Tribun News |
Kualitas bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
Indonesia, khususnya premium, masih di bawah standar BBM bersubsidi di
negara-negara lain. Tak hanya dibawah kualitas negara-negara tsb, bahkan lebih
buruknya kualitasnya dinilai paling rendah di dunia, bahkan di kalangan negara
ASEAN sendiri. Maklum saja, Indonesia masih menjual bensin dengan kandungan
oktan 88 –sering disebut dengan RON 88-, padahal di negara-negara lain terutama
Eropa sudah menggunakan standar EURO 3 atau minimal Ron 92. Ini tak lepas dari
kebijakan subsidi BBM yang masih diterapkan pemerintah.
Koordinator Komite Penghapusan Bensin Bertimbal,
Ahmad Safrudin pernah menjelaskan bahwa kualitas Premium Indonesia tidak
memenuhi standar negara-negara Eropa, bahkan, standar Euro 1 sekalipun. Selain
kadar oktan hanya 88, olefin content Premium masih di atas 35 persen dan
kadar aromatic serta benzene lebih dari 5 persen dan 2,5
persen.
Sementara itu, spesifikasi Euro 2 memiliki persyaratan kadar belerang
maksimal 500 ppm, kadar olefin maksimal 35 persen, kadar aromatic
maksimal 5 persen, dan kadar benzene maksimal 2,5 persen.
Ironisnya, Vietnam telah mengkonsumsi Euro 2 sejak
2006. Sedangkan India telah menerapkan spesifikasi Euro 4 sejak 2010. Bagaimana
dengan Malaysia? Negara tersebut hanya mengkonsumsi bensin dengan oktan 95 yang
di Indonesia dikenal dengan merk dagang Pertamax Plus. Di Malaysia, bensin sekelas
Pertamax Plus itu akan diwajibkan hanya untuk masyarakat miskin. Dan pemerintah
memberikan subsidi untuk bensin RON 95 tersebut. Sedangkan di Singapura, oktan
yang dijual minimal berada di angka 92. Sebagai perbandingan, Singapura hanya
menjual bensin RON 92, 95 dan 98. Sementara Malaysia adalah 95 dan 97.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia menjual produk bensin dalam tiga
kategori, yaitu Premium, Pertamax (RON 92) dan Pertamax Plus (RON 95). Dua
ketegori terakhir harganya diserahkan pada mekanisme pasar alias tidak
disubsidi.
Padahal dari seluruh konsumsi BBM nasional, hanya
2,5-3,5 persen yang sudah menggunakan BBM non subsidi. Pada tahun ini saja
pemerintah mengalokasikan sekitar 48 juta kiloliter BBM bersubsidi. Dan bukan tak mungkin, alokasi BBM bersubsidi tersebut akan melonjak melebihi quota.
Tak hanya Premium, kualitas Solar Indonesia juga
masih buruk dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Padahal sesuai
kesepakatan, standar Euro 4 untuk ditargetkan dapat
diterapkan pada 2016 setelah pertama kali diberlakukan sejak 2012. Setelah dua
tahun berlalu bagaimana nasib kualitas solar Indonesia?
Menurut Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran
Udara Sumber Bergerak Kementerian Lingkungan Hidup, Novrizal Tahar, kandungan
sulfur pada solar masih di kisaran 2.000--3.000 ppm (part per mile), sedangkan
yang sudah memenuhi standar Euro 4 adalah antara 50--500 ppm. Padahal kandungan
sulfur solar di Singapura kandungan sulfur hanya 10 ppm, Tiongkok 50 ppm,
Thailand 50 ppm, Jepang dan Korea 10 ppm.
Padahal buruknya kualitas bensin
nasional akan berpengaruh pada udara yang kita hirup. Dan akibatnya berujung
pada kesehatan masyarakat. Bisa dibayangkan betapa parahnya paru-paru orang
Indonesia akibat bensin yang tidak memenuhi kesehatan tersebut. Menurut data
World Health Organization (WHO), setiap tahunnya tujuh juta jiwa meninggal
akibat pencemaran udara. Dari ironisnya, 60.000 jiwa dari jumlah tersebut
60.000 terjadi di Indonesia.
Meski demikian, Pertamina menilai bahwa Ron 88 sudah
memenuhi spesifikasi yang disyaratkan Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementrian
Energi dan Sumber Daya Mineral. Bahkan menurut Direktur Utama Pertamina, RON
yang diimpor perusahan plat merah tersebut sebenarnya adalah RON 93 yang harganya
diturunkan menjadi harga Ron 88.
Lepas dari hal tersebut, pemerintah sudah
seharusnya mulai menaruh perhatian pada masalah dampak buruknya kualitas bensin
nasional terhadap kesehatan masyarakat. Bagaimana caranya? Tentunya dengan
mengurangi subsidi BBM. Bukan tak mungkin, masih digunakannya RON 88 di
Indonesia karena masih terkait dengan subsidi BBM yang terus meningkat dari
tahun ke tahun. Bahkan tahun ini alokasi subsidi BBM mencapai dua ratusan
trilliun rupiah yang diperkirakan bakal jebol hingga Rp 40 trilliun.
Sedangkan pada tahun 2013, anggaran subsidi
BBM jebol hingga Rp 50 triliun yakni mencapai Rp 250 triliun dari yang
dianggarkan Rp 200 triliun. Jebolnya subsidi tersebut dikarenakan melemahnya
nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS yang mencapai lebih dari Rp
12.000/dollar AS. Dengan kualitas yang rendah saja, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara saja sudah jebol dan berdarah-darah, bagaimana
jika kualitasnya ditingkatkan hingga memenuhi spesifikasi Euro?
Kebijakan pemberian subsidi BBM Indonesia
memang senantiasai menuai kritik karena dianggap tidak mencapai sasaran.
Bagaimana tidak, kalangan menengah yang dianggap mampu –setidaknya mampu
membeli mobil segenap dengan segala konsekuensinya- tetap diberi kucuran
subsidi oleh pemerintah. Untuk itulah pemerintah baru harus berani menaikkan
harga BBM bersubsidi. Namun, langkah itu harus diikuti dengan
penyesuaian kualitas BBM yang dipasarkan di Indonesia dengan syarat minimal berstandar
Euro 2.