www.republika.co.id |
Dahlan Iskan atau cukup dikenal
dengan inisial DI merupakan sosok yang sangat kontroversial di Indonesia.
Bermula dari sepak terjangnya di dunia media, Jawa Pos Group, karirnya melaju
cepat menjadi Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam kurun waktu
Desember 2009 hingga Oktober 2011. Sepak terjangnya ternyata menarik perhatian
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sehingga sejak 2011, Dahlan Iskan didapuk
menjadi Menteri Negara BUMN.
Sosok Dahlan yang easy going, tidak
terpaku pada urusan birokrasi, terkesan merakyat sehingga tampak ada batasan
antara pejabat dan rakyat, segera berhasil merebut hati masyarakat Indonesia.
Masih ingat dalam ingatan kita, Dahlan lebih memilih untuk naik Kereta Rel
Listrik (KRL) Ekonomi AC Commuter Line jurusan Jakarta-Bogor dari Stasiun
Manggarai pada Desember 2011 untuk menghadiri Sidang Kabinet di Istana Bogor.
Malahan sesampainya di Stasiun Bogor, Dahlan masih sempat menyantap soto di
salah satu warung dekat area tersebut. Setelah itu ia memilih naik ojek untuk
mencapai istana, meski pada akhirnya harus berurusan dengan Paspamres. Sepak
terjangnya yang tanpa batasan itulah akhirnya berhasil meraih hati rakyat.
Bahkan bermunculan spekulasi bahwa Dahlan akan menjadi kandidat kuat dalam
bursa pemilihan presiden tahun 2014.
Tak hanya itu, pernyataan-pernyataan
dan buah pikiran Dahlan sering kali nyeleneh atau kontroversial. Misalnya saja
idenya untuk membubarkan anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura,
Petral. Ide ini jelas membuat Pertamina kebakaran jenggot. Dalam beberapa
bulan, pro dan kontra, tarik otot dan silang pendapat mengenai ide tersebut
mewarnai sejumlah media di ibukota. Dan akhirnya…..ide hanya tinggal ide. Pembubaran batal dilakukan dan Petral
tetap menjalankan bisnisnya seperti sedia kala.
Ide kontroversial lainnya bisa
ditilik dari kasus mobil listrik yang digadang-gadang Dahlan menjadi mobil
nasional. Untuk merealisasikan idenya, bahkan Dahlan sampai mengunjungi pabrik
mobil listrik Tesla di Seattle, Amerika Serikat. Dahlan yakin, bahwa proyek
mobil nasional bisa moncer, meski sejumlah pengamat mengatakan mobil jenis
tersebut sulit dipasarkan di Indonesia karena dua kendala. Kendala pertama
masalah baterai, teknologi baterai saat ini maksimal hanya dapat menempuh jarak
100 km. Kendala utama yang kedua yakni infrastruktur pengisian mobil listrik
masih sangat minim. Dan seperti halnya Petral, ide hanya tinggal ide. Ide
tersebut hilang bak ditiup angin.
Baru-baru ini Dahlan lagi-lagi mengeluarkan statement yang
kontroversial mengenai Blok Mahakam. Menurutnya ia siap pasang badan untuk memperjuangkan Pertamina mengambil alih
pengelolaan Blok Mahakam pasca kontrak saat ini berakhir tahun 2017. Pertamina diyakini siap dari sisi keuangan dan teknis untuk
mengakuisisi blok yang
berlokasi di Kalimantan Timur tersebut.
Dahlan bersandar pada pengalaman Pertamina mengelola West Madura Offshore (WMO).
Terbukti setelah WMO diambil alih dari Kodeco kinerja operasional blok itu
meningkat dari 10.000 barel per hari menjadi 30.000 barel per hari.
Benarkah Dahlan? Dahlan mungkin lupa,
dunia minyak dan gas adalah sesuatu yang lain dari yang lain. Perkiraan dan
realisasi bisa jadi berbanding terbaik. Segala sesuatunya serba tidak bisa
diperkirakan alias unpredictable. Demikian juga kasus Mahakam. Blok yang
letaknya di lepas pantai ini, memiliki karakteristik sendiri. Tidak semua
perusahaan bisa menyedot gas dari dalam perut Mahakam. Sebelumnya Mahakam ini
dimiliki 100 persen oleh Inpex, namun akhirnya Total masuk ke blok tersebut
dengan mengantongi 50 persen saham. Alhasil, baru di tangan Total lah, Mahakam
berhasil berproduksi.
Lalu bagaimana hasilnya jika
Pertamina mengambilalih 100 saham di Mahakam? Ceritanya pasti lain. Mahakam
tidak bisa disamakan dengan Blok WMO. Karakteristik keduanya sangat berbeda.
Keberhasilan Pertamina di WMO bukan jaminan perusahaan tersebut dapat
menorehkan keberhasilan pula di Mahakam.
Laju penurunan Blok Mahakam sangatlah
tinggi, sekitar 50 persen per tahun. Pada tahun
ini Mahakam diperkirakan memproduksi 1,7 miliar kaki kubik gas per hari. Angka
ini jauh menurun dibandingkan produksi-produksi tahun sebelumnya yang sempat
menyentuh angka 2,6 miliar kaki kubik per hari.
Dibutuhkan teknologi dan Sumber Daya
Manusia yang berpengalaman untuk dapat menahan laju penurunan tersebut. Selain
itu dibutuhkan dana yang juga tidak sedikit. Mungkin saja Pertamina sanggup
berinvestasi di Mahakam, namun tentunya sumber dana perusahaan itu hanya akan
tersedot ke blok itu saja. Ruang gerak Pertamina untuk melakukan
ekspansi-ekspansi bisnis di luar negeri akan terkendala. Pengembangan Blok East
Natuna juga bisa jadi tidak lancar. Dengan demikian rencana Pertamina untuk
menjadi World Class Energy Company di tahun 2025 akan terganggu.
Total dan Inpex telah mengajukan
proposal ke pemerintah mengenai scenario perpanjangan blok. Disebutkan,
keduanya berkomitmen untuk menanamkan investasi
sebesar $7,3 miliar hingga 2017. Investasi tersebut sangat vital demi
mempertahankan level produksi agar tidak melorot tajam. Diperkirakan laju
produksi Mahakam mencapai 1,1 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2017 dengan
berbagai kegiatan pengembangan yang membutuhkan dana besar. Namun tanpa
aktivitas pengembangan lapangan apa pun, maka produksi gas Mahakam akan jeblok
ke level 800.000 kaki kubik per hari.
Total dan Inpex juga menyodorkan
scenario masa transisi pada lima tahun pertama pasca 2017, dimana Pertamina
dapat masuk ke dalam konsorsium ini. Total pun berjanji untuk mengajarkan alih
teknologi kepada Pertamina. Agaknya proposal ini adalah bentuk yang ideal dalam
menjawab kisruh kasus Mahakam.