bbc.uk.co.id |
Tahun
ini, siapapun presidennya, kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)
bersubsidi tampaknya tidak bisa dielakkan. Maraknya antrian panjang Bahan Bakar
Minyak (BBM) di berbagai ruas daerah, ditambah perilaku konsumsi BBM orang
Indonesia yang memang benar-benar boros,
memerlukan terobosan terkait kebijakan BBM. Hal ini pulalah yang menjadi
perhatian khusus bagi presiden terpilih Joko Widodo.
Kenaikan
harga BBM bersubsidi ini memang sifatnya sangat mendesak. Layaknya memang telah
dilakukan sejak awal tahun ini. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono enggan
menaikkannya. PDI Perjuangan mendesak pemerintahan era SBY
segera menaikkan harga BBM bersubsidi karena sepertinya PDIP tidak ingin
disalahkan masyarakat saat Jokowi-JK memimpin negara ini. Sebagaimana
diketahui, ketika ada rencana menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu, PDI
Perjuangan sebagai salah satu fraksi yang paling keras menyuarakan
penolakan.
Pemerintah bukan tidak menyadari bahwa
kebijakan subsidi ini ibarat bom waktu. Namun menaikkan harga BBM sudah pasti
dinilai bukan langkah yang populis.Tentunya kita masih ingat bagaimana tarik
menariknya pemerintah untuk dapat menaikkan harga BBM tahun lalu dari Rp 4.500
per liter menjadi Rp 6.000 per liter pada tahun lalu. Pemerintah pastinya juga
masih mengingat dengan jelas bagaimana Presiden Suharto terdesak untuk lengser
pada tahun 1998….salah
satu pemicunya adalah kebijakan kenaikan harga BBM. Pemerintah di bawah
Presiden Megawati Soekarnoputi juga pernah merevisi kenaikan harga BBM.
Presiden wanita pertama di Indonesia itu pula lah yang pertama kali
memperkenalkan kebijakan harga BBM bersubsidi dengan menerapkan harga batas
atas dan bawah.
Atas desakan itu, Menko Perekonomian Chairul
Tanjung menegaskan bahwa Pemerintah SBY
pun tidak akan menambah beban masyarakat yang sudah cukup berat, dengan
menaikkan harga BBM bersubsidi.
Terlebih harga BBM sudah dinaikkan pada 2013
lalu, ditambah dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun ini.
CT, panggilan Chairul, mengingatkan bahwa pemerintahan SBY telah berulang kali
melakukan kenaikan harga BBM. Bahkan tahun 2005 sempat menaikan sampai 140
persen. Tahun 2013 lalu juga sudah menaikan kembali harga BBM sekitar 33 persen.
Jusuf Kalla, wakil presiden terpilih 2014-2019,
mengatakan jika pemerintah saat ini tidak menaikkan harga BBM, maka
pemerintahan baru berencana menaikkan harga pada November tahun ini. Menurut
JK, kenaikan harga BBM bersubsidi memang sudah sulit terhindarkan. Tanpa ada
kenaikan harga, masyarakat akan terus boros mengonsumsi BBM bersubsidi dan
kuota 46 juta kilo liter bisa terlampaui. Jika terus mengeluarkan anggaran
subsidi BBM ratusan triliun rupiah per tahun, lanjut JK, negara bisa bangkrut.
Maka tidak ada lagi sisa untuk membangun infrastruktur, kesehatan, pendidikan,
dan sebagainya.
Subsidi energi Indonesia memang bukan kepalang
besarnya. Pada medio Juni lalu, pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat menyepakati total subsidi energi tahun 2014 mencapai Rp 453,3
triliun dari anggaran semula sebesar Rp 333,7 triliun. Sementara alokasi
subsidi BBM juga naik dari Rp 210,73 trilliun menjadi Rp 245,5 trilliun. Wow!
Kebijakan pemberian subsidi BBM Indonesia
terus menuai kritik karena dianggap tidak mencapai sasaran. Bagaimana tidak,
kalangan menengah yang dianggap mampu –setidaknya mampu membeli mobil segenap
dengan segala konsekuensinya- tetap diberi kucuran subsidi oleh pemerintah.
Bank Dunia (World Bank) berulangkali telah
mengeritik kebijakan pemerintah tersebut. World Bank menilai tingginya subsidi
BBM dan listrik dapat menekan keuangan negara dan dapat menekan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan alokasi subsidi BBM
untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak, seperti subsidi untuk investasi
dalam bidang infrastruktur, perbaikan iklim investasi, dan perbaikan pelayanan
masyarakat.
Rakyat harus disadarkan bahwa energi bukan
lagi bahan murah, dan masyakat harus sadar atas hal ini. Indonesia bukan lagi
negara yang kaya akan sumber minyak dan gas. Produksi telah turun drastis,
penemuan baru relatif tidak ada dan banyak kontrak-kontrak blok migas yang
masih dalam kondisi 'waiting' alias menanti kepastian dari pemerintah akan
nasib perpanjangannya.
Harapan rakyat bertumpu pada pemerintah baru.
Selain menaikkan harga BBM, diharapkan juga melakukan langkah-langkah
antisipatif jangka pendek, menengah dan panjang. Jangka pendek misalnya
benar-benar menerapkan kewajiban penggunaaan biodiesel bagi seluruh moda
transportasi. Jangka menengah meningkatkan sumber biodiesel itu sendiri.
Sedangkan dalam jangka panjang, pemerintah baru juga diharapkan dapat
menggalakkan kegiatan eksplorasi migas. Pasalnya hanya dengan eksplorasi,
eksplorasi dan eksplorasi saja kita dapat meningkatkan produksi migas nasional.
Dengan peningkatan produksi tersebut, maka impor minyak mentah Indonesia juga
akan berkurang. Namun tentu saja, syaratnya adalah dengan menciptakan iklim
investasi yang kondusif yang membuat investor merasa nyaman dan aman dalam
menanamkan modalnya.
Sementara itu, pengembangan energi terbarukan
harus terus digalakkan. Hingga kini baru empat persen dari total potensi panas
bumi Indonesia sebesar 27.000 megawatt yang baru dikembangkan. Belum lagi
potensi shale gas, coal bed methane, biodiesel, tenaga angin dan tenaga surya.
Jika saja semua itu dapat dikembangkan dengan baik, niscaya Indonesia akan
dapat kembali menjadi negara kaya sumber energi. Dan artinya ketergantungan
Indonesia terhadap impor BBM dan minyak mentah berkurang yang secara otomatis
akan menurunkan angka subsidi BBM.