis menyebabkan biaya eksplorasi di Indonesia semakin mahal. Bagaimana sebaiknya sikap pemerintah menghadapi hal tersebut?

Baru-baru ini Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengungkapkan sulitnya menemukan cadangan minyak dan gas di Indonesia. Tak heran karena daerah-daerah hijau yang kaya minyak sudah habis terkuras. Pulau Jawa, Pulau Sumatera, apalagi jika letaknya di daratan (on shore) sudah tidak lagi diharapkan bisa menyumbangkan cadangan minyak baru bagi negara ini.

Akibatnya cadangan yang tersisa sekarang hanyalah yang berlokasi di tengah laut dalam (offshore) atau di daerah daratan yang terpencil (remote area). Lokasi pengeboran offshore ini, umumnya terletak sekitar 2.000 meter hingga 3.000 meter di bawah permukaan laut. Jadi tak heran jika biaya eksplorasi juga meningkat tajam, tidak bisa dibilang sedikit. Padahal di satu sisi, resiko yang dihadapi investor juga makin berat mengingat lokasinya yang sulit itu.

Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral melansir biaya yang harus dirogoh dari kocek investor dalam kegiatan eksplorasi tersebut. Misalnya untuk menemukan satu sumber gas baru di darat atau onshore, diperlukan investasi minimal US$ 30 juta atau sekitar Rp 300 miliar. Sementara untuk mengebor sumur gas baru di tengah laut atau offshore, diperlukan dana minimal US$ 100 juta atau setara Rp 1 triliun. Suatu angka yang fantastis, mengingat investor belum tentu menemukan cadangan hidrokarbon yang ekonomis.

Padahal kegiatan eksplorasi ini mutlak diperlukan untuk menggantikan cadangan migas nasional yang sudah dikuras. Tanpa adanya kegiatan eksplorasi, maka jangan harap kebutuhan migas nasional di masa mendatang dapat terpenuhi. Hingga akhirnya ketergantungan Indonesia pada impor minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) tidak akan dapat berakhir, malahan akan semakin bertambah parah.

Saat ini Indonesia menggunakan mekanisme cost recovery dimana pemerintah tidak akan mengganti biaya yang dikeluarkan investor jika tidak ditemukan cadangan migas yang bisa dikomersialisasi. Sedangkan biaya eksplorasi ini lebih mahal ketimbang biaya eksploitasi karena eksplorasi membutuhkan data yang detil dan melalui sejumlah studi. Misalnya saja jika eksploitasi hanya menghabiskan biaya US$ 5 juta, eksplorasi bisa menghabiskan US$ 10 juta. Jadi bisa dibayangkan, bagaimana besarnya resiko investor dalam industri migas.

Menurut data Kementrian ESDM, sepanjang 2009 hingga 2013 terdapat 12 Kontraktor Kontrak Kerja (KKKS) migas asing yang mengalami kerugian hingga US$1,9 miliar atau Rp19 triliun di 16 blok eksplorasi di laut dalam. Kerugian itu sebagai imbas dari kegagalan mereka dalam mendapatkan cadangan minyak dan gas yang ekonomis. Seluruh kerugian dalam kurun waktu 2009 hingga 2013 tersebut ditanggung sendiri oleh KKKS asing tersebut dan tidak diganti oleh negara.
Sejumlah perusahaan itu antara lain Statoil, ExxonMobil, Talisman, dan ConocoPhillips.

Mahalnya biaya tersebut membuat sejumlah perusahaan kewalahan dalam melakukan kegiatan eksplorasi. Makanya tak heran jika realisasi investasi untuk eksplorasi minyak dan gas bumi masih rendah. Misalnya saja pada tahun 2012, dari komitmen investasi US$ 2 miliar, yang direalisasikan hanya US$ 150 juta.

Pada awal pekan ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengeluhkan sedikitnya komitmen investasi migas. Misalnya saja penandatangan Kontrak Kerja Sama (KKS) hanya tujuh saja, padahal jumlah idealnya 10 kontrak per tahunnya. Jero juga mengingatkan pentingnya kegiatan eksplorasi karena hasilnya baru akan dinikmati dalam waktu 10-15 tahun mendatang.

Melihat kondisi demikian, harusnya pemerintah segera memahami dan membuat aturan yang dapat menciptakan iklim investasi. Indonesia bagaimanapun sebetulnya masih menarik jika dilihat dari sisi letak geografis. Namun investor mengeluhkan sejumlah kebijakan pemerintah yang dianggap kontraproduktif terhadap keinginannya sendiri untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan peningkatan produksi.

Salah satu yang menjadi perhatian adalah kejelasan, konsistensi dan kepastian dalam semua peraturan dan ketentuan di sektor migas. Ketentuan dalam perpanjangan Kontrak Kerja Sama (KKS) misalnya menjadi sorotan utama. Hal ini tak lepas dari investasi hulu migas yang merupakan investasi jangka panjang sehingga investor memerlukan kepastian atas kontrak-kontak yang sudah ditandatangani.

Kepastian mengenai masalah perpanjangan kontrak demi kesinambungan produksi suatu lapangan sangat penting. Dan tentunya kepastian jauh sebelum masa kontrak berakhir akan sangat membantu dalam kesinambungan produksi suatu lapangan. Selain itu pemerintah diharapkan memperlihatkan proses yang transparan dalam menentukan diperpanjang atau tidaknya suatu kontrak. Kasus tidak diperpanjangnya KKKS Chevron di Blok Siak pada detik-detik terakhir, bisa menjadi pembelajaran sendiri, karena hal tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah tidak bisa memberikan kepastian investasi bagi para penanam modal.

IPA mencatat bahwa dalam lima tahun mendapat terdapat sekitar 20 perusahaan minyak yang masa kontraknya akan habis dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Dan pengaruhnya terhadap produksi minyak nasional mencapai 30 persen. Sedangkan dalam 10 tahun mendatang, kontrak yang akan habis mencapai equivalent 61 persen atau setara dengan sekitar 601.000 barel oil equivalent per day (setara minyak per hari) terhadap produksi migas nasional. Sedangkan produksi migas nasional saat ini hanya mencapai sekitar 2 juta barrel setara minyak per hari.


Sebetulnya persoalan-persoalan di sektor migas sudah sangat terang benderang. Sekarang bolanya ada di tangan pemerintah. Dan bagaimana pemerintah menyikapinya akan menentukan bagaimana nasib industri migas nasional di masa mendatang.

Minggu, 23 Februari 2014

Utang Luar Negeri, Korupsi dan Iklim Investasi Indonesia

merdeka.com
Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri pemerintah dan swasta Indonesia per Desember 2013 mencapai US$ 264,1 miliar atau sekitar Rp 3.116 triliun. Suatu jumlah yang sangat fantastis. Setidaknya angka ini meningkat 3,7 persen dibandingkan bulan November 2013 sebesar US$ 260,3 miliar

Urusan utang ini memang menjadi warisan turun temurun mulai dari jaman Presiden Soekarno.  Bung Karno mewarisi utang sekitar US$ 2,3 miliar. Sedang Soeharto mewarisi utang sekitar US$ 171 miliar.

Proses akumulasi utang pun terus berlanjut di era Presiden Habibie yang mewarisi utang sebesar US$ 178 miliar. Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur  mewarisi utang sebesar Rp 1.273,18 triliun. Dan total utang Indonesia pada tahun 2004 di bawah pemerintahan Megawati menjadi Rp 1.299,5 triliun. Setelah mendapat warisan utang sebesar RP 1.299 triliun, utang Indonesia justru semakin membengkak menjadi Rp 1.700 triliun di 2009 atau lima tahun pertama masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono.

Selama ini utang luar negeri Indonesia terutama terarah pada tiga sektor ekonomi--keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, kemudian sektor industri pengolahan, serta pertambangan dan penggalian dengan pangsa masing-masing 26,1 persen, 20,5 persen, dan 18,2 persen dari total utang luar negeri swasta.

Itu saja tak cukup. Pemerintah juga berencana untuk melakukan pinjaman lagi sebesar Rp 345 triliun pada tahun ini. Senilai Rp 205 triliun ditarik melalui penerbitan surat berharga negara guna menutup defisit fiskal tahun 2014. Sisanya sekitar Rp 140 triliun adalah utang untuk melunasi utang yang jatuh tempo.

Melihat jumlah utang pemerintah Indonesia ini tentunya membuat hati kita miris.  Apalagi jika dikaitkan dengan maraknya korupsi di negara ini yang jumlahnya jika diakumulasikan juga mencapai triliunan rupiah. Korupsi yang melanda sejumlah pejabat dan pengambil keputusan di Indonesia. Tak hanya komponen pemerintah daerah, pemerintah pusat, Dewan Perwakilan Rakyat namun juga penegak hukum! Makanya tak heran jika Indonesia masuk pada peringkat ke 110 dari 128 negara paling korup di dunia. Mau dibawa kemana negara ini?

Selain miris jika mengaitkan urusan utang luar negeri dengan korupsi, pastinya kita juga akan semakin miris jika mengaitkannya dengan iklim investasi di Indonesia. Bukan kenapa-kenapa. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah mendapatkan sejumlah komitmen dari investor asing, khususnya dari industri minyak dan gas nasional, untuk menanamkan modalnya di sini. Nilai investasinya tidak tanggung-tanggung, bahkan mencapai miliaran dolar.

Sepanjang tahun 2014 saja, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), menargetkan investasi di sektor hulu migas sebesar US$ 25,64 miliar, terdiri dari kegiatan eksplorasi sebesar US$ 3,84 miliar, administrasi US$ 1,6 miliar, pengembangan US$ 5,3 miliar, dan produksi sebanyak US$ 14,9 miliar. Angka tersebut naik 32 persen jika dibandingkan realisasi investasi tahun 2013 yang sebesar US$ 19,342 miliar.

Sementara pendapatan negara dari produksi dan penjualan migas pada tahun 2013 mencapai US$ 31,368 miliar. Sedangkan pada tahun 2014, APBN menargetkan pendapatan migas mencapai US$ 30,6 miliar. Penurunan target dibandingkan realisasi tahun lalu adalah karena adanya asumsi penurunan produksi minyak akibat sejumlah kendala.

Penurunan produksi minyak memang menjadi concern para investor. Padahal penurunannya sangat mempengaruhi pendapatan negara dari sektor migas. Meski demikian, alih-alih segera mempercepat segala sesuatunya agar injeksi dana itu direalisasikan, tindakan pemerintah malah kontraproduktif terhadap iklim investasi di negara ini. Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjanjikan iklim investasi yang lebih menarik dan kondusif bagi investor. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki proses perizinan investasi di Indonesia. Namun itu saja tak cukup karena yang investor inginkan bukanlah hanya janji, melainkan realisasi.

Misalnya saja, soal kepastian hukum. Investor menilai pemerintah Indonesia sering kali tidak konsisten terhadap kontrak. Sering kali ada kebijakan-kebijakan tertentu yang muncul belakangan setelah kontrak ditandatangani. Tentunya ini akan menyulitkan investor dan memberikan iklim investasi yang tidak kondusif.

Hal lain yang turut menjadi perhatian adalah pentingnya pemerintah untuk dapat mengambil keputusan strategis secara cepat. Misalnya saja terkait perpanjangan kontrak sejumlah blok, termasuk kasus Mahakam.  Blok Mahakam adalah salah satu blok penghasil gas terbesar di Indonesia. Saat ini Mahakam memproduksi 1,7 miliar kaki kubik gas. Dengan sejumlah pengembangan lapangan di blok tersebut, sang operator Total memperkirakan akan dapat menahan laju penurunan produksinya di level 1,1 miliar kaki kubik per hari pada 2017 melalui injeksi investasi sebesar $7,3 miliar. Namun tanpa pengembangan lapangan apa pun, maka produksi gas Mahakam akan jeblok ke level 800.000 kaki kubik per hari. Total sendiri pernah menyatakan komitmennya untuk menginjeksikan dana sebesar $7.3 miliar hingga tahun 2017 –ketika kontrak Mahakam berakhir-.

Namun hingga kini pemerintah belum memberikan kepastian. Padahal tahun 2014 adalah tahun politik dimana dapat dipastikan pemerintah lebih focus pada persiapan Pemilihan Umum ketimbang membuat keputusan strategis.

Jika saja setiap pemimpin hanya memikirkan kepentingannya sendiri secara jangka pendek, maka jangan harap utang luar negeri Indonesia dapat segera tuntas.

Kamis, 13 Februari 2014

Mengurai Ketegangan Politik Indonesia-Singapura dan Dampaknya pada Perekonomian Nasional

merdeka.com
Hubungan Indonesia dan Singapura yang harmonis selama puluhan tahun, belakangan memanas. Hal tersebut terkait dengan keputusan pemerintah untuk menamakan Kapal Republik Indonesia (KRI) baru yang berasal dari Inggris dengan nama Usman Harun.

Pemerintah Singapura segera mengambil sikap tegas dengan membatalkan undangan untuk Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin sebagai delegasi utama untuk menyaksikan acara pameran aviasi Singapore Airshow pada pekan lalu.  Padahal sesuai rencana Selain itu, usai acara tersebut akan ada pertemuan dialog bilateral dengan pejabat Kementrian Pertahanan Singapura. Selain itu Pemerintah Singapura juga melarang KRI Usman Harun untuk memasuki wilayah territorial negeri Singa tersebut.

Mengapa sikap Singapura demikian? Tak lain karena sosok Usman dan Harun sendiri. Keduanya tertangkap pihak Singapura setelah melakukan pengeboman di Hotel MacDonald, Orchad Road pada 10 maret 1965 saat mengemban tugas negara dalam misi infiltrasi. Aksi pengeboman tersebut menewaskan tiga orang sipil. Hingga tak heran, pihak Singapura memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati pada keduanya pada 17 Oktober 1968. 

Harun Said dan Usman Haji Mohamed Ali atau yang dikenal dengan sebutan Usman Harun adalah dua anggota Korps Komando Operasi –yang kini disebut sebagai Korps Marinir-. Keduanya diangkat menjadi pahlawan nasional. Sebaliknya, Singapura malah menyematkan sebutan teroris pada mereka.

Setelah aksi pengeboman itu, hubungan diplomatik Singapura dan Indonesia memanas. Sebagian besar warga Indonesia di Singapura pun dipulangkan, sementara di dalam negeri mahasiswa tengah bersiap menduduki kantor perwakilan Singapura di Indonesia.
Namun ketegangan tersebut berakhir setelah Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew berkunjung ke Indonesia.
Dalam kunjungan tersebut, Lee Kuan Yew melakukan ziarah ke makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Lalu bagaimanakah dampaknya terhadap perekonomian Indonesia jika ketegangan terus berlanjut? Tentu saja dampaknya pada supply Bahan Bakar Minyak (BBM) dan minyak mentah Indonesia. Sektor energi Indonesia akan terguncang hebat.

Hal ini pulalah yang ditanyakan secara retoris oleh Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo. "Apa yang terjadi kalau Singapura stop ekspor BBM ke Indonesia, apa yang terjadi kalau Malaysia juga stop ekspor BBM ke Indonesia? Lima hari kita bisa meninggal," ungkap Susilo, seperti yang dikutip detikcom.

Ucapan Susilo memang tanpa dasar. Saat ini Indonesia tercatat mengimpor 900.000 barel per hari minyak mentah dan BBM dari total kebutuhan 1,4 juta barel per hari. Sebagian besar diimpor dari Singapura.

Singapura adalah negara kecil yang dikenal sebagai pusat keuangan dan perdagangan dunia, khususnya Asia Pacific.  Tak hanya itu bisnis minyak dan gas pun banyak digerakkan dan bahkan berpusat di negara tersebut, meski secara notabene Singapura tidak memiliki sumber daya alam apapun, pada khususnya sumber daya minyak.

Pertamina sendiri memiliki anak perusahaan bernama Petral –Pertamina Trading Limited- yang berkedudukan di Singapura. Petral lah yang mengatur kebutuhan BBM dan minyak mentah Indonesia. Itu lah yang menyebabkan keberadaan dan kontribusi Singapura terhadap perekonomian nasional tidak bisa dianggap remeh.

Sepanjang 2013 lalu, Indonesia mengimpor BBM dengan total US$ 28,56 miliar atau sekitar Rp 285 triliun, berjumlah 29,6 juta ton. Dari jumlah itu, nilai impor BBM dari Singapura adalah US$ 15,145 miliar atau sekitar Rp 151 triliun. Jumlah BBM yang diimpor Indonesia dari Singapura mencapai 29,6 juta ton.

Selain itu, menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2013, Singapura juga tercatat sebagai salah satu negara tujuan ekspor gas Indonesia dengan nilai US$ 4,7 miliar dengan volume 5,5 juta ton. Negara eksporter gas terbesar tetap dipegang Jepang dengan total volume sebesar 7,3 juta ton atau US$ 6,5 miliar. Posisi berikutnya diikuti oleh Korea Selatan dengan volume 6,1 juta ton atau US$ 4,2 miliar.

Tak hanya dalam urusan minyak, ternyata Indonesia juga membutuhkan investor asal negara tersebut untuk berbagai bidang. Setidaknya tercatat ada lima sektor yang menjadi tujuan investor asal Singapura, yaitu transportasi dan telekomunikasi sebesar US$ 1,1 miliar, agrobisnis sebesar US$ 659,1 juta, pertambangan sebesar US$ 605 juta, industri makanan US$ 440,2 juta dan industri kimia dan farmasi US$ 237,6 juta.


Mengingat dampaknya yang sedemikian signifikan, alangkah baiknya pemerintah Indonesia melakukan dialog dengan pemerintah Singapura untuk menyelesaikan ketegangan tersebut. Bagaimanapun, Singapura juga membutuhkan kehadiran Indonesia karea turut menyumbangkan devisa negaranya.

Kamis, 06 Februari 2014

Mundurnya Gita Wirjawan Dari Posisi Menteri Perdagangan Republik Indonesia

tempo.co
Mundurnya Gita Wirjawan dari posisi Menteri Perdagangan pada kabinet Indonesia Bersatu Jilid II efektif per 1 Februari 2014 cukup mengagetkan. Alasan Gita mundur memang seperti naif, karena semata-mata ingin fokus dalam kompetisi Konvensi Calon Presiden (Capres) Partai Demokrat.
Gita mengakui pengunduran dirinya ini didasari oleh dilema etis yang sudah lama terjadi, antara kesadaran tentang besarnya konflik kepentingan jika dirinya terlibat penuh dalam proses politik selama konvensi, sementara pada saat yang sama tetap menjalankan tugas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya sebagai Menteri Perdagangan.
Gita diangkat sebagai Menteri Perdagangan pada Oktober 2011. Dia menggantikan Menteri Perdagangan sebelumnya, Marie Elka Pangestu. Sementara hasil survei Pol-Tracking Institute sebenarnya hanya menempatkan elektabilitas Gita pada ranking 8 dari 11 kandidat yakni 0,8 persen, namun Gita optimistis menang.
Yang menjadi masalah, mundurnya menteri lulusan Harvard University itu dinilai beberapa kalangan tidak tepat karena dilakukan justru saat Indonesia sedang mengalami kekisruhan terkait masalah beras impor di pasaran.
Tak hanya dari kalangan eksternal Partai Demokrat yang mengkritik keputusan tersebut, bahkan dari kalangan partai internal pun suara-suara sumbang ikut terdengar. Seperti misalnya bakal calon presiden Anies Baswedan yang juga mengkritik keputusan Gita Wirjawan yang mengundurkan diri sebagai Menteri Perdagangan untuk kepentingan Konvensi Partai Demokrat. Menurut Anies, kepentingan negara harus menjadi prioritas seorang pemimpin ketimbang mengejar posisi.
Tentunya pandangan Anies tidak berlebihan. Pasalnya keberadaan Gita dalam kondisi Indonesia saat ini memang sangat dibutuhkan, meskipun pada kenyataannya posisi Gita untuk sementara dijalankan oleh Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi.


Misalnya saja peneliti Senior Indonesia for Global Justice (IGJ) Salamudin Daeng yang menyatakan Gita dinilai tidak memiliki prestasi gemilang saat menjadi menteri, terutama terkait dengan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perdagangan. Indonesia kini tengah dihantam berbagai perjanjian buruk terkait perdagangan bebas. Dia menuding Gita sebagai salah satu aktor utama di balik keterpurukan ekonomi Indonesia. Alasannya, Gita telah menandatangani dua perjanjian merugikan yaitu WTO dan APEC.
Sementara Politikus Golkar, Bambang Soesatyo mengatakan keputusan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mundur dari jabatannya dianggap sebagai blunder dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Apalagi kata dia, Gita memutuskan mundur ketika impor beras premium dari Vietnam belum diselesaikan.
Senada dengan Salamudin Daeng, pakar ekonomi politik asal UGM Revrisond Baswir menilai carut marut tata niaga justru menguat di eranya. Hal itulah yang menyebabkan mandegnya sektor pertanian atau agrobisnis di Indonesa.
Sementara klaim sukses Gita di forum internasional seperti WTO dan APEC juga dinilai tidak memberikan dampak positif bagi kemajuan perdagangan nasional.


Karir Gita di dunia perpolitikan memang moncer. Mungkin ini tak lepas dari pendidikannya yang dihabiskan di luar negeri. Gita menempuh pendidikan S1 di University of Texas Amerika Serikat dan menyelesaikan kuliah S2 pertamanya di Baylor University, pada 1989. Lulus kuliah, Gita mulai bekerja di Citibank. Tapi tak puas dalam mereguk ilmu, Gita kembali ke bangku kuliah, memburu gelar master di jurusan Administrasi Publik di Harvard University hingga  pada 2000. Setelahnya, ia bekerja di Goldman Sachs Singapura, hingga 2004.
Tahun berikutnya dia pindah ke ST Telekomunikasi sampai 2006 juga di Singapura, Gita kemudian bekerja di JP morgan Indonesia sebagai direktur utama hingga 2008. Usai mundur dari JP Morgan, Gita Wirjawan mendirikan Ancora Capital, sebuah perusahaan yang berfokus pada investasi di sektor energi dan sumber daya alam Ancora berhasil mengambil alih sebagian saham beberapa perusahaan besar seperti PT Bumi Resources Tbk. Selain itu, ia juga merupakan salah satu komisaris PT Pertamina (Persero).
Setelah itu, Gita juga sempat menempati posisi sebagai Kepala Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). Lalu pada 18 Oktober 2011, berkaitan dengan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Gita Wirjawan diangkat sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Mari Elka Pangestu. Dan selanjutnya Gita terpilih sebagai salah satu bakal calon presiden dari Partai Demokrat.
Melihat curriculum vitaenya, tentulah tidak ada orang yang tidak terkagum-kagum dengan sosok Gita. Tapi tentunya segudang ilmu tidak menjamin seseorang memiliki kemampuan managerial. Terlihat dari banyaknya pandangan miring di atas yang mengkritisi keberhasilan Gita ketika menjadi menteri. Jika kemampuannya sebagai menteri diragukan, bagaimana dengan jabatan presiden, orang nomer satu di negeri ini? Orang yang harus berani mengambil keputusan, meski itu tidak popular.
Dan lagi, masih banyak pekerjaan rumah pemerintah yang harus dibenahi. Misalnya saja di sektor energi. Penurunan produksi yang semakin menggila, sementara di satu sisi energy masih menjadi kontributor utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bisa menjadi blunder bagi pemerintah. Diperlukan gebrakan khusus untuk mencapai target pendapatan negara.
Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan memperbaiki iklim investasi migas yang dinilai jauh dari kondusif saat ini. Pemerintah dinilai tidak pro investor, sering kali tidak menghormati kontrak dan lama dalam memberikan keputusan. Hal ini bisa terlihat dari banyaknya kontrak-kontrak blok migas yang hingga kini masih menunggu kepastian dari pemerintah, misalnya Blok Mahakam yang akan habis tahun 2017.

Nah, apakah Gita sanggup memberikan keputusan cepat? Apakah Gita memiliki kemampuan untuk menjawab keinginan para investor? Kita lihat saja bagaimana hasil Konvensi Partai Demokrat nanti