Kamis, 27 Maret 2014

Suramnya Bisnis Bahan Bakar Gas di Indonesia

Tempo.co
Angan-angan pemerintah Indonesia untuk mengalihkan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG) tampaknya baru sebatas mimpi belaka. Pasalnya sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) mengeluhkan sulitnya pengembangan bisnis tersebut. Minimnya kendaraan yang menggunakan BBG tidak sebanding dengan investasi yang harus dirogoh dari kocek pengusaha. Akibatnya beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) terpaksa ditutup karena biaya operasional lebih besar dibandingkan dengan pemasukan alias tidak bisa balik modal.

Menurut pengusaha SPBG, biaya untuk mendirikan sebuah SPBG sangat tinggi, hingga tiga kali lipat dibandingkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk BBM. Misalnya investasi untuk satu buah dispenser BBG bisa mencapai Rp 1,5 miliar, dibandingkan dengan dispenser untuk BBM yang hanya Rp 500 juta. Dengan komponen-komponen lainnya, total pembangunan satu buah SBPG bisa mencapai Rp 3 miliar.

Pembangunan SPBG di Indonesia memang sangat lambat dan sangat memprihatinkan karena hingga saat ini jumlah SPBG yang ada hanya puluhan. Berbeda dengan Thailand yang berhasil dengan program konversi BBG karena memiliki 1.000 SPBG.

Terkendalanya penggunaan BBG bagi kendaraan ini tak lepas dari minimnya kendaraan yang mau mengkonsumsinya lantaran keterbatasan alat di mobilnya. Untuk dapat mengkonversi penggunaan BBM ke BBG, memang dibutuhkan sebuah alat yang bernama converter kit. Masalahnya untuk mendapatkan converter kit tersebut, seseorang harus memasangnya dengan mengggunakan uang pribadi. Dengan demikian banyak yang memilih untuk tidak memasang alat tesebut di mobilnya. Investor sendiri mengaku bersedia selama ada jaminan bahwa konsumsi BBG meningkat.

Dan untuk itu, dibutuhkan keseriusan pemerintah untuk memaksa produsen mobil untuk memasangkan conventer kit. Dengan demikian mau tidak mau konsumen dipaksa untuk menggunakan BBG.

Padahal sebenarnya pemerintah bisa menghemat subsidi sangat besar jika penggunaan BBG berhasil digalakkan. Hal ini terlihat dari harga jual per liter BBG hanyalah Rp 3.100 per liter, jauh lebih murah dibandingkan dengan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 6.500 per liter. Nah, konversi BBM ke BBG ini diharapkan dapat memotong subsidi BBM yang terus melonjak tajam, seiring dengan naiknya konsumsi sementara Indonesia masih harus mengimpor minyak dan tentu saja harga minyak yang terus meroket. Pemerintah memperkirakan Indonesia dalam sehari menghabiskan US$ 120 juta atau sekitar Rp 1,3 triliun untuk mengimpor minyak, nahkan diperkirakan angka tersebut melonjak jadi Rp 1,8 trilliun per hari pada 2019.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo mengaku pemerintah tengah menyusun surat keputusan bersama (SKB) sejumlah menteri yang mewajibkan kendaraan memakai dua bahan bakar yakni BBM dan BBG. Paling tidak pabrikan kendaraan diberi batas waktu maksimal dua tahun untuk memproduksi mobil dengan bahan bakar ganda. Keputusan tersebut diharapkan bisa keluar pada  tahun ini.

Meski demikian, kemungkinan besar kebijakan tersebut akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awal, mandatori bahan bakar ganda bisa dimulai dengan kendaraan jenis taksi dan angkutan umum terlebih dahulu, baru kemudian akan dikenakan pada kendaraan lainnya.

Selain itu, pemerintah sendiri berjanji untuk memberikan insentif untuk pengembangan bisnis BBG ke depannya. Insentif yang tengah dipikirkan adalah pembebasan pajak pertambahan nilai barang mewah seperti mobil murah, sehingga harga kendaraan berbahan bakar ganda sama dengan hanya memakai BBM.

Masalahnya pengembangan SPBG di Indonesia ini sebenarnya sudah lama terjadi. Dan tak hanya pada sebatas konsumsi BBG yang minim saja, melainkan juga infrastruktur yang tak kalah minim. Misalnya pipa distribusi yang sangat terbatas.

Saat ini kepemilikan pipa di Indonesia masih didominasi oleh BUMN Perusahaan Gas Negara (PGN). Namun sayangnya tidak semua pipa dapat diakses.

Akibatnya terdapat SPBG yang sebenarnya siap beroperasi, namun belum terealisasi karena menunggu izin pembukaan akses pipa gas.

Dengan demikian, mau tidak mau, campur tangan pemerintah untuk memberikan insentif dalam bisnis SPBG masih sangat dibutuhkan. Alangkah baiknya jika pemerintah memberikan paket insentif yang menarik agak seluruh investor dapat berlomba-lomba membangun pipa demi terwujudnya program konversi tersebut. Maklum saja, selama ini pemerintah dikenal pelit dalam memberikan insentif kepada investor sehingga mengakibatkan pembangunan infrastruktur jadi tersendat.


Pelitnya insentif ini tak hanya terjadi di bisnis hilir saja, melainkan juga di bisnis hulu, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas  bumi. Jadi, sekali lagi, berhasil tidaknya kebijakan penggunaan BBG ini ada di tangan pemerintah. Tanpa insentif yang memadai, jangan harap Indonesia bisa beralih ke BBG dan dapat mengurangi ketergantungannya pada impor BBM dan minyak mentah.

Kamis, 20 Maret 2014

Capres 2014: Pemberantasan Korupsi Lebih Penting Dari Investasi Asing?

Pencalonan Jokowi Widodo calon presiden Republik Indonesia dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memang masih menjadi buah bibir. Pasalnya setelah digadang-gadang selama ini akhirnya pendeklarasian itu pun diumumkan. Ibarat pucuk dicita ulam pun tiba.

Yang menarik, meski pencalonan tersebut sudah bisa diramalkan, namun ternyata beberapa lembaga survey, seperti misalnya Indikator telah melakukan polling mengenai pro dan kontra Jokowi sebagai calon presiden. Survey itu dilakukan jauh sebelum pendeklarasian Jokowi sebagai capres!

Apakah isi surveynya? Intinya mayoritas responden, sekitar 80% warga Jakarta,  memiliki penilaian yang positif terhadap Jokowi meski baru memimpin DKI Jakarta selama 1,5 tahun ini. Dalam laporannya, Indikator memaparkan bahwa poling tersebut kerja Jokowi dinilai positif dalam penanggulangan banjir. Meski dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, kerja Jokowi dinilai negative.

Masih dalam laporan tersebut, ternyata Jokowi unggul dengan mengantongi 41.5% dukungan dibandingkan dengan calon-calon presiden lainnya, seperti Prabowo (16.3%), Wiranto (9.8%), Aburizal Bakrie (8.8%), Megawati (6.6%) dan Dahlan Iskan (2.5%). Dari seluruh responden yang ada, masih terdapat sekitar 14.6% yang masuk dalam massa mengambang (floating mass) karena belum menentukan pilihan.

Hasil polling yang menarik lainnya adalah harapan-harapan para responden terhadap calon-calon presiden periode 2014-2019. Isu memberantas korupsi unggul karena bertengger di top list. Selain itu harapan-harapan lainnya adalah menciptakan lapangan kerja, mengendalikan harga pokok, penghapusan utang luar negeri, pemerataan pendapatan, mencegah masuknya barang dan pekerja dari luar negeri, melindungi alam Indonesia dari kehancuran akibat usaha. Jokowi dianggap dapat menjawab harapan-harapan itu, meski sesungguhnya dua isu terakhir adalah misi utama yang sering didengungkan dalam kampanye Prabowo.

Yang patut digarisbawahi dalam hasil polling ini adalah isu nasionalisme melalui ‘mencegah masuknya barang dan pekerja dari luar negeri’. Ternyata apa-apa yang berbau luar negeri masih dianggap musuh bagi segelintir orang. Ironis, karena di era globalisasi ini aspek persaingan bebas antar bangsa, antar negara dan antar individu dalam segala aspek kehidupan, terutama disektor ekonomi sangat terbuka. Dan lagi tidak selamanya barang impor dan juga ekspatriat itu jelek. Memang saat ini ketergantungan Indonesia terhadap impor sangat tinggi, bahkan untuk urusan beras dan bawang saja negara ini masih harus mengimpor dari negara lain. Miris dan ironis memang, mengingat Indonesia adalah negara agrikultur, dimana pertanian masih menjadi pendapatan utama di sejumlah daerah.

Namun di sisi lain, kita masih sangat membutuhkan beberapa barang-barang yang hanya bisa didapat melalui keran impor, misalnya mobil atau barang elektronik lainnya yang belum dapat diproduksi industri dalam negeri. Jadi jika bicara ingin membatasi barang impor tentunya harus dipilah-pilah mana yang masih dibutuhkan dan mana yang tidak.

Lain lagi dengan ekspatriat. Lagi-lagi keberadaan mereka masih dibutuhkan di negeri ini. Ada beberapa bidang usaha yang masih memerlukan sentuhan tangan asing, misalnya saja industri minyak dan gas. Tak dapat dipungkiri, sejumlah teknologi hanya dapat dikuasai oleh tenaga asing. Jadi mau tidak mau, Indonesia masih membutuhkannya. Dan lagi adanya ekspatriat ini merupakan hal jamak di berbagai negara lainnya.

Kembali ke hasil polling di atas. Kesimpulan menarik lainnya dari hasil polling tersebut adalah tiadanya harapan untuk memperbaiki iklim investasi usaha untuk menarik investasi asing. Kondisi  ini sanga berbanding terbalik dengan kondisi adanya keingininan untuk menambah lapangan kerja. Tampaknya investasi asing masih belum mendapatkan perhatian penuh dari masyarakat. Lagi-lagi karena asing dianggap sebagai ‘penjajah’ yang tak diinginkan, dianggap serakah menguasai negeri ini, dan lain sebagainya.

Bagaimanapun investasi asing sangat dibutuhkan. Misalnya lagi-lagi di industri migas. Untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi saja, perusahaan migas asing harus membelanjakan modal sekitar milliaran dollar AS per tahunnya. Itu baru untuk satu lapangan. Indonesia Petroleum Association mencatat selama tahun 2013, investasi dari bidang usaha migas mencapai $23 miliar dan berhasil menyumbangkan pendapatan ke kas negara sebesar US$32 miliar.  

Apalagi kini, wilayah kerja migas nasional sudah mengarah ke remote area dan laut dalam yang notabene membutuhkan biaya yang berkali-kali lipat lebih besar. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral melansir biaya yang harus dirogoh dari kocek investor dalam kegiatan eksplorasi tersebut. Misalnya untuk menemukan satu sumber gas baru di darat atau onshore, diperlukan investasi minimal US$ 30 juta atau sekitar Rp 300 miliar. Sementara untuk mengebor sumur gas baru di tengah laut atau offshore, diperlukan dana minimal US$ 100 juta atau setara Rp 1 triliun. Suatu angka yang fantastis, mengingat investor belum tentu menemukan cadangan hidrokarbon yang ekonomis. 

Apakah perusahaan nasional bisa melakukannya? Melakukan eksplorasi dengan resiko uang hilang jika tidak ditemukan cadangan apapun? Dan lagi, ada banyak pekerja lokal yang diikutsertakan dalam setiap pengelolaan wilayah kerja migas. Total E&P Indonesie sendiri tercatat memiliki puluhan ribu karyawan berwarganegara Indonesia dalam mengelola Blok Mahakam di Kalimantan Timur.


Kembali ke soal Jokowi, asa dan harapan pada calon pemimpin masa depan ini sangat besar. Dan harapan itu tak sebatas hanya disampaikan oleh responden yang berpartisipasi pada polling itu saja. Masih ada bagian masyarakat lain yang berharap pemerintah baru nanti dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga dapat menarik investasi asing. Kini belum saatnya Indonesia lepas 100 persen dari sentuhan tangan asing. Suka tidak suka, kita harus realistis dan berdamai dengan keadaan itu.

Kamis, 13 Maret 2014

Irak Siap Bantu Indonesia Bangun Kilang, ‘Gula-Gula’ atau Janji Nyata?

republika
Angin segar sedang berhembus segar di Indonesia. Pasalnya awal pekan ini Irak menyatakan kesediaannya untuk ikut membangun kilang baru di Indonesia sekaligus menyiapkan pasokan minyak sebesar 300.000 barel per hari selama 20 tahun. Suatu langkah awal yang menarik.

Tak sia-sia lobby pemerintah Indonesia. Setelah sibuk melakukan lobi-lobi akhirnya pada awal pekan ini melalui pertemuan bilateral Indonesia-Irak di Bali, negara Timur Tengah itu menyatakan kesanggupannya untuk memasok minyak mentah untuk proyek kilang di Indonesia. Tak hanya itu, Irak juga bersedia ikut berpartisipasi untuk memiliki saham di proyek kilang tersebut. Berita ini ibarat pucuk dicita ulam pun tiba. Berita seperti inilah yang ditunggu-tunggu pemerintah karena Indonesia secara perlahan mulai mengalami krisis energi. Jadi mau tidak mau pembangunan kilang domestic harus dilakukan karena sifatnya sudah mendesak.

Namun akankah menjadi kenyataan? Atau hanya menjadi gula-gula pemerintah yang akan berakhir pada Oktober ini atau menjadi kenyataan? Yang pasti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jeo Wacik mengatakan, pemerintah menargetkan ground breaking kilang atau perjanjian kesepakatan bisa diperoleh sebelum Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua berakhir pada tahun ini.

Pemerintah memang tengah mengais-ais investor untuk membantu membangun kilang di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik. Bagaimanapun langkah ini masih lebih murah ketimbang melakukan impor. Pada bulan lalu pemerintah melakukan road show ke Singapura untuk mencari investor tersebut.

Maklum saja, sejak 1998 ketika Presiden Suharto meresmikan proyek kilang Balongan sebesar 125.000 barrel per hari, Indonesia tidak lagi memiliki kilang baru. Sementara konsumsi BBM terus meningkat sebesar sembilan persen per tahun, namun tidak dibarengi dengan tingkat supply yang memadai.

Dalam pertemuan di Singapura itu pemerintah berjanji untuk menyediakan lahan kosong seluas 700 meter di Bontang, Kalimantan Timur. Sengaja dipilih di lokasi tersebut karena wilayah tersebut sudah memilik infrastruktur yang baik. Pemerintah juga berjanji memberikan insentif pajak selama tidak bertentangan dengan undang-undang.

Setidaknya pertemuan awal tersebut berhasil menjaring enam investor yang menyatakan tertarik. Investor yang tertarik itu berasal dari Jepang dan Inggris.

Sementara perusahaan swasta Kreasindo Resources Indonesia juga telah mendapatkan komitmen dari perusahaan asal Iran Nakhle Barani Pardis. Keduanya akan membangun kilang sebesar 150.000 barrel per hari. NBP berkomitmen untuk memasok minyak jenis berat sebesar 20.000 hingga 300.000 barel minyak mentah per hari. Kilang tersebut diharapkan mulai dibangun tahun 2015 dan diperkirakan 2018 sudah bisa beroperasi. Lokasi kilangnya antara di Banten atau Jawa Barat. Nilai investasi mencapai US$3 miliar.

Sejumlah pengamat meragukan hal tersebut. Pasalnya selama ini permasalahan kilang bermuara dari pemerintah sendiri. Kementrian Keuangan dinilai sangat rigid, enggan memberikan insentif bagi pembangunan kilang. Padahal proyek pembangunan kilang itu memiliki margin yang sedikit, tanpa adanya sweetener atau gula-gula ataupun insentif dari pemerintah, maka mustahil proyek itu bisa berjalan. Hal ini bisa terlihat dari mundurnya Saudi Aramco dan Kuwait Petroleum dalam proyek pembangunan kilang di Indonesia. Insentif yang diajukan kedua perusahaan itu ditolak mentah-mentah oleh Kementrian Keuangan karena dianggap berlebihan.

Padahal tanpa insentif tersebut, maka mustahil investor dapat mengantongi profit. Dan lagi apalah artinya incentive ketimbang Indonesia harus bergantung impor seumur hidup. Tapi kenyataannya, pemerintah lebih sering melihat sesuatu dari perspektif jangka pendek ketimbang jangka panjan. Inilah celakanya!

Sementara komitmen investasi dari Iran juga diragukan keberhasilannya mengingat Iran masih mendapatkan sanksi dari Amerika Serikat. Tanpa dicabutnya sanksi tersebut makan akan sulit bagi Indonesia untuk menjalin kerjasama, apalagi mendapatkan pasokan minyak mentah. Beberapa tahun yang lalu Elnusa –anak perusahaan Pertamina- juga pernah menjalin kerjasama dengan NIORDC untuk membangun kilang di Banten dengan kapasitas 300.000 barrel per hari. Namun proyek itu kandas di tengah jalan tanpa jelas alasannya. Meski tidak diberikan secara jelas, namun sudah pasti itu erat kaitannya dengan sulitnya Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan Iran.


Kini, keputusan ada di tangan pemerintah. Apakah ingin pengembangan proyek energy mandek karena tidak bersedia mengabulkan tax holiday? Atau bersedia memberikan insentif, namun pengembangan proyek migas, baik hulu maupun hilir, dapat terlaksana? Apapun jawabannya, rasanya sulit pemerintah sekarang dapat mengabulkan hal tersebut. Waktu kerja yang tinggal sedikit akan sulit bagi kedua pihak untuk mencapai kesepakatan dalam waktu dekat. Jadi rasa-rasanya kita harus menunggu pemerintah baru untuk menjawab permasalahan krisis energi Indonesia.


Senin, 10 Maret 2014

Pengembangan Blok Masela Tunggu Keputusan Pemerintah Indonesia

Investasi sebesar US$ 14 miliar dari perusahaan Jepang, Inpex, di Blok Masela terancam tertunda jika pemerintah Indonesia tidak segera memberi keputusan terkait status perpanjangan Kontrak Kerja Sama (KKS) tersebut. Kondisi yang sangat ironis, di tengah kondisi Indonesia yang berhutang ribuan triliun rupiah dan di satu sisi tengah berjuang meningkatkan produksi migas nasional.

Satu lagi kasus perpanjangan KKS yang mencuat di permukaan, yaitu Blok Masela. Padahal blok ini memiliki cadangan yang cukup besar, hampir menyamai proyek gas alam cair (liquefied natural gas) Tangguh di Papua. Akibatnya lamanya keputusan pemerintah, bisa jadi proyek ini molor dari rencana semula yang diharapkan on stream pada 2018. Tak hanya itu, Inpex bisa jadi juga mengevaluasi rencana pengembanganya jika keputusan perpanjangan tidak segera diberikan.

Inpex yang menjadi operator Blok Masela, telah mengajukan perpanjangan kontrak selama 20 tahun dari sebelumnya berakhir 2028 menjadi 2048. Alasannya, Masela diperkirakan baru berproduksi 2018 atau hanya 10 tahun sebelum kontrak berakhir 2028, sehingga belum cukup mengembalikan investasi US$14 miliar tersebut.

Perpanjangan tersebut telah diajukan oleh pihak Inpex sejak lama. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas menyebutkan, permohonan perpanjangan kontrak kerja sama dapat disampaikan paling cepat 10 tahun dan paling lambat dua tahun sebelum kontrak berakhir. Namun pemerintah belum dapat mengabulkan permintaan perpanjangan tersebut karena takut menyalahi undang-undang.

Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edy Hermantoro, perpanjangan tersebut bisa dilakukan selama Inpex telah memiliki kepastian pelanggan melalui penandatanganan perjanjianjual beli gas (gas sales agreements) terlebih dahulu. Pasalnya, masih menurut Edy, PP Hulu Migas tersebut juga menyebutkan, kewajiban PJBG itu. Jika kontraktor telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas bumi, maka dapat mengajukan perpanjangan kontrak lebih cepat dari batas waktunya.
Entah dimana kendalanya saat ini yang pasti kasus perpanjangan Blok Masela masih buntu dan jauh dari selesai. Sementara waktu terus berjalan.

Blok Masela terletak di lepas pantai Laut Arafura sekitar 155 km arah barat daya Kota Saumlaki yang berbatasan langsung dengan Australia dan Timor Leste. Rencana pengembangan (plan of development/POD) Masela disetujui pemerintah pada Desember 2010 atau 12 tahun setelah kontrak ditandatangani pada November 1998. Sesuai proposal rencana pengembangan, Blok Masela direncanakan memproduksi gas 355 juta kaki kubik (MMSCFD) dan kondensat 8.400 barel per hari.

Inpex akan membangun kilang LNG terapung (floating LNG plant) berkapasitas 2,5 juta ton per tahun. Saat ini, hak partisipasi Masela dimiliki Inpex Masela Ltd yang sekaligus bertindak sebagai operator sebesar 65 persen dan Shell Corporation 35 persen.

Inpex tidak sendiri. Kasus perpanjangan kontrak migas masih menjadi momok nomer satu di negeri ini. Sejumlah kontrak kerja sama (KKS) mengalami ketidakpastian akibat terbentur dengan kepastian perpanjangan dari pemerintah. Sebut saja Mahakam dioperatori perusahaan Perancis Total E&P Indonesie bersama dengan –lag-lagi- Inpex. Kontak blok tersebut akan berakhir pada 2017 dan kedua perusahaan itu telah mengajukan perpanjangan blok sejak tahun 2008. Namun hingga kini tidak ada kepastian mengenai perpanjangan.

Jika memang perpanjangan Kontrak Kerja Sama bisa diberikan –dan peluangnya semakin lebar- jika suatu perusahaan telah memiliki perjanjian jual beli gas, lalu mengapa pemerintah tidak bisa menerapkannya pada Mahakam?

Keberadaan Mahakam dalam perekonomian Indonesia juga sangat signifikan. Produksinya masih di kisaran 1,7 miliar kaki kubik per hari. Dan Total saat ini menyuplai 80% kebutuhan gas kilang LNG Bontang yang sebagian besar didedikasikan untuk ekspor ke negara Asia. Berdasakan kontrak, Bontang memiliki kewajiban untuk memasok LNG pada konsorsium pembeli Jepang. Para pembeli Jepang itu antara lain, Kansai Electric Power Company, Kyushu Electric Power Company, Chubu Electric Power Company, Osaka Gas, Toho Gas Company, dan Nippon Steel.

Awalnya, Jepang meminta 25 juta ton per tahun dalam perpanjangan kontrak jual beli gas yang habis pada tahun 2010 tersebut -diambil dari Kilang Arun dan Bontang-. Namun, kebutuhan dalam negeri meningkat pesat, sehingga Indonesia hanya bisa memenuhi 3 juta ton per tahun selama 2010-2014 dan 2 juta ton per tahun selama 2015-2019. Harga gas alam cair (Liquified Natural Gas) dari Kilang Bontang, Kalimantan Timur untuk perpanjangan ekspor ke Jepang lebih dari US$ 18 per mmbtu, dengan asumsi harga minyak mentah US$ 110.


Dengan adanya kepastian pembelian hingga tahun 2018, dengan harga yang bagus pula, tentunya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memperpanjang Blok Mahakam. Dan mengingat bagaimana signifikannya arti Mahakam bagi roda perekonomian negeri ini, sebaiknya pemerintah berhati-hati dalam menyikapi penentuan operator di blok tersebut. Jangan sampai produksinya merosot karena ada pengalihan operatorship. Bisa dibayangkan, jikalau produksi Mahakam merosot tajam pasca pengalihan, akan berapa besar kerugian yang dirasakan pemerintah. Ujung-ujungnya Indonesia juga yang akan rugi.