Industri minyak dan gas bumi Indonesia merupakan
industri primadona yang dapat menopang kemaslahatan negara ini. Ini bukan
berlebihan, namun berdasarkan fakta bahwa sektor ini menyumbang angka yang
sangat signifikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada
tahun 2012 saja, sektor hulu migas menyumbangkan Rp 302 trillion dan hingga
pada Juli 2013, telah berhasil memberikan kontribusi sebesar $21.4 miliar, 113%
di atas target sebesar $19 miliar.
Memahami pentingnya industri ini, ada baiknya
masyarakat mulai mengenal seluk beluk Kontrak Kerja Sama migas. Kontrak Kerja
Sama minyak dan gas bumi, atau lebih dikenal dengan Production Sharing Contract
(PSC) sebenarnya pertama kali diperkenalkan oleh Indonesia. Dan kemudian pada
prakteknya, banyak negara yang mengadopsi model kerjasama tersebut karena
dinilai sangat menguntungkan bagi negara. Pasalnya dalam kontrak ini, negara
tidak memiliki resiko besar karena investasi sepenuhnya dikeluarkan oleh
investor dengan bagi hasil. Selain itu seluruh asset yang digunakan terkait
dengan kontrak tersebut akan menjadi milik negara.
Normalnya pola bagi hasil tersebut adalah 85:15
untuk minyak, dimana pemerintah 85% dan 15% bagi investor, setelah dipotong
biaya dan pajak. Angka bagi hasil berubah menjadi 70:30 untuk gas bumi. Sekilas nampak prosentase untuk investor
lumayan menarik. Namun apakah benar menarik?
Banyak investor yang mengeluhkan porsi bagi hasil
ini karena angka 85:15 dan 70:30 itu hanya angka di atas kertas. Kenyataan, apa
yang investor dapat jauh lebih kurang dari tersebut karena adanya kewajiban 25%
dari produksinya untuk dijual ke pasar domestic –dikenal dengan domestic market
obligation- dengan harga di bawah harga pasar. Itupun kalau blok yang dikelola
komersial alias ditemukan cadangan hidrokarbon yang bisa diproduksikan. Kalau
tidak, jangan harap biaya-biaya eksplorasi yang telah dikeluarkan akan diganti
pemerintah.
Indonesia menerapkan system cost recovery dimana
seluruh pengeluaran yang dilakukan investor selama masa eksplorasi akan diganti
jika lapangan tersebut telah dapat dikomersialisasikan.
Yang menjadi masalah saat ini, cost recovery sejak
beberapa tahun terakhir dipatok dalam angka tertentu di APBN. Saat itu Badan
Pengatur Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) telah mengajukan protes akan
hal tersebut karena akan mempengaruhi investasi investor yang pada akhirnya
akan berdampak pada produksi dan penemuan cadangan. Namun apa boleh buat,
usulan tersebut ditolak. Pada tahun 2013, cost recovery dipatok sebesar $15.2
miliar dan $15.13 miliar pada 2012.
Urusan cost recovery dan bagi hasil saja sebenarnya
sudah membuat investor berpikir ulang untuk investasi di Indonesia. Belum lagi
kasus-kasus lainnya, misalnya kontrol yang berlebihan atau kriminalisasi KKS.
Coba tengok kasus bioremediasi Chevron yang sejumlah karyawannya diganjar
hukuman tidak berdasarkan PSC. Padahal meskinya PSC ini menjadi rujukan dimana
jika terjadi kasus yang tidak diinginkan maka tidak bisa diterapkan hukum
pidana, melainkan perdata.
Adakah yang lain? Tentu ada. Investor mengeluhkan
lamanya pemerintah dalam mengambil keputusan, seperti perpanjangan blok atau
proyek strategis lainnya. Sebut saja, blok Mahakam yang telah diajukan proposal
perpanjangannya sejak 1998 belum juga diputuskan. Demikian juga Blok Siak yang
dikelola Chevron. Masa kontrak blok ini akan habis tahun depan namun hingga
kini belum ada kepastian apakah diperpanjang atau tidak. Contoh lainnya adalah
Blok East Natuna yang pembahasan terms and conditions antara pemerintah dan
Pertamina masih juga belum tuntas hingga kini.
Problematikanya masalah-masalah itu menjadi sangat
kontradiktif dengan target pemerintah untuk meningkatkan produksi menjadi
mendekati 1 juta barrel per hari pada tahun 2015. Bagi investor yang
berkecimpung di dunia yang padat modal, karya dan teknologi ini, jelas
resikonya sangat besar.