Pertamina
harus bekerja keras untuk mengejar Petronas, terutama di sektor hulu minyak dan
gas bumi. Jika memang perusahaan plat merah ini masih mengejar target untuk
menjadi perusahaan energi kelas dunia dengan produksi sebesar 2,2 juta barrel
setara minyak per hari pada tahun 2025, maka langkah pertama yang harus
ditempuh adalah mengalahkan Petronas.
Sejarah
mengatakan bahwa Pertamina adalah soko guru dari Petronas. Perusahaan asal
Malaysia itu banyak belajar dari Pertamina, terutama dalam mengadopsi kontrak
bagi hasil (production sharing contract).
Itu beberapa puluh tahun yang lalu. Namun nyatanya 'sang murid' kini berlari
lebih kencang dibandingkan 'sang murid."
Dan
kini, dalam Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) Pertamina mencanangkan bisa
bersaing di tingkat regional pada 2018. Pada tahun itu, Pertamina bisa sekelas
Petronas dan sejumlah perusahaan minyak besar di Asia Tenggara.
Memang
harus diakui, selama ini Pertamina tampaknya lebih disibukkan dengan urusan
dalam negeri, seperti misalnya masalah kewajiban untuk mendistribusikan bahan
bakar minyak ke pelosok dengan profit minim sementara di satu sisi juga
dituntut untuk menyetorkan dividen untuk negara. Akibatnya? Tentu saja
konsentrasi untuk melakukan ekspansi bisnis di industri hulu mau tidak mau,
sedikit banyak juga terpengaruh. Fokus korporasi terpecah.
Mantan Menteri BUMN Tantri Abeng mencatat bahwa
laba bersih Petronas bisa mencapai US$ 20 miliar pada tahun 2014. Keuntungan
ini mengalahkan gabungan laba 138 BUMN Indonesia saat ini yang mencapai US$ 13,5
miliar. Keunggulan Petronas bukan tanpa alasan. Pemerintah Malaysia memberi
kebebasan BUMN-nya di dalam menjalankan aksi korporasi global. Wajar saja,
perusahaan sekelas Petronas berani dan bisa beroperasi di puluhan negara. Dan
lagi, BUMN Malaysia itu miliki asset 4 kali lipat Pertamina!
Sebagai gambaran saja, Petronas sudah masuk ke
Indonesia sejak 2003. Saat ini perusahaan tersebut mengelola sembilan blok migas di Indonesia. Tiga di antaranya menjadi
operator, sedangkan sisanya kerja sama operasi.Adapun blok migas yang dikelola
Petronas sebagai operator yakni Blok Ketapang di Jawa Timur, Blok Muria di Jawa
Tengah dan Glagah Kambuna di Sumatera. Memang tak di semua blok, Petronas
memegang saham 100 persen. Misalnya saja di Glagah Kambuna dimana Petronas
hanya memegang saham sebesar 40 persen dan sisanya dimiliki Pertamina.
Bagaimana dengan Pertamina? Hingga saat ini
Pertamina hanya memiliki satu buah blok di Malaysia, yakni Blok SK 305. Blok
itupun miskin hidrokarbon sehingga tidak ekonomis untuk dilanjutkan. Sementara
di blok-blok lain di luar negeri, portfolio Pertamina memang belum banyak.
Itulah sebabnya Pertamina harus melakukan ekspansi
besar-besaran untuk mencapai targetnya tersebut. Mengingat sumber daya migas
domestik yang semakin sedikit, mau tak mau memang Pertamina harus menjadikan
kegiatan ekspansi sebagai kegiatan pertama untuk menopang produksi perseroan.
Sementara kegiatan di dalam negeri yang sudah tipis
harapannya, Pertamina dapat menggandeng mitra lainnya yang potensial, seperti
misalnya Total di Blok Mahakam. Percayalah, sharing
the pain adalah mekanisme yang sudah banyak dilakukan perusahaan-perusahaan
migas handal di dunia ini. Jadi tak ada salahnya Pertamina memiliki mitra di
Mahakam.
Selain itu, tentu saja keberpihakan pemerintah
sangat diperlukan. Misalnya dengan membebaskan dividen bagi Pertamina agar
dapat melakukan ekspansi dengan serius dan juga memberikan keistimewaan-keistimewaan
lainnya seperti yang dilakukan pemerintahan Malaysia kepada Petronas. Dengan
usaha semua pihak, bukan mustahil sang guru akan kembali berlari ke arena
terdepan mengalahkan sang murid.