Rabu, 25 Februari 2015

Membandingkan Kiprah Pertamina Vs Petronas di Sektor Hulu Migas

Pertamina harus bekerja keras untuk mengejar Petronas, terutama di sektor hulu minyak dan gas bumi. Jika memang perusahaan plat merah ini masih mengejar target untuk menjadi perusahaan energi kelas dunia dengan produksi sebesar 2,2 juta barrel setara minyak per hari pada tahun 2025, maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengalahkan Petronas.

Sejarah mengatakan bahwa Pertamina adalah soko guru dari Petronas. Perusahaan asal Malaysia itu banyak belajar dari Pertamina, terutama dalam mengadopsi kontrak bagi hasil (production sharing contract). Itu beberapa puluh tahun yang lalu. Namun nyatanya 'sang murid' kini berlari lebih kencang dibandingkan 'sang murid."

Dan kini, dalam Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) Pertamina mencanangkan bisa bersaing di tingkat regional pada 2018. Pada tahun itu, Pertamina bisa sekelas Petronas dan sejumlah perusahaan minyak besar di Asia Tenggara.

Memang harus diakui, selama ini Pertamina tampaknya lebih disibukkan dengan urusan dalam negeri, seperti misalnya masalah kewajiban untuk mendistribusikan bahan bakar minyak ke pelosok dengan profit minim sementara di satu sisi juga dituntut untuk menyetorkan dividen untuk negara. Akibatnya? Tentu saja konsentrasi untuk melakukan ekspansi bisnis di industri hulu mau tidak mau, sedikit banyak juga terpengaruh. Fokus korporasi terpecah.

Mantan Menteri BUMN Tantri Abeng mencatat bahwa laba bersih Petronas bisa mencapai US$ 20 miliar pada tahun 2014. Keuntungan ini mengalahkan gabungan laba 138 BUMN Indonesia saat ini yang mencapai US$ 13,5 miliar. Keunggulan Petronas bukan tanpa alasan. Pemerintah Malaysia memberi kebebasan BUMN-nya di dalam menjalankan aksi korporasi global. Wajar saja, perusahaan sekelas Petronas berani dan bisa beroperasi di puluhan negara. Dan lagi, BUMN Malaysia itu miliki asset 4 kali lipat Pertamina!

Sebagai gambaran saja, Petronas sudah masuk ke Indonesia sejak 2003. Saat ini perusahaan tersebut mengelola sembilan blok migas  di Indonesia. Tiga di antaranya menjadi operator, sedangkan sisanya kerja sama operasi.Adapun blok migas yang dikelola Petronas sebagai operator yakni Blok Ketapang di Jawa Timur, Blok Muria di Jawa Tengah dan Glagah Kambuna di Sumatera. Memang tak di semua blok, Petronas memegang saham 100 persen. Misalnya saja di Glagah Kambuna dimana Petronas hanya memegang saham sebesar 40 persen dan sisanya dimiliki Pertamina.

Bagaimana dengan Pertamina? Hingga saat ini Pertamina hanya memiliki satu buah blok di Malaysia, yakni Blok SK 305. Blok itupun miskin hidrokarbon sehingga tidak ekonomis untuk dilanjutkan. Sementara di blok-blok lain di luar negeri, portfolio Pertamina memang belum banyak.

Itulah sebabnya Pertamina harus melakukan ekspansi besar-besaran untuk mencapai targetnya tersebut. Mengingat sumber daya migas domestik yang semakin sedikit, mau tak mau memang Pertamina harus menjadikan kegiatan ekspansi sebagai kegiatan pertama untuk menopang produksi perseroan.

Sementara kegiatan di dalam negeri yang sudah tipis harapannya, Pertamina dapat menggandeng mitra lainnya yang potensial, seperti misalnya Total di Blok Mahakam. Percayalah, sharing the pain adalah mekanisme yang sudah banyak dilakukan perusahaan-perusahaan migas handal di dunia ini. Jadi tak ada salahnya Pertamina memiliki mitra di Mahakam.

Selain itu, tentu saja keberpihakan pemerintah sangat diperlukan. Misalnya dengan membebaskan dividen bagi Pertamina agar dapat melakukan ekspansi dengan serius dan juga memberikan keistimewaan-keistimewaan lainnya seperti yang dilakukan pemerintahan Malaysia kepada Petronas. Dengan usaha semua pihak, bukan mustahil sang guru akan kembali berlari ke arena terdepan mengalahkan sang murid.


Selasa, 24 Februari 2015

Menanti Keputusan Pemerintah Terkait Mahakam

Dalam hitungan hari, jika tidak ada aral melintang, pemerintah akan segera membuat keputusan terkait pengelolaan Mahakam. Targetnya segala sesuatunya bisa selesai pada media Februari ini, setelah pemerintah mendapatkan proposal dari Pertamina. Lalu bagaimanakah solusi terbaik yang sebaiknya diambil pemerintah?

Masalah Mahakam ini memang tergolong unik. Mengapa? Jelas unik, pasalnya proposal perpanjangan blok yang diajukan perusahaan asal Perancis, Total, sejak tahun 2008 tampaknya tidak digubris sama sekali. Padahal Total telah secara gamblang menjelaskan seluruh rencananya terkait pengelolaan Blok Mahakam pasca kontrak bagi hasil (production sharing contract) usai pada tahun 2017. Bahkan Total secara jelas pula telah berkomitmen untuk menggelontorkan investasi sebesar US$ 7,3 miliar untuk mengelola Mahakam jika pemerintah memperpanjang kontrak PSCnya.

Namun apa daya, pemerintah akhirnya memutuskan Pertamina yang berhak untuk mengelola Mahakam. Dan Pertamina diminta untuk memberikan proposal mengenai pengelolaan Mahakam pada bulan ini. Pertamina sendiri berharap seluruh proses internal Pertamina dan persetujuan seluruh komisaris segera selesai agar dapat segera mengajukan ke pemerintah.

Proposal pengelolaan Blok Mahakam yang dibuat oleh perseroan sendiri berisi aspek kesiapan teknis, ekonomis dan organisasi pengelola blok migas yang berada di Kalimantan Timur itu. Pertamina sendiri siap bermitra dengan pihak mana saja, termasuk Total E&P Indonesie.

Pertamina sendiri telah menganggarkan dana sebesar US$ 1 miliar per tahun dalam mengelola Mahakam. Untuk mendapatkan dana tersebut, Pertamina menjajaki pinjaman dari sejumlah perbankan. Memang tak dapat dipungkiri, akan sangat sulit bagi perusahaan nasional untuk mendapatkan dana sebesar itu. Total sendiri menghabiskan dana sekitar US$ 2,5 miliar per tahunnya untuk mengelola Mahakam. Dengan dana tersebut, maka produksi Mahakam bisa dipertahankan di sekitar level 1,7 miliar kaki kubik per hari. Nah tentu saja, dengan laju penurunan alamiah yang semakin naik, maka dana investasi yang diperlukan dalam pengelolaan Mahakam seharusnya tidak mungkin kurang dari angka US$ 2 miliar.

Disinilah perlunya Pertamina menggandeng Total. Selain dibutuhkan untuk menggelontorkan dana yang dibutuhkan untuk kesinambungan produksi Mahakam, pengalaman dan teknologi yang dimiliki Total juga sangat diperlukan.

Bagaimana dengan kemungkinan keterlibatan Pemerintah Daerah Kalimantan Timur? Memang bukan mustahil. Namun pemerintah harus memastikan bahwa pemda benar-benar memiliki uang untuk mengelola Mahakam yang benar-benar keluar dari koceknya sendiri, bukan dari pihak swasta lainnya.

Toh ini sudah sejalan dengan statement Plt Dirjen Migas Kemen­terian ESDM I.G.N. Wiratmadja yang mengatakan, pemerintah menginginkan pemda tidak melibatkan pihak swasta untuk mengelola saham di Blok Mahakam agar benar-benar daerah yang dapat.


Kini, keputusan pengelolaan Blok Mahakam ada di tangan pemerintah. Tentunya kita berharap pemerintah akan bersikap obyektif atas keputusannya. Pasalnya apapun keputusan itu, dampaknya akan sangat terasa hingga setidaknya 20 tahun mendatang. Jika Mahakam tidak ditangani dengan baik, maka jangan pernah berharap lagi bahwa blok itu masih akan menjadi blok gas dengan produksi terbesar di Indonesia. Konsekuensinya, pemerintah harus siap dengan penurunan pendapatan di APBN dari sektor gas.

Kamis, 12 Februari 2015

Ketegangan Jokowi-PDIP dan Implikasinya Terhadap Investasi

Situasi politik di Indonesia akhir-akhir ini sangat tidak kondusif. Para elite politik sibuk sendiri dengan berbagai kepentingannya. Padahal di sisi lain Indonesia sedang membutuhkan dana segar karena perkiraan kebutuhan investasi yang mencapai Rp 5.452 triliun pada kurun 2015-2019 di sektor infrastruktur. Ironis sekali bukan?

Kabinet Kerja baru seumur jagung, baru saja berumur empat bulan. Namun sangat aneh jika PDIP yang notabene adalah pengusung Joko Widodo sebagai presiden malah mengingkan adanya reshuffle kabinet terhadap 'Trio Singa' yaitu Luhut Panjaitan, Rini Soemarno, dan Andi Widjajanto.

Dorongan reshuffle terhadap 'Trio Singa' bermula dengan isu adanya orang Istana yang menjadi penghubung komunikasi antara Jokowi dengan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Meskipun ada hal lain yang disembunyikan yakni tentang asal muasal ketiga orang itu jadi menteri yang konon tanpa restu Megawati.

Hubungan Istana dengan PDIP memang tengah tak harmonis. Sejumlah manuver Presiden Jokowi dan pembantunya disebut membuat gerah Teuku Umar. Puncaknya adalah ketika Istana memutuskan untuk menunda pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI.

Tak sedikit orang yang garuk-garuk kepala melihat konstelasi perpolitikan ini. Bagaimana mungkin mereka sibuk sendiri, bergulat dengan kepentingan mereka sendiri sementara begitu banyak masalah yang dihadapi negeri ini.

Tak dapat dipungkiri, ada deretan masalah yang harus dituntaskan Jokowi. Banyak harapan yang bertumpu pada Jokowi untuk dapat menyelesaikannya mengingat Susilo Bambang Yudhoyono dinilai terlalu ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Gebrakan Jokowi memang sudah dinanti-nanti banyak masyarakat.

Di industri migas sendiri, ada sejumlah masalah yang harus segera dituntaskan untuk meningkatkan iklim investasi. Misalnya masalah cost recovery yang dipatok di APBN yang dianggap mengganggu investor dalam menjalankan kegiatan migas. Ada juga soal perpanjangan kontrak migas. Saat ini banyak blok-blok migas yang menanti kepastian pemerintah, misalnya Blok Mahakam, Blok Masela, dan blok-blok lainnya. Padahal kedua blok tersebut akan sangat memberikan kontribusi yang signifikan pada APBN.

Saat ini kita membutuhkan sosok presiden yang benar-benar bisa memberikan kemakmuran bagi rakyat Indonesia dengan cara yang rasional. Dan cara nasionalisasi asset migas bukanlah cara yang rasional karena ujung-ujungnya Indonesia juga yang akan dirugikan. Sosok presiden idaman adalah ia yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan iklim investasi dan dapat mengundang banyak investor untuk berinvestasi di Indonesia. Tujuan utamanya adalah bagaimana kegiatan eksplorasi di negara ini dapat ditingkatkan. Tanpa eksplorasi maka Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak permanen. Ini lah yang harus diwaspadai.


Inilah yang harus disadari oleh para elite politik di negeri ini. Kepentingan masyarakat adalah prioritas, sementara kepentingan partai adalah nomer kesekian. Dan Jokowi sendiri juga harus ingat pada Manuel L. Quezon, Presiden ke-2 Philipina, "Pengabdianku pada partai berakhir saat pengabdianku pada negara dimulai."

Selasa, 03 Februari 2015

Bahaya, Total dan BP Mulai Tinggalkan Blok Eksplorasi di Indonesia

Sejumlah blok eksplorasi migas di Indonesia mulai ditinggalkan investor. Setidaknya Total dan BP berencana akan mengembalikan blok-blok eksplorasi yang tengah digarapnya. Jika ini berlarut-larut tentu saja akan membahayakan posisi produksi Indonesia di masa mendatang.

Tingginya harga minyak membuat sejumlah perusahaan menghitung ulang biaya investasinya. Termasuk diantaranya memangkas pengeluaran yang dinilai tidak ekonomis dan tentu saja proyek yang dianggap hanya akan memakan investasi besar, seperti eksplorasi. Inilah yang menyebabkan dua perusahaan migas raksasa BP dan Total mengembalikan tiga blok migas kepada pemerintah (relinquish) dengan alasan tidak ekonomis.

Total baru-baru ini me-reliquish Blok South West Bird's Head di Papua. Sementara BP melakukan hal serupa pada blok West Aru I dan II di Laut Arafura di Papua. Ketiga blok tersebut terletak di laut dalam yang tentu saja membutuhkan banyak biaya. Tentu ini merupakan alarm buat pemerintah.

Lepas adanya dugaan bahwa itu terjadi karena tekanan harga minyak, namun pemerintah harus mulai mawas diri. Bisa dibayangkan, jika dua perusahaan migas raksasa sekelas BP dan Total saja bisa melakukan hal tersebut, bagaimana dengan perusahaan kelas menengah dan kecil lainnya? Dan jika ini terus terjadi maka masa depan migas Indonesia akan berada dalam kegelapan.

Tanpa kegiatan eksplorasi, maka Indonesia akan menjadi negara net oil importer yang permanen. Pasalnya produksi migas yang saat ini hanya berada di kisaran 800.000an barrel per hari tidak mencukupi konsumsi domestik yang mencapai setidaknya 1,3 juta barrel per hari. Jadi mau tidak mau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah melalui Pertamina melakukan impor.

Masalahnya dari tahun ke tahun, laju penurunan minyak (declining rate) Indonesia mencapai sekitar 15%. Artinya produksi minyak nasional akan mengalami penurunan alamiah setiap tahunnya. Untuk menjaga gap konsumsi dan produksi semakin besar, mau tidak mau kegiatan eksplorasi harus ditingkatkan. Kalau tidak, mau tidak mau angka impor akan semakin membesar.

Nah masalahnya kalau perusahaan kelas kakap  saja menghentikan eksplorasi, maka bukan tidak bukan mungkin akan ada blok-blok eksplorasi lain yang akan segera direlinquish ke pemerintah dalam waktu dekat.

Memang diakui bahwa penurunan harga minyak yang tajam di bawah angka US$60/barrel sangat meresahkan para investor. Pasalnya angka tersebut membuat investasi di industri migas tidak menarik lagi. Apa yang terjadi di minyak ini sedikit banyak mempengaruhi harga gas yang juga ikut terpuruk.

Benang merah yang bisa kita ambil dari peristiwa ini adalah bahwa industri migas adalah industri yang penuh resiko. Jangan pernah berpikir bahwa ini adalah bisnis yang selalu menguntungkan. Segala resiko, baik ketika gagal menemukan hidrokarbon di kegiatan eksplorasi, maupun penurunan harga minyak dan gas, adalah resiko dari para kontraktor.

Ini pula yang akan dihadapi oleh sejumlah perusahaan yang menyatakan minatnya di Blok Mahakam. Jangan pernah berpikir mengelola Mahakam hanya akan mengeruk untung melulu. Ada saatnya untung menjadi buntung karena harga gas yang turun drastis.


Nah, sudah siapkan mereka menanggung kerugian jika harga gas dan LNG jeblok? Jangan sampai karena ketidakmampuan finansial mereka yang memadai hanya akan mengganggu kesinambungan produksi Mahakam di masa mendatang. Jadi, pikirkan baik-baik seluruh konsekuensi negatifnya sebelum heboh-heboh ingin menguasai Blok Mahakam!