Kamis, 31 Oktober 2013

Dahlan Iskan, Sosok Kontroversial di Indonesia

www.republika.co.id
Dahlan Iskan atau cukup dikenal dengan inisial DI merupakan sosok yang sangat kontroversial di Indonesia. Bermula dari sepak terjangnya di dunia media, Jawa Pos Group, karirnya melaju cepat menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam kurun waktu Desember 2009 hingga Oktober 2011. Sepak terjangnya ternyata menarik perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga sejak 2011, Dahlan Iskan didapuk menjadi Menteri Negara BUMN.

Sosok Dahlan yang easy going, tidak terpaku pada urusan birokrasi, terkesan merakyat sehingga tampak ada batasan antara pejabat dan rakyat, segera berhasil merebut hati masyarakat Indonesia. Masih ingat dalam ingatan kita, Dahlan lebih memilih untuk naik Kereta Rel Listrik (KRL) Ekonomi AC Commuter Line jurusan Jakarta-Bogor dari Stasiun Manggarai pada Desember 2011 untuk menghadiri Sidang Kabinet di Istana Bogor. Malahan sesampainya di Stasiun Bogor, Dahlan masih sempat menyantap soto di salah satu warung dekat area tersebut. Setelah itu ia memilih naik ojek untuk mencapai istana, meski pada akhirnya harus berurusan dengan Paspamres. Sepak terjangnya yang tanpa batasan itulah akhirnya berhasil meraih hati rakyat. Bahkan bermunculan spekulasi bahwa Dahlan akan menjadi kandidat kuat dalam bursa pemilihan presiden tahun 2014.

Tak hanya itu, pernyataan-pernyataan dan buah pikiran Dahlan sering kali nyeleneh atau kontroversial. Misalnya saja idenya untuk membubarkan anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura, Petral. Ide ini jelas membuat Pertamina kebakaran jenggot. Dalam beberapa bulan, pro dan kontra, tarik otot dan silang pendapat mengenai ide tersebut mewarnai sejumlah media di ibukota. Dan akhirnya..ide hanya tinggal ide. Pembubaran batal dilakukan dan Petral tetap menjalankan bisnisnya seperti sedia kala.

Ide kontroversial lainnya bisa ditilik dari kasus mobil listrik yang digadang-gadang Dahlan menjadi mobil nasional. Untuk merealisasikan idenya, bahkan Dahlan sampai mengunjungi pabrik mobil listrik Tesla di Seattle, Amerika Serikat. Dahlan yakin, bahwa proyek mobil nasional bisa moncer, meski sejumlah pengamat mengatakan mobil jenis tersebut sulit dipasarkan di Indonesia karena dua kendala. Kendala pertama masalah baterai, teknologi baterai saat ini maksimal hanya dapat menempuh jarak 100 km. Kendala utama yang kedua yakni infrastruktur pengisian mobil listrik masih sangat minim. Dan seperti halnya Petral, ide hanya tinggal ide. Ide tersebut hilang bak ditiup angin.

Baru-baru ini Dahlan lagi-lagi mengeluarkan statement yang kontroversial mengenai Blok Mahakam. Menurutnya ia siap pasang badan untuk memperjuangkan Pertamina mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam pasca kontrak saat ini berakhir tahun 2017. Pertamina diyakini siap dari sisi keuangan dan teknis untuk mengakuisisi blok yang
 berlokasi di Kalimantan Timur tersebut.

Dahlan bersandar pada pengalaman Pertamina mengelola West Madura Offshore (WMO). Terbukti setelah WMO diambil alih dari Kodeco kinerja operasional blok itu
 meningkat dari 10.000 barel per hari menjadi 30.000 barel per hari.

Benarkah Dahlan? Dahlan mungkin lupa, dunia minyak dan gas adalah sesuatu yang lain dari yang lain. Perkiraan dan realisasi bisa jadi berbanding terbaik. Segala sesuatunya serba tidak bisa diperkirakan alias unpredictable. Demikian juga kasus Mahakam. Blok yang letaknya di lepas pantai ini, memiliki karakteristik sendiri. Tidak semua perusahaan bisa menyedot gas dari dalam perut Mahakam. Sebelumnya Mahakam ini dimiliki 100 persen oleh Inpex, namun akhirnya Total masuk ke blok tersebut dengan mengantongi 50 persen saham. Alhasil, baru di tangan Total lah, Mahakam berhasil berproduksi.

Lalu bagaimana hasilnya jika Pertamina mengambilalih 100 saham di Mahakam? Ceritanya pasti lain. Mahakam tidak bisa disamakan dengan Blok WMO. Karakteristik keduanya sangat berbeda. Keberhasilan Pertamina di WMO bukan jaminan perusahaan tersebut dapat menorehkan keberhasilan pula di Mahakam.

Laju penurunan Blok Mahakam sangatlah tinggi, sekitar 50 persen per tahun.  Pada tahun ini Mahakam diperkirakan memproduksi 1,7 miliar kaki kubik gas per hari. Angka ini jauh menurun dibandingkan produksi-produksi tahun sebelumnya yang sempat menyentuh angka 2,6 miliar kaki kubik per hari.

Dibutuhkan teknologi dan Sumber Daya Manusia yang berpengalaman untuk dapat menahan laju penurunan tersebut. Selain itu dibutuhkan dana yang juga tidak sedikit. Mungkin saja Pertamina sanggup berinvestasi di Mahakam, namun tentunya sumber dana perusahaan itu hanya akan tersedot ke blok itu saja. Ruang gerak Pertamina untuk melakukan ekspansi-ekspansi bisnis di luar negeri akan terkendala. Pengembangan Blok East Natuna juga bisa jadi tidak lancar. Dengan demikian rencana Pertamina untuk menjadi World Class Energy Company di tahun 2025 akan terganggu.

Total dan Inpex telah mengajukan proposal ke pemerintah mengenai scenario perpanjangan blok. Disebutkan, keduanya berkomitmen untuk menanamkan  investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017. Investasi tersebut sangat vital demi mempertahankan level produksi agar tidak melorot tajam. Diperkirakan laju produksi Mahakam mencapai 1,1 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2017 dengan berbagai kegiatan pengembangan yang membutuhkan dana besar. Namun tanpa aktivitas pengembangan lapangan apa pun, maka produksi gas Mahakam akan jeblok ke level 800.000 kaki kubik per hari.

Total dan Inpex juga menyodorkan scenario masa transisi pada lima tahun pertama pasca 2017, dimana Pertamina dapat masuk ke dalam konsorsium ini. Total pun berjanji untuk mengajarkan alih teknologi kepada Pertamina. Agaknya proposal ini adalah bentuk yang ideal dalam menjawab kisruh kasus Mahakam.

 Kita harus melihat secara jernih dan proporsional. Jangan sampai Mahakam menjadi bulan-bulanan Dahlan untuk mendapatkan suara menjelang Pilpres 2014.




Kamis, 24 Oktober 2013

Ketika Pertamina Berambisi Ingin Saingi Petronas

Pertamina dan Petronas adalah dua perusahaan minyak dan gas bumi plat merah yang sama-sama kuat di kancah dunia perminyakan Asia Tenggara. Pertamian ibarat guru bagi Petronas dan perusahaan asal Malaysia itu ibarat murid. Banyak hal dari system perminyakan Indonesia yang diadopsi di Malaysia. Namun setelah puluha tahun, pada akhirnya sang guru harus mengakui bahwa dirinya ternyata kalah dari sang murid.

Setidaknya hal tersebut diungkapkan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan (Kompas, 20 Oktober 2013). Menurutnya memang kondisi Pertamina saat ini masih jauh dibandingkan Petronas. Namun hal itu tak lepas dari perbedaan bentuk kedua perusahaan tersebut ketika pertama kali berdiri. Pertamina baru mulai berpikir secara korporasi setelah menjadi persero 10 tahun lalu. Sementara Petronas sudah dalam bentuk korporasi sejak dibentuk.

Nama Karen Agustiawan saat ini sudah mendunia. Ia menyabet peringkat ke-6 dalam jajaran 50 wanita paling kuat di dunia bisnis versi majalah ”Fortune Global”. Karena dianggap berhasil mengelola Pertamina dengan pendapatan 70 miliar dollar AS dan laba bersih 2,7 miliar AS menyabet peringkat 122 pada ”Fortune Global 500” (Kompas, 20 Oktober 2013).

Pertamina dibawah nahkoda Karen memang menunjukan kemajuan yang luar biasa. Setidaknya Pertamina mulai melancarkan kegiatan akuisisi, baik di dalam maupun luar negeri, seperti misalnya mengambil alih ONWJ (Blok Offshore North West Java) dari BP dan Blok WMO (Blok West Madura Offshore) pada tahun 2011. Hal ini sejalan dengan targetnya untuk memproduksi 2,2 juta barrel setara minyak tahun 2025 yang 30 persen diantaranya diharapkan berasal dari operasi di luar negeri.

Ia pun berencana untuk melakukan pengembangan mengingat banyak cadangan migas potensial yang belum menjadi cadangan terbukti. Untuk itu diperlukan bagian pengembangan yang akan memilah mana aset yang bisa cepat diproduksi dengan infrastruktur termurah dan yield (imbal hasil investasi) tercepat. Meskipun demikian Karen juga mengakui bahwa saat ini Pertamina belum optimal. Sedangkan arus modal korporat juga terbatas. Jadi, cadangan potensial yang punya risiko akan dikerjasamakan dengan pihak lain.

Lalu bagaimana dengan pengembangan Blok Mahakam? Karen amat yakin dapat melakukannya mengingat Mahakam memiliki cadangan terbukti dan produksi yang sudah jelas. Sehingga kalaupun dibutuhkan dana besar, Pertamina akan dengan mudahnya mendapatkan sokongan biaya, baik melalui penawaran saham perdana (initial public offering) ataupun dana pihak ketiga lainnya.

Sebagaimana diketahui, Pertamina sangat berambisi menjadi operator pasca kontrak saat ini habis tahun 2017.Tapi Mahakam memiliki karakteristik yang berbeda dengan blok lain. Selain membutuhkan dana, blok tersebut juga membutuhkan teknologi dan keahlian operatornya. Apakah Pertamina sanggup melakukannya, terlebih lagi posisinya saat ini masih di bawah Petronas?

Resiko pemerintah untuk melepaskan Blok Mahakam 100 persen ke Pertamina sangat tinggi. Jika sekali saja salah mengoperasikannya, maka produksi Blok Mahakam akan turun drastis dan bukan mustahil akan sulit untuk mencapai angka normal. Dan tentu saja ini akan mengganggu neraca keuangan negara. Misalnya saja pada tahun ini. Total memperkirakan pemerintah setidaknya akan mendapatkan bagian sebesar Rp 45 trilliun dari Mahakam, sedangkan operator saat ini yaitu Total E&P Indonesie dan partnernya Inpex, masing-masing hanya sebesar Rp 15 triliun.

Pada tahun ini Mahakam diperkirakan memproduksi 1,7 miliar kaki kubik gas per hari. Angka ini jauh menurun dibandingkan produksi-produksi tahun sebelumnya yang sempat menyentuh angka 2,6 miliar kaki kubik per hari. Namun Total dan partnernya juga terus melakukan pengembangan-pengembangan lapangan agar dapat menahan laju penurunan di level 1,1 miliar kaki kubik per hari pada 2017 melalui injekasi investasi sebesar $7,3 miliar. Namun tanpa pengembangan lapangan apa pun, maka produksi gas Mahakam akan jeblok ke level 800.000 kaki kubik per hari.

Tentunya angka $7,3 miliar sangat besar. Jika Pertamina mengoperasikan Mahakam sendiri, tentunya ini akan menyedot keuangan korporat. Ruang gerak Pertamina untuk melakukan akuisisi blok-blok migas di luar negeri akan terbatas. Sedangkan pengembangan di dalam negeri, seperti misalnya Blok Natuna, juga akan menguras kocek Pertamina. Pengembangan Blok East Natuna diperkirakan akan menelan dana $40 juta.

Melihat kondisi tersebut, solusi terbaik dalam penyelesaian kasus perpanjangan Blok Mahakam adalah dengan mengambil jalan tengah. Dimana Pertamina tetap dapat berpartisipasi di blok tersebut sebagai representasi perusahaan nasional, namun Total-Inpex tetap dapat terus mengelolanya, sebagaimana yang ditulis dalam proposal Total beberapa bulan yang lalu. Total bersedia melakukan transfer teknologi selama masa transisi di lima tahun pertama kepada Pertamina. Total dan Inpex juga bersedia menurunkan participating interestnya dari 50% saat ini menjadi 35% masing-masing.

Pada lima tahun pertama itulah Pertamina dapat belajar banyak dari Total dalam pengoperasian Mahakam. Dan dari pembelajaran itu pula lah Pertamina dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat dari Total untuk pengeloaan blok-blok lain.


Tak dipungkiri, bagaimanapun juga Total adalah salah satu perusahaan migas terbesar di dunia. Ia sudah makan asam garam yang jauh lebih banyak daripada perusahaan migas di Asia Tenggara ini. Jadi bukan tak mungkin, jika Pertamina berhasil menyerap ilmu dari Total selama masa transisi tersebut, maka dalam waktu dekat Pertamina dapat bersaing melawan Petronas. Semoga!


Selasa, 22 Oktober 2013

Kisruh Perpanjangan Blok Migas dan Implikasinya Terhadap Iklim Investasi


“Kisruh perpanjangan blok mempengaruhi iklim investasi minyak dan gas nasional. Idealnya kepastian mengenai perpanjangan suatu blok itu diberikan pemerintah lima tahun sebelum masa kontrak berakhir. Itu dilakukan agar dapat memberi ruang bagi investor untuk membuat rencana terkait investasinya.”

Kutipan di atas itu diucapkan oleh beberapa orang anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang membidangi masalah pertambangan dan energy. Hal tersebut diutarakan terkait dengan keprihatinan sejumlah anggota DPR atas lambannya pemerintah dalam memberikan keputusan terkait masalah perpanjangan suatu blok.

Mereka mengacu pada sejumlah kasus perpanjangan blok yang terjadi belakangan ini. Pada 2011 silam, masalah perpanjangan menimpa Blok West Madura Offshore Blok di Jawa Timur. Pada saat itu operator lamanya, yaitu perusahaan asal Korea Selatan, Kodeco Energy mengajukan proposal perpanjangan. Sementara perusahaan plat merah PT Pertamina juga telah mengajukan keinginannya untuk menjadi operator ketika kontrak WMO selesai. Proposal tersebut sudah diajukan jauh-jauh hari. Namun sikap pemerintah mendua sehingga terus menunda-nunda keputusan. Hingga akhirnya, menjelang tengat kontrak habis, pemerintah baru diputuskan Pertamina yang akan mengambil alih blok tersebut.

Namun nasi telah menjadi bubur. Kodeco kadung tidak menanamkan investasi baru karena ketidakjelasan nasibnya. Produksi WMO jeblok ketika Pertamina mengambilalih di level sekitar 10.000-an barrel per hari.  Efeknya, tentu saja mempengaruhi pendapatan pemerintah di Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN) karena target lifting minyak Indonesia tidak tercapai. Pertamina harus ekstra kerja keras untuk terus melakukan pengembangan demi peningkatan produksi. Dibutuhkan setidaknya dua tahun untuk dapat mengerek produksi ke level 25.000 barel per hari.

Meski demikian pemerintah tampaknya tidak pernah belajar dari masa lalu. Kasus serupa kembali terulang. Kini terdapat setidaknya 29 blok yang akan habis masa kontraknya dalam kurun 2013-2021. Beberapa diantaranya sangat mendesak untuk diputuskan segera, misalnya Blok Siak yang akan habis pada akhir bulan ini dan juga Blok Mahakam yang akan habis tahun 2017.

Khusus Blok Mahakam, Total dan Inpex telah mengajukan perpanjangan sejak tahun 2008. Tarik ulur dari pemerintah di bawah cabinet pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus terjadi sejak saat itu. Berawal dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro ketika saat itu yangbtidak berhasil membuahkan keputusan. Menteri ESDM selanjutnya, Darwin Saleh juga tidak memberikan kepastian, hanya statement yang mengatakan perusahaan nasional harus ikut serta dalam kasus perpanjangan Blok Mahakam. Tengat waktu semakin dekat, namun Menteri ESDM saat ini, yaitu Jero Wacik berulangkali mengungkapkan bahwa pihaknya masih terus melakukan kajian terkait masalah Mahakam.

Saat ini masalah perpanjangan memang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2004.  Dalam aturan itu disebutkan, Kontraktor Kerja Sama berhak mengajukan proposal perpanjangan kontrak bagi hasil secepat-cepatnya 10 tahun sebelum kontrak berakhir atau selambat-lambatnya dua tahun sebelum masa kontrak usai. Namun ada dispensasi bagi kontraktor yang telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas. Pada kasus ini, kontraktor dapat mengajukan perpanjangan kontrak lebih cepat dari batas waktu. Yang disayangkan, PP tersebut tidak mengatur batas waktu bagi pemerintah kapan selambat-lambatnya perpanjangan blok harus diberikan.

Baru-baru ini Presiden Indonesian Petroleum Association (Asosiasi Perminyakan Indonesia) Lukman Mahfoedz menyebutkan bahwa masalah perpanjangan blok ini adalah menjadi salah satu concern para pelaku industri migas. Lambannya pemerintah dalam memberikan keputusan bisa memberikan ketidakjelasan, bahkan dapat mengganggu iklim investasi migas.

Tentu saja, hal ini patut disayangkan mengingat Indonesia tengah berusaha sekuat tenaga untuk dapat meningkatkan produksi di level 1 juta barrel per hari mulai 2014-2025. Yang patut pemerintah perhitungkan pula adalah semakin turunnya cadangan minyak Indonesia dari tahun ke tahun.

Menurut Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), cadangan terbukti minyak Indonesia saat ini mencapai 3.7 miliar barrel, masih jauh di bawah Vietnam yang mencapai 4,7 miliar barel atau lebih ironisnya angka tersebut tergolong angka terendah dibandingkan seluruh negara ASEAN. Padahal Indonesia pernah menjadi anggota negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC. Di tahun 1995, produksi minyak Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari dan kini hanya mencapai di sekitar level 830.000 barel per hari. Alangkah ironisnya.

Padahal setelah memutuskan keluar dari OPEC pada tahun 2008, Menteri ESDM saat itu, Purnomo Yusgiantoro, pernah mengungkapkan cita-citanya agar Indonesia dapat bergabung kembali dengan organisasi tersebut dalam tempo kurang dari 10 tahun. Tentu saja keputusan yang berat bagi pemerintah untuk keluar dari OPEC. Namun status Indonesia yang telah menjadi net oil importer memaksa pemerintah mengambil langkah kontroversial tersebut.

Kembali ke masalah perpanjangan. Tidak ingin berlama-lama dengan kasus krusial tersebut, Komisi VII dalam waktu dekat akan membahas revisi UU Minyak dan Gas Bumi Nomer 22 tahun 2001. Salah satu masalah yang dianggap maha penting itu adalah kejelasan nasib perpanjangan blok. Meski belum dibahas dengan pemerintah, dalam pembahasan internal Komisi VII setidaknya muncul wacana untuk memberi batasan waktu bagi pemerintah dalam memberikan keputusan, yaitu lima tahun sebelum masa kontrak berakhir.

Kini masa depan investasi migas Indonesia berada di pundak DPR dan juga pemerintah. Semoga saja revisi UU Migas yang diharapkan dapat tuntas pada 2014, dapat menjawab keresahan para pelaku industri migas nasional.






Jumat, 18 Oktober 2013

Pemadaman Listrik dan Krisis Energi di Indonesia, Salah Siapa?


pilarsulut.com

Pemadaman listrik di seantero nusantara akhir-akhir ini menjadi trend. Perusahaan listrik plat merah, Perusahaan Listrik Negara (PLN),  kewalahan mengatur daya listrik akibat kerusakan disejumlah pembangkit listrik. Atau kalaupun bukan kerusakan, itu dikarenakan oleh pemeliharaan rutin, baik di pembangkit maupun gardu listrik, yang harus dilakukan PLN.

Tengok saja provinsi Lampung akhir-akhir ini. Selama berminggu-minggu masyarakat disana harus cukup puas dengan listrik yang byar pet. PLN terpaksa melakukan pemadaman bergilir karena mengalami defisit atau kekurangan daya listrik. Dengan kondisi defisitnya pasokan listrik, PLN harus melakukan pengurangan beban listrik khususnya pada malam hari yang merupakan waktu beban puncak, yaitu pukul 17.00-21.00. Sedangkan pada siang hari di luar waktu beban puncak, pengurangannya menyesuaikan pada kondisi sistem interkoneksi Sumatera Selatan.

Lalu apakah penyebab defisitnya pasokan listrik di Lampung tersebut? Penyebab pemadaman listrik bergilir yang telah terjadi tiga pekan terakhir ini masih akibat gangguan pada transmisi Bukit Kemuning-Kotabumi. Selain itu juga ada pekerjaan pemeliharaan pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan Unit III serta Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulu Belu Unit I.

Kesabaran ada batasnya. Kesal karena urusan listrik tak segera tuntas, sekitar seratus warga merusak Kantor Jaga (Kaja) Pelayanan Teknis PLN Banjaragung, Tulangbawang pada 6 Oktober 2013. Akibatnya, lima kaca jendela kantor berukuran 1,5 meter x 1,2 meter itu hancur. Diduga, pecahnya kaca PLN itu lantaran dilempar warga yang kesal dengan seringnya terjadi pemadaman listrik di daerah setempat.  

Kalau mau ditelaah, krisis listrik ini juga melanda ibukota DKI Jakarta. Kasus pemadaman bergilir sering terjadi, bahkan beberapa minggu lalu sejumlah daerah harus mengalaminya karena ada kebakaran di gardu Cawang, Jakarta Timur. Tak hanya itu pemadaman listrik juga terjadi di seantero nusantara. Sebut saja Makassar (Sulawesi Selatan), Majene (Sulawesi Barat), Sorong (Papua) ataupun Balikpapan (Kalimantan Timur) yang notabener adalah provinsi dengan sumber penghasil gas bumi terbesar di Indonesia.

Kegagalan PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik masyarakat memang merupakan akumulasi dari kesalahan sejumlah pihak, tak hanya PLN sendiri. Misalnya pemerintah yang selama ini dinilai kurang mengakomodir permintaan investor sehingga pembangunan infrastruktur menjadi terhambat. Atau juga ketidaksiapan Pertamina dan Perusahaan Gas Negara yang membentuk perusahaan patungan Nusantara Regas untuk membangun fasilitas LNG terminal terapung (floating storage and regasification unit) dengan kapasitas 3 juta ton per tahun.

Seharusnya PLN dan PGN mendapatkan jatah lima kargo LNG dari proyek Tangguh di Papua hanya bisa menyerap dua kargo. Sedang sisanya harus diekspor ke Korea Selatan. Mengapa tidak bisa menyerap? Karena ketidaksiapan infrastruktur domestik. Tentunya kondisi ini sangat mengenaskan, di tengah situasi Indonesia yang mulai mengalami krisis energi.

antarasumut.com
LNG tersebut didapat dari alokasi yang seharusnya diperuntukan untuk Sempra. Selanjutnya LNG ini akan diregasifikasi di FSRU dan kemudian dialirkan untuk industry-industri dan pembangkit listrik PLN di Sumatera melalui pipa South Sumatera-West Java milik PGN. Dengan tidak diserapkan alokasi tersebut maka industry di wilayah Sumatra akan terancam mengalami defisit pasokan gas.

Akibat lebih jauhnya, tentu saja pemadaman listrik yang kita lihat di atas. Tak hanya itu, sejumlah industry juga terancam akan gulung tikar karena terhentinya pasokan gas. Multiplier effect dari ketidaksiapan fasilitas FSRU tersebut sangat besar dan signifikan bagi perekonomian nasional.

Beberapa tahun silam, Wakil Presiden Boediono pernah mengingatkan betapa pentingnya pembangunan infrastruktur bagi pengembangan dan penggunaan gas domestik. Dengan demikian pembeli gas harus bersedia melakukan renegosiasi harga beli gasnya agar produsen bisa mendapatkan  harga yang kompetitif. Maklum saja, masih banyak kontrak jual beli gas domestic yang nilainya masih di bawah $4/MMBtu. Maka tak heran jika banyak produsen gas yang lebih memilih ekspor ketimbang memasok gas dalam negeri. Untuk itulah, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) segera memfasilitasi renegosiasi tersebut. Sebagian berhasil, sebagian masih berjalan.

Tapi apakah langkah renegosiasi itu cukup? Tentu tidak. Berhasil tidaknya pengembangan gas domestic sangat bergantung pada sejumlah pihak, termasuk pemerintah. Peranan pemerintah sangat besar karena kebijakannya lah yang akan menentukan banyak tidaknya investor masuk ke industry gas nasional. Bisa dibayangkan, dengan prototype Indonesia sebagai negara kepulauan, tentunya dibutuhkan investasi yang besar untuk dapat membangun pipa yang menghubungkan satu kepulauan dengan kepulauan lain. Dan untuk itu dibutuhkan insentif, baik untuk industry hilir maupun hulu.

Investor sangat membutuhkan insentif untuk menjamin proyeknya berjalan lancar. Insentif apakah yang bisa diberikan pemerintah? Ya misalnya insentif fiscal, seperti pembebasan biaya masuk dan tax holiday.

Insentif-insentif ini akan merangsang investor di kegiatan hulu untuk melakukan eksplorasi dan meningkatkan produksinya. Sementara di kegiatan hilir, ini dapat mempercepat pembangunan pipanisasi yang terintegrasi di Indonesia. Siapa tahu, jika di masa mendatang gas dari Kalimantan bisa dialirkan ke Jawa melalui pipa.

Meski demikian pemerintah sebaiknya tidak lupa untuk memberikan kepastian demi kelancaran investasi. Sudah sekian banyak contoh yang menunjukan betapa pemerintah sangat lamban dalam memberikan kepastian, misalnya di kasus Blok Mahakam, dimana Total E&P Indonesie dan Inpex telah mengajukan perpanjangan sejak 2008 namun hingga kini belum ada keputusan. Hendaklah hal ini menjadi pelajaran pemerintah di masa mendatang.