Lagi, dunia investasi migas nasional Indonesia
tercoreng. Kali ini, perusahaan kelas dunia Chevron yang kena getahnya. Pekan
lalu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis tiga karyawan Chevron Pacific
Indonesia (CPI) dengan hukuman dua tahun penjara dan sejumlah denda dengan
kisaran Rp 100-200 juta, terkait kasus bioremediasi. Sejumlah pelaku industry
migas menilai kasus ini merupakan tindak kriminalisasi terhadap perusahaan
migas dan bisa mengancam investasi dalam jangka pendek hingga panjang.
Adakah yang salah dengan putusan Pengadilan
Tipikor? Sebagai orang awam, saya menilai kasus ini agak aneh dan bisa jadi
preseden yang buruk bagi dunia migas kita. Jelas-jelas yang memberikan
keputusan adalah: Pengadilan Tipikor, tapi dakwaannya semua dikaitkan dengan
kasus lingkungan. Lalu dimana tindak korupsinya?
Kalau dibilang proyek tersebut merugikan negara
karena sistem PSC kita yang menggunakan sistem cost recovery, lalu
dimanakah kerugiannya? Pasalnya SKK Migas menyatakan bahwa negara belum
mengeluarkan sesen rupiah pun untuk proyek ini. Cost untuk proyek ini masih
dihold.
Asosiasi Perminyakan Indonesia atau Indonesian
Petroleum Association langsung melayangkan keprihatinannya atas keputusan
tersebut. IPA menegaskan kepastian hukum dan regulasi sangat diperlukan untuk
menciptakan iklim investasi dan produksi yang stabil. Sementara keputusan
pengadilan dinilai telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi para anggota IPA
karena dalam proses peradilan, dua institusi pemerintah yaitu Kementrian
Lingkungan Hidup (KLH) dan SKK Migas menyatakan bahwa proyek Bioremediasi yang
dilakukan oleh Chevron adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
“Keputusan pengadilan tersebut akan memberikan
konsekuensi yang luas bagi industri migas dan berdampak negatif terhadap iklim
investasi di Indonesia, di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan investasi
guna menjaga produksi migas yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia,”
kata IPA.
Kriminalisasi KKS merupakan perkembangan yang
sangat mengkhawatirkan bagi para pelaku industri migas, baik perusahaan
nasional maupun multinasional, dan telah menimbulkan kecemasan yang
tinggi di kalangan pekerja Kontraktor KKS sehingga dapat menyulitkan dan
menurunkan efektifitas operasi migas di Indonesia, tegasnya.
Memang sangat ironis vonis tersebut dilakukan di
tengah usaha pemerintah untuk menggenjot produksi migas ke level 1 juta barel
per hari. Dan lagi, hingga saat ini Chevron masih tercatat sebagai perusahaan
migas yang memproduksi minyak terbesar dari daerah operasinya di Sumatra.
Chevron memproduksi sekitar 300,000-an barrel per hari hingga saat ini.
Menurut saya yang lagi-lagi awam, alangkah baiknya
seluruh instansi di negara ini memiliki kesepahaman yang sama mengenai
target-target pemerintah. Jangan sampai ego sektoral malah merugikan sektor
lainnya. Untuk saat ini, tanpa kasus keputusan bioremediasi ini, sudah banyak
masalah yang dihadapi oleh industi migas yang dinilai sebagai disinsentif bagi
investasi migas dan kontraproduktif bagi target produksi pemerintah.
Twitter: @chandrawinata83
Facebook: chandrawinata83
Captions Foto:
1. Tribunnews.com 2. Whatindonews.com