Tempo.co |
Angan-angan
pemerintah Indonesia untuk mengalihkan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) ke
Bahan Bakar Gas (BBG) tampaknya baru sebatas mimpi belaka. Pasalnya sejumlah
pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan
Gas Bumi (Hiswana Migas) mengeluhkan sulitnya pengembangan bisnis tersebut.
Minimnya kendaraan yang menggunakan BBG tidak sebanding dengan investasi yang
harus dirogoh dari kocek pengusaha. Akibatnya beberapa Stasiun Pengisian Bahan
Bakar Gas (SPBG) terpaksa ditutup karena biaya operasional lebih besar
dibandingkan dengan pemasukan alias tidak bisa balik modal.
Menurut pengusaha SPBG, biaya untuk mendirikan
sebuah SPBG sangat tinggi, hingga tiga kali lipat dibandingkan Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk BBM. Misalnya investasi untuk satu buah
dispenser BBG bisa mencapai Rp 1,5 miliar, dibandingkan dengan dispenser untuk
BBM yang hanya Rp 500 juta. Dengan komponen-komponen lainnya, total pembangunan
satu buah SBPG bisa mencapai Rp 3 miliar.
Pembangunan SPBG di Indonesia memang sangat lambat
dan sangat memprihatinkan karena hingga saat ini jumlah SPBG yang ada hanya puluhan.
Berbeda dengan Thailand yang berhasil dengan program konversi BBG karena
memiliki 1.000 SPBG.
Terkendalanya penggunaan BBG bagi kendaraan ini tak
lepas dari minimnya kendaraan yang mau mengkonsumsinya lantaran keterbatasan
alat di mobilnya. Untuk dapat mengkonversi penggunaan BBM ke BBG, memang
dibutuhkan sebuah alat yang bernama converter
kit. Masalahnya untuk mendapatkan converter
kit tersebut, seseorang harus memasangnya dengan mengggunakan uang pribadi.
Dengan demikian banyak yang memilih untuk tidak memasang alat tesebut di
mobilnya. Investor sendiri mengaku bersedia selama ada jaminan bahwa konsumsi
BBG meningkat.
Dan untuk itu, dibutuhkan keseriusan pemerintah
untuk memaksa produsen mobil untuk memasangkan conventer kit. Dengan demikian mau tidak mau konsumen dipaksa untuk
menggunakan BBG.
Padahal sebenarnya pemerintah bisa menghemat
subsidi sangat besar jika penggunaan BBG berhasil digalakkan. Hal ini terlihat
dari harga jual per liter BBG hanyalah Rp 3.100 per liter, jauh lebih murah
dibandingkan dengan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 6.500 per liter. Nah, konversi
BBM ke BBG ini diharapkan dapat memotong subsidi BBM yang terus melonjak tajam,
seiring dengan naiknya konsumsi sementara Indonesia masih harus mengimpor
minyak dan tentu saja harga minyak yang terus meroket. Pemerintah memperkirakan
Indonesia dalam sehari menghabiskan US$ 120 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun
untuk mengimpor minyak, nahkan diperkirakan angka tersebut melonjak jadi Rp 1,8 trilliun per hari pada
2019.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo
Siswoutomo mengaku pemerintah tengah menyusun surat keputusan
bersama (SKB) sejumlah menteri yang mewajibkan kendaraan memakai dua bahan
bakar yakni BBM dan BBG. Paling tidak pabrikan kendaraan diberi batas waktu
maksimal dua tahun untuk memproduksi mobil dengan bahan bakar ganda. Keputusan
tersebut diharapkan bisa keluar pada
tahun ini.
Meski demikian, kemungkinan besar kebijakan
tersebut akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awal, mandatori bahan
bakar ganda bisa dimulai dengan kendaraan jenis taksi dan angkutan umum
terlebih dahulu, baru kemudian akan dikenakan pada kendaraan lainnya.
Selain itu, pemerintah sendiri berjanji untuk
memberikan insentif untuk pengembangan bisnis BBG ke depannya. Insentif yang
tengah dipikirkan adalah pembebasan pajak pertambahan nilai barang mewah
seperti mobil murah, sehingga harga kendaraan berbahan bakar ganda sama dengan
hanya memakai BBM.
Masalahnya pengembangan SPBG di Indonesia ini
sebenarnya sudah lama terjadi. Dan tak hanya pada sebatas konsumsi BBG yang
minim saja, melainkan juga infrastruktur yang tak kalah minim. Misalnya pipa
distribusi yang sangat terbatas.
Saat ini kepemilikan pipa di Indonesia masih
didominasi oleh BUMN Perusahaan Gas Negara (PGN). Namun sayangnya tidak semua
pipa dapat diakses.
Akibatnya terdapat SPBG yang sebenarnya siap beroperasi,
namun belum terealisasi karena menunggu izin pembukaan akses pipa gas.
Dengan
demikian, mau tidak mau, campur tangan pemerintah untuk memberikan insentif
dalam bisnis SPBG masih sangat dibutuhkan. Alangkah baiknya jika pemerintah
memberikan paket insentif yang menarik agak seluruh investor dapat
berlomba-lomba membangun pipa demi terwujudnya program konversi tersebut.
Maklum saja, selama ini pemerintah dikenal pelit dalam memberikan insentif
kepada investor sehingga mengakibatkan pembangunan infrastruktur jadi
tersendat.
Pelitnya
insentif ini tak hanya terjadi di bisnis hilir saja, melainkan juga di bisnis
hulu, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Jadi, sekali lagi, berhasil tidaknya
kebijakan penggunaan BBG ini ada di tangan pemerintah. Tanpa insentif yang memadai,
jangan harap Indonesia bisa beralih ke BBG dan dapat mengurangi ketergantungannya
pada impor BBM dan minyak mentah.