Rabu, 28 Mei 2014

Benarkah Kualitas Bensin Indonesia Terburuk di ASEAN?

Tribun News
Kualitas bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Indonesia, khususnya premium, masih di bawah standar BBM bersubsidi di negara-negara lain. Tak hanya dibawah kualitas negara-negara tsb, bahkan lebih buruknya kualitasnya dinilai paling rendah di dunia, bahkan di kalangan negara ASEAN sendiri. Maklum saja, Indonesia masih menjual bensin dengan kandungan oktan 88 –sering disebut dengan RON 88-, padahal di negara-negara lain terutama Eropa sudah menggunakan standar EURO 3 atau minimal Ron 92. Ini tak lepas dari kebijakan subsidi BBM yang masih diterapkan pemerintah.

Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Safrudin pernah menjelaskan bahwa kualitas Premium Indonesia tidak memenuhi standar negara-negara Eropa, bahkan, standar Euro 1 sekalipun. Selain kadar oktan hanya 88, olefin content Premium masih di atas 35 persen dan kadar aromatic serta benzene lebih dari 5 persen dan 2,5 persen.

Sementara itu, spesifikasi Euro 2 memiliki persyaratan kadar belerang maksimal 500 ppm, kadar olefin maksimal 35 persen, kadar aromatic maksimal 5 persen, dan kadar benzene maksimal 2,5 persen.



Ironisnya, Vietnam telah mengkonsumsi Euro 2 sejak 2006. Sedangkan India telah menerapkan spesifikasi Euro 4 sejak 2010. Bagaimana dengan Malaysia? Negara tersebut hanya mengkonsumsi bensin dengan oktan 95 yang di Indonesia dikenal dengan merk dagang Pertamax Plus. Di Malaysia, bensin sekelas Pertamax Plus itu akan diwajibkan hanya untuk masyarakat miskin. Dan pemerintah memberikan subsidi untuk bensin RON 95 tersebut. Sedangkan di Singapura, oktan yang dijual minimal berada di angka 92. Sebagai perbandingan, Singapura hanya menjual bensin RON 92, 95 dan 98. Sementara Malaysia adalah 95 dan 97. Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia menjual produk bensin dalam tiga kategori, yaitu Premium, Pertamax (RON 92) dan Pertamax Plus (RON 95). Dua ketegori terakhir harganya diserahkan pada mekanisme pasar alias tidak disubsidi.

Padahal dari seluruh konsumsi BBM nasional, hanya 2,5-3,5 persen yang sudah menggunakan BBM non subsidi. Pada tahun ini saja pemerintah mengalokasikan sekitar 48 juta kiloliter BBM bersubsidi. Dan bukan tak mungkin, alokasi BBM bersubsidi tersebut akan melonjak melebihi quota.


Tak hanya Premium, kualitas Solar Indonesia juga masih buruk dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Padahal sesuai kesepakatan, standar Euro 4 untuk ditargetkan dapat diterapkan pada 2016 setelah pertama kali diberlakukan sejak 2012. Setelah dua tahun berlalu bagaimana nasib kualitas solar Indonesia? Menurut Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup, Novrizal Tahar, kandungan sulfur pada solar masih di kisaran 2.000--3.000 ppm (part per mile), sedangkan yang sudah memenuhi standar Euro 4 adalah antara 50--500 ppm. Padahal kandungan sulfur solar di Singapura kandungan sulfur hanya 10 ppm, Tiongkok 50 ppm, Thailand 50 ppm, Jepang dan Korea 10 ppm.


Padahal buruknya kualitas bensin nasional akan berpengaruh pada udara yang kita hirup. Dan akibatnya berujung pada kesehatan masyarakat. Bisa dibayangkan betapa parahnya paru-paru orang Indonesia akibat bensin yang tidak memenuhi kesehatan tersebut. Menurut data World Health Organization (WHO), setiap tahunnya tujuh juta jiwa meninggal akibat pencemaran udara. Dari ironisnya, 60.000 jiwa dari jumlah tersebut 60.000 terjadi di Indonesia.
Meski demikian, Pertamina menilai bahwa Ron 88 sudah memenuhi spesifikasi yang disyaratkan Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bahkan menurut Direktur Utama Pertamina, RON yang diimpor perusahan plat merah tersebut sebenarnya adalah RON 93 yang harganya diturunkan menjadi harga Ron 88.

Lepas dari hal tersebut, pemerintah sudah seharusnya mulai menaruh perhatian pada masalah dampak buruknya kualitas bensin nasional terhadap kesehatan masyarakat. Bagaimana caranya? Tentunya dengan mengurangi subsidi BBM. Bukan tak mungkin, masih digunakannya RON 88 di Indonesia karena masih terkait dengan subsidi BBM yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun ini alokasi subsidi BBM mencapai dua ratusan trilliun rupiah yang diperkirakan bakal jebol hingga Rp 40 trilliun.

Sedangkan pada tahun 2013, anggaran subsidi BBM jebol hingga Rp 50 triliun yakni mencapai Rp 250 triliun dari yang dianggarkan Rp 200 triliun. Jebolnya subsidi tersebut dikarenakan melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS yang mencapai lebih dari Rp 12.000/dollar AS. Dengan kualitas yang rendah saja, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saja sudah jebol dan berdarah-darah, bagaimana jika kualitasnya ditingkatkan hingga memenuhi spesifikasi Euro?


Kebijakan pemberian subsidi BBM Indonesia memang senantiasai menuai kritik karena dianggap tidak mencapai sasaran. Bagaimana tidak, kalangan menengah yang dianggap mampu –setidaknya mampu membeli mobil segenap dengan segala konsekuensinya- tetap diberi kucuran subsidi oleh pemerintah. Untuk itulah pemerintah baru harus berani menaikkan harga BBM bersubsidi. Namun, langkah itu harus diikuti dengan penyesuaian kualitas BBM yang dipasarkan di Indonesia dengan syarat minimal berstandar Euro 2.



Kamis, 22 Mei 2014

Menimbang Pengelolaan Blok Mahakam Pasca 2017

Masalah perpanjangan kontrak Blok Mahakam harus bisa diselesaikan pemerintah Indonesia pada tahun ini. Jika tidak maka sudah dipastikan produksi blok tersebut bisa turun karena tidak adanya kepastian untuk investasi. Desakan sejumlah pihak, seiring dengan berakhirnya kontrak, juga semakin meningkat. Namun langgamnya tetap sama: Total atau Pertamina kah yang akan mengelolanya?

Lamanya keputusan pemerintah dalam memberikan keputusan terkait perpanjangan blok sudah menjadi focus pada industri migas. Ketua Indonesian Petroleum Association Lukman Mahfudz pada pertengahan pekan ini mengingatkan bahwa 30 persen produksi Migas nasional, yaitu sebesar 635.000 setara minyak per hari (boepd) dari 20 KKKS yang akan habis masa kontraknya dalam 5 tahun ke depan. Sementara 61 persen produksi sebesar 1,2 juta boepd berasal KKKS yang akan habis masa kontraknya dalam 10 tahun ke depan. Dan hanya 30 persen produksi migas nasional tahun 2020 berasal dari proyek-proyek migas yang saat ini dalam tahap perencanaan. Menurut IPA pengembangan potensi remaining resource memerlukan teknologi tinggi, padat modal dan tenaga kerja yang kompeten serta mempunyai keahlian  khusus.

Sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengatakan bahwa pemerintah tengah mempersiapkan aturan mengenai perpanjangan blok migas. Aturan tersebut akan dijadikan acuan bagi pemerintah untuk mengambil keputusan terkait perpanjangan blok. Meski demikian, aturan tersebut sebenarnya sudah lama didengungkan. Rencananya akan diterbitkan akhir tahun lalu, namun hingga kini belum terealisasi, sementara pemerintah saat ini hanya tinggal lima bulan.

Kepastian perpanjangan Mahakam memang sudah sangat mendesak. Total mengisyaratkan, bahwa pengembangan lapangan baru hanya akan dilakukan hingga tahun 2015 jika belum ada kepastian soal kontrak. Pasalnya dibutuhkan proses yang memakan dua hingga tahun untuk mengelola suatu lapangan. Dan hal tersebut sulit dilakukan perusahaan tanpa adanya hitam di atas putih mengenai nasib perpanjangan kontraknya. Meski demikian Total tetap komit untuk mengalokasikan belanja modal sebesar $2,5 miliar per tahun.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengatakan pemerintah belum tentu memberikan blok yang akan habis pada 2017 tersebut ke tangan PT Pertamina.

"Bukan tidak berpihak kepada negara, Pertamina itu bukan negara walaupun dia 100% milik negara. Blok Mahakam habis kontraknya itu jadi milik negara, tapi belum tentu dikasih ke Pertamina. Pertamina boleh saja mengajukan ingin mengelola, tapi tidak otomatis, bisa saja kita (pemerintah) tenderkan kembali," ujarnya, seperti yang dikutip dari detikcom.

Pertamina yang sudah melirik blok tersebut memang telah menyurati Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tiga kali guna menyatakan kesiapan mengelola Blok Mahakam. Pertamina menilai bahwa sebagai badan usaha milik negara (BUMN), sudah selayaknya ia mendapatkan hak istimewa untuk dapat mengelola blok tersebut seratus persen. Pertamina merasa siap untuk mengambilalih berdasarkan keberhasilannya dalam meningkatkan produksi di Blok West Madura Offshore dan Offshore North West Java.

Apa yang dilakukan Pertamina itu kemudian didorong oleh Indonesian Resources Studies (IRESS) yang melayangkan surat terbuka untuk SBY terkait masalah Mahakam. Menurut Direktur IRESS Marwan Batubara, keputusan perlu segera diambil guna memberikan kepastian pengelolaan dan pengembangan Blok Mahakam di masa mendatang, baik bagi Total dan Inpex, maupun bagi Pertamina. Menurut Marwan, Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pernah menyatakan (8/7/2013) seharusnya Pemerintah sudah memutuskan status kontrak Mahakam sejak 2012 lalu.

Sementara itu, Total pun telah mengajukan proposal perpanjangan sejak tahun 2009. Belum adanya kepastian menyebabkan proposal baru mengenai pengelolaan Mahakam pada Agustus tahun silam. Intinya Total dan Inpex bersedia menurunkan porsi sahamnya dari 50 persen menjadi 35 persen, serta memberi peluang bagi Pertamina untuk bersama-sama menggarap Blok Mahakam pada masa transisi lima tahun pertama pasca 2017.

Total juga memiliki itikad baik dengan bersedia memberikan transfer teknologi kepada Pertamina. Dan yang tak kalah penting, perusahaan asal Perancis tersebut bersedia menggelontorkan investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 untuk menahan laju penurunan produksi. Total akan berupaya untuk mempertahankan produksi gas mencapai 1.760 MMSCFD (juta kaki kubik) dan kondensat di sekitar 66.000-67.000 barrel per hari.

Sejumlah kalangan menilai bahwa langkah terbaik dalam penyelesaian kasus perpanjangan blok ini adalah dengan memberikan kesempatan baik kepada Total dan Pertamina untuk bekerjasama pada masa transisi. Dengan demikian Pertamina pada akhirnya nanti dapat mengambilalih blok dengan lancar. Selain itu jika Pertamina mengambilalih Blok Mahakam langsung 100 persen ditakutkan akan mempengaruhi produksi blok ini. Maklum saja, biasanya pengalihan operator akan membuat produksi turun. Itulah sebabnya diperlukan masa transisi.


Hal lain yang menyebabkan dibutuhkan campur tangan Total adalah tingginya investasi dalam mengelola Mahakam. Dengan dana sebesar $2,5 miliar per tahun, sebenarnya Pertamina bisa memfokuskan pada akusisi lapangan-lapangan migas yang lebih potensial di luar negeri ketimbang hanya mengalokasikannya untuk lapangan tua Mahakam yang telah berproduksi puluhan tahun. Apapun hasilnya, mari kita tunggu keputusan pemerintah. Semoga pemerintah SBY masih berani mengambil keputusan penting di masa-masa akhir jabatannya.

Senin, 19 Mei 2014

Meski Menang Konvensi, Mimpi Dahlan Iskan Jadi Presiden Kandas

Meski telah keluar sebagai pemenang dalam konvensi Partai Demokrat dengan mendapat suara 17,5 persen, namun toh Dahlan Iskan hanya bisa gigit jari. Kemenangannya tidak bisa menghantarkannya menjadi calon orang nomer satu di republik ini. Hal tersebut terjadi karena hasil pemilihan legislatif April lalu, Partai Demokrat hanya berhasil mendapatkan suara sebesar 10,19 persen, merosot jauh dibandingkan pada Pileg tahun 2009. Pepatah menggambarkan kondisi tersebut dengan “dari hero menjadi zero.”
Memang Dahlan berhasil mengalahkan para pesaing beratnya dalam konvensi tersebut, seperti Anies Baswedan, Gita Wirjawan, Pramono Edhie Wibowo dan Dino Patti Djalal. Bahkan yang lebih mengenaskan, Dino dan Gita sampai terpaksa melepaskan jabatannya sebagai Duta Besar RI untuk Amerika Serikat dan Menteri Perdagangan demi serius dalam mengikuti konvensi tersebut. Tak heran mereka mengambil langkah yang revolusioner tersebut, mengingat pada Pemilu 2009, Partai Demokrat menang telak. Pada saat itu figur sang Ketua Umum DPP Partai Demokrat, yakni SBY juga masih sangat bagus sehingga elektabilitas partai sangat kinclong.

Yang menjadi kendala adalah ketika dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua, sejumlah masalah menghantui partai berlambang segi tiga itu. Satu per satu kadernya terindikasi korupsi, seperti misalnya Angelina Sondakh, mantan Menteri Olah Raga Andi Mallarangen, Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Sementara kinerja SBY pada kabinet ini juga dianggap tidak terlalu istimewa. Akibatnya elektabilitas partai turun drastis.

Pada pekan lalu, Partai Demokrat akhirnya mengadakan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) yang menelurkan sembilan butir sikap sementara Partai untuk menghadapi Pilpres 2014 nanti. Diantara sembilan kesimpulan Partai Demokrat tersebut, diantaranya ada yang menjelaskan bahwa Partai Demokrat tahun ini siap untuk menjadi partai oposisi dan tidak akan turut meramaikan pertarungan Pilpres 2014. Namun, kesimpulan tersebut tidak akan berubah sebelum ada ketetapan secara definitif. Demikian disampaikan SBY. Artinya harapan Dahlan Iskan untuk menjadi Presiden Republik Indonesia kandas sampai disitu.

Sebelum sikap partai tersebut diumumkan, memang ada isu-isu mengenai kemungkinan koalisi Partai Demokrat dengan Partai Golkar. Meskipun demikian, kemenangan Dahlan Iskan dalam konvensi Partai Demokrat tetap tidak diperhitungkan. Disebutkan Aburizal Bakrie akan maju menjadi calon presiden didampingi oleh adik ipar SBY, Pramono Edhie Wibowo sebagai calon wakil presiden. Bahkan rapimnas Partai Golkar sudah menyepakati itu.

Namun apa lacur, di penghujung pendaftaran capres dan cawapres, tiba-tiba Golkar menelikung. Partai berwarna kuning itu tiba-tiba merapat ke kubu koalisi Partai Gerindra-PAN-PPP-PKS dan PBB. Keputusan itu terasa mendadak. Meninggalkan Partai Demokrat menjadi seorang diri tanpa teman karena pada pagi ini, PDIP-Nasdem-PKB dan Hanura telah mendekrasikan kekoalisiannya dan bahkan mendaftarkan pencalonan presiden dan wapres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Tentunya nama Dahlan Iskan tidak lah asing bagi masyarakat Indonesia. Banyak tingkah polahnya yang berhasil menarik perhatian publik, seperti misalnya proyek mobil murah, naik kereta api dari Jakarta ke Bogor untuk menghadiri sidang kabinet, dan lain sebagainya. Awalnya tampak menarik dan terlihat ‘down to earth’ alias merakyat, tapi lama-lama sebagian masyarakat, menilainya sebagai bagian dari politik pencitraan ala Dahlan.

Bicara Dahlan, memang tak bisa lepas dari Pertamina dan Blok Mahakam. Kaitan ketiganya sangat kuat. Pasalnya Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di setiap kesempatan tanpa basa basi selalu menyatakan dukungannya kepada Pertamina untuk mengambilalih Blok Mahakam setelah kontrak kerjasamanya usai pada tahun 2017.

Dahlan mengaku pihaknya tak ingin Mahakam dikelola dan jatuh ke tangan pihak asing. Dengan demikian Dahlan secara intensif melakukan pertemuan dengan Pertamina untuk membahas kemampuan perusahaan plat merah itu untuk mengelola Mahakam. Dan dari hasil diskusi tersebut, Dahlan memastikan bahwa Pertamina mampu secara profesional dengan skema pendanaan yang ada.

Apa yang dibicarakan Dahlan ini, memang diamini oleh seluruh peserta konvensi. Dalam Debat Kenegaraan Konvensi Capres tahun lalu, mereka bersama-sama memastikan bahwa dalam pandangan mereka Pertamina dianggap sudah siap untuk mengelola Mahakam. Dengan demikian pemerintah tidak perlu lagi memperpanjang kontrak Total E&P Indonesie dan Inpex Corp di Mahakam pasca 2017, ketika kontrak bagi hasil (production sharing contract) habis.

Kini Partai Demokrat terpuruk, Dahlan Iskan pun lebih terpuruk, meski sebelumnya keduanya sangat yakin akan mengantungi suara terbanyak. Toh dagangan utama mereka, yakni nasionalisme, ternyata tidak laku.


Masalah Mahakam memang tidak bisa dilihat dari sudut nasionalisme, melainkan dari sudut kemampuan. Pertamina memang akan menjadi operator Mahakam di masa mendatang. Namun harus terlebih dahulu bekerjasama dengan Total pada masa transisi, yaitu lima tahun pertama pasca 2017. Pada masa transisi itulah Pertamina bisa dapat belajar akan banyak hal, seperti teknologi dan SDM. Dan Total pun, sudah menyatakan kesediaannya untuk transfer teknologi kepada Pertamina. Jadi bagaimanapun, pengelolaan bersama antara Pertamina dan Total adalah win-win solution dan solusi terbaik bagi kemaslahatan Republik Indonesia tercinta ini.

Kamis, 08 Mei 2014

Jangan Pilih Capres yang Mau Nasionalisasi Aset Perusahaan Asing!

Jangan pilih calon presiden yang heboh mau menasionalisasi aset Indonesia yang dikuasai perusahaan asing. Meski terkesan heroik dan sangat nasionalis janji kampanye tersebut justru bisa membahayakan kondisi bangsa maupun rakyat. Dan yang pasti janji tersebut sulit untuk diwujudkan alias sekedar "janji surga". Demikian peringatan dari Ketua Umum Partai Demokrat yang juga Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.

Ungkapan SBY yang diunggah di situs Youtube itu menyitir adanya janji dari salah seorang capres untuk menasionalisasi semua perusahaan asing di Indonesia jika terpilih. Padahal jelas-jelas janji tersebut amat mustahil untuk direalisasikan. Bila pun bisa dipenuhi, hal tersebut tentu sudah pasti akan membawa konsekuensi ekonomi bagi Indonesia ke arah yang buruk. Pasalnya bisa-bisa Indonesia akan digelandang ke forum arbitrase internasional. Akibatnya Indonesia bisa kalah dan pemerintah harus membayar penalty ke sejumlah perusahan asing triliunan rupiah. Dan yang patut diingat, uang tersebut berasal dari uang pajak rakyat!

"Mungkin orang yang dengar berpikir wah ini hebat, ini berani, ini hebat. Tapi kalau aset dinasionalisasi, padahal perjanjian sudah dibuat dari era Soekarno dan Soeharto, kini dinasionalisasi, besok kita dituntut di pengadilan arbitrase. Lusa kita kalah, dampaknya ekonomi porak poranda," beber SBY.

Menurut SBY, kerjasama dengan pihak asing harus menguntungkan rakyat dan pemerintah Indonesia. Kontrak-kontrak kerjasama juga harus mendorong agar bangsa Indonesia menjadi tuan rumah di negara sendiri.

Isu nasionalisme memang sangat mengemuka di masa-masa kampanye. Hal tersebut kerap didengungkan oleh calon-calon presiden di setiap kesempatan kampanyenya. Semua isu, tak luput juga industri minyak dan gas serta pertambangan juga turut serta menjadi sorotan. Mereka tampaknya terinpirasi oleh keberhasilan masa silam Presiden Venezuela Hugo Chavez yang sering dijuluki sebagai ‘the greatest man’ yang dianggap berhasil menerapkan nasionalisasi di negaranya.

Isu yang kerap menjadi jualan para capres adalah kasus Blok Mahakam dimana sejumlah capres yang ikut serta dalam Konvensi Partai Demokrat sepakat untuk tidak memperpanjang kontrak Total yang habis tahun 2017 dengan mengalihkannya ke Pertamina. Belum lagi kasus alotnya pembangunan smelter domestik yang menyebabkan dua perusahaan asing asal Amerika Serikat, yakni Freeport dan Newmont menjadi sorotan tajam. Maklum saja, Freeport selalu menjadi sasaran empuk. Apalagi mayoritas orang Indonesia menganggap seluruh sumber daya alam di Papua telah habis dikeruk oleh perusahaan tersebut.

Tapi apakah mereka paham mengapa dahulu pemerintah Indonesia memilih Freeport untuk menambang di Grasberg Papua? Atau apakah mereka telah melihat data konkret cadangan migas Indonesia? Dan apakah Indonesia sudah siap dengan nasionalisme?

Pertama, pemerintah memilih Freeport pada tahun 1960an karena berarti pemerintah Amerika Serikat mengakui kedaulatan Indonesia, mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia. Artinya tidak akan negara lain yang mengklaim bahwa Papua adalah bagian dari negaranya. Papua dengan kandungan alamnya yang sangat fantastis memang kerap menjadi barang rebutan berbagai negara.

Kedua, mengenai cadangan. Ternyata menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), cadangan minyak Indonesia hanyalah 0,3 persen dari cadangan dunia. Indonesia bukanlah lagi negara yang kaya dengan sumber energi minyak bumi. Jika dibandingkan dengan Venezuela hanya mencapai 300 miliar, maka cadangan Indonesia hanya 1/100-nya. Bisa dilihat dari data produksi nasional, produksi rata-rata saat ini merosot hingga 780.000-an barrel per hari dari target sebesar 870.000 barrel per hari.

Sementara pada tahun-tahun sebelumnya, Indonesia juga gagal dalam mencapai target produksi minyak dan gas nasional. Maka tak heran, kalau tahun ini pemerintah kembali berwacana untuk menurunkan target produksi yang telah ditetapkan dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2014. Alasannya, selain cuaca ekstrem, tak tercapainya target lifting juga disebabkan karena produksi minyak di Blok Cepu mengalami kemunduran. Seharusnya Cepu berproduksi pada Juli 2014. Namun karena terkendala teknis maka Blok Cepu ditargetkan berproduksi November 2014.

Belum lagi jika dilihat kemampuan perusahaan nasional, baik dari aspek kemampuan finansial, teknologi dan Sumber Daya Manusia (SDM). Contoh kasus adalah Blok Mahakam yang merupakan sebuah blok lepas pantai tua yang telah digenjot produksinya sejak tahun 1968. Dibutuhkan biaya setidaknya $2,5 miliar per tahunnya untuk menahan laju penurunan produksi, yang jika tidak dilakukan usaha apapun bisa jeblok ke angka 50 persen.

Ketiga, mampukah Indonesia menasionalisasi seluruh asset perusahan asing? Tentu bisa, namun harus siap dituntut di pengadilan arbitrase internasional. Dan artinya iklim investasi Indonesia akan semakin melorot tajam. Selain harus membayar penalty di  arbitrase, pemerintah juga harus siap menerima penurunan pendapatan di APBN. Mengapa? Karena jujur saja, kegiatan eksplorasi sudah semakin ke arah timur dengan karakteristik laut dalam. Artinya tingkat kesulitan akan semakin meningkat dengan biaya investasi yang juga semakin fantantis. Nah sudah siapkan perusahaan nasional menghadapi hal tersebut?