Rabu, 27 Agustus 2014

Tarik Menarik SBY-Jokowi Soal Kenaikan Harga BBM

bbc.uk.co.id
Tahun ini, siapapun presidennya, kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tampaknya tidak bisa dielakkan. Maraknya antrian panjang Bahan Bakar Minyak (BBM) di berbagai ruas daerah, ditambah perilaku konsumsi BBM orang Indonesia  yang memang benar-benar boros, memerlukan terobosan terkait kebijakan BBM. Hal ini pulalah yang menjadi perhatian khusus bagi presiden terpilih Joko Widodo.

Kenaikan harga BBM bersubsidi ini memang sifatnya sangat mendesak. Layaknya memang telah dilakukan sejak awal tahun ini. Namun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono enggan menaikkannya. PDI Perjuangan mendesak pemerintahan era SBY segera menaikkan harga BBM bersubsidi karena sepertinya PDIP tidak ingin disalahkan masyarakat saat Jokowi-JK memimpin negara ini. Sebagaimana diketahui, ketika ada rencana menaikkan harga BBM beberapa waktu lalu, PDI Perjuangan sebagai salah satu fraksi yang paling keras menyuarakan penolakan.
 


Pemerintah bukan tidak menyadari bahwa kebijakan subsidi ini ibarat bom waktu. Namun menaikkan harga BBM sudah pasti dinilai bukan langkah yang populis.Tentunya kita masih ingat bagaimana tarik menariknya pemerintah untuk dapat menaikkan harga BBM tahun lalu dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000 per liter pada tahun lalu. Pemerintah pastinya juga masih mengingat dengan jelas bagaimana Presiden Suharto terdesak untuk lengser pada tahun 1998.salah satu pemicunya adalah kebijakan kenaikan harga BBM. Pemerintah di bawah Presiden Megawati Soekarnoputi juga pernah merevisi kenaikan harga BBM. Presiden wanita pertama di Indonesia itu pula lah yang pertama kali memperkenalkan kebijakan harga BBM bersubsidi dengan menerapkan harga batas atas dan bawah.

Atas desakan itu, Menko Perekonomian Chairul Tanjung  menegaskan bahwa Pemerintah SBY pun tidak akan menambah beban masyarakat yang sudah cukup berat, dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.

Terlebih harga BBM sudah dinaikkan pada 2013 lalu, ditambah dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun ini. CT, panggilan Chairul, mengingatkan bahwa pemerintahan SBY telah berulang kali melakukan kenaikan harga BBM. Bahkan tahun 2005 sempat menaikan sampai 140 persen. Tahun 2013 lalu juga sudah menaikan kembali harga BBM sekitar 33 persen.

Jusuf Kalla, wakil presiden terpilih 2014-2019, mengatakan jika pemerintah saat ini tidak menaikkan harga BBM, maka pemerintahan baru berencana menaikkan harga pada November tahun ini. Menurut JK, kenaikan harga BBM bersubsidi memang sudah sulit terhindarkan. Tanpa ada kenaikan harga, masyarakat akan terus boros mengonsumsi BBM bersubsidi dan kuota 46 juta kilo liter bisa terlampaui. Jika terus mengeluarkan anggaran subsidi BBM ratusan triliun rupiah per tahun, lanjut JK, negara bisa bangkrut. Maka tidak ada lagi sisa untuk membangun infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Subsidi energi Indonesia memang bukan kepalang besarnya. Pada medio Juni lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati total subsidi energi tahun 2014 mencapai Rp 453,3 triliun dari anggaran semula sebesar Rp 333,7 triliun. Sementara alokasi subsidi BBM juga naik dari Rp 210,73 trilliun menjadi Rp 245,5 trilliun. Wow!

Kebijakan pemberian subsidi BBM Indonesia terus menuai kritik karena dianggap tidak mencapai sasaran. Bagaimana tidak, kalangan menengah yang dianggap mampu –setidaknya mampu membeli mobil segenap dengan segala konsekuensinya- tetap diberi kucuran subsidi oleh pemerintah.

Bank Dunia (World Bank) berulangkali telah mengeritik kebijakan pemerintah tersebut. World Bank menilai tingginya subsidi BBM dan listrik dapat menekan keuangan negara dan dapat menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan alokasi subsidi BBM untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak, seperti subsidi untuk investasi dalam bidang infrastruktur, perbaikan iklim investasi, dan perbaikan pelayanan masyarakat.

Rakyat harus disadarkan bahwa energi bukan lagi bahan murah, dan masyakat harus sadar atas hal ini. Indonesia bukan lagi negara yang kaya akan sumber minyak dan gas. Produksi telah turun drastis, penemuan baru relatif tidak ada dan banyak kontrak-kontrak blok migas yang masih dalam kondisi 'waiting' alias menanti kepastian dari pemerintah akan nasib perpanjangannya.

Harapan rakyat bertumpu pada pemerintah baru. Selain menaikkan harga BBM, diharapkan juga melakukan langkah-langkah antisipatif jangka pendek, menengah dan panjang. Jangka pendek misalnya benar-benar menerapkan kewajiban penggunaaan biodiesel bagi seluruh moda transportasi. Jangka menengah meningkatkan sumber biodiesel itu sendiri. 

Sedangkan dalam jangka panjang, pemerintah baru juga diharapkan dapat menggalakkan kegiatan eksplorasi migas. Pasalnya hanya dengan eksplorasi, eksplorasi dan eksplorasi saja kita dapat meningkatkan produksi migas nasional. Dengan peningkatan produksi tersebut, maka impor minyak mentah Indonesia juga akan berkurang. Namun tentu saja, syaratnya adalah dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif yang membuat investor merasa nyaman dan aman dalam menanamkan modalnya.

Sementara itu, pengembangan energi terbarukan harus terus digalakkan. Hingga kini baru empat persen dari total potensi panas bumi Indonesia sebesar 27.000 megawatt yang baru dikembangkan. Belum lagi potensi shale gas, coal bed methane, biodiesel, tenaga angin dan tenaga surya. Jika saja semua itu dapat dikembangkan dengan baik, niscaya Indonesia akan dapat kembali menjadi negara kaya sumber energi. Dan artinya ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM dan minyak mentah berkurang yang secara otomatis akan menurunkan angka subsidi BBM.

Selasa, 19 Agustus 2014

PR Besar Pertamina Pasca Lengsernya Karen Agustiawan

Pekerjaan Rumah besar menanti Pertamina pasca 1 Oktober nanti ketika Direktur Utama Karen Agustiawan secara resmi mundur dari jabatannya. Yaa, PR Pertamina sangat amat banyak terkait keinginannya sebagai sebagai perusahaan minyak dan gas plat merah yang ingin go international. Untuk mencapai tujuan itu, mau tak mau pemerintahan baru harus memastikan bahwa direktur utama yang baru nanti harus dapat meneruskan tongkat estafet dari Karen. Jika tidak, jangan harap Pertamina bisa go international, bahkan menjadi tuan rumah di negara sendiri pun bisa-bisa kandas di tengah jalan.

Berita menghebohkan pada pekan ini adalah statement Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan yang mengungkapkan bahwa Karen akan mundur dari posisinya sebagai Dirut pada 1 Oktober 2014. Lho apakah sebabnya? Bukannya tahun lalu pemegang saham Pertamina baru saja memperpanjang masa jabatan Karen untuk lima tahun, yang artinya ia baru akan menyelesaikan tanggungjawabnya pada tahun 2018? Lalu mengapa tiba-tiba mundur?

Terlalu banyak spekulasi atas hal tersebut. Ada yang mengatakan bahwa itu karena banyak tekanan dari pemerintah terkait dengan status Pertamina yang sebagai BUMN, sementara di satu sisi ia adalah perseroan yang juga dituntut untuk untung dan bahkan memberikan dividen kepada pemerintah. Tekanan tersebut bisa berupa intevensi kebijakan. Ada juga spekulasi bahwa ricuhnya masalah solar antara Pertamina dan PLN membuat Karen mundur. Bahkan yang paling gress ada juga isu bahwa Karen mundur karena mantan Wakil Presiden yang sebentar lagi bakal kembali menjadi Wapres Jusuf Kalla minta sesuatu. Entah lah mana yang benar. Terlalu banyak kabar burung yang beredar. Tentunya yang paling tahu hanya lah Tuhan dan Karen itu sendiri.

Lepas dari santernya spekulasi-spekulasi menyakut kemunduran Karen, kita harus melihat bahwa peran Karen di Pertamina tidak bisa dinafikan. Pertamina ikut maju karena nama besar perempuan jebolan ITB tersebut. Ia adalah wanita pertama yang menduduki posisi nomer satu di perusahaan migas. Selain itu pada 2013, Karen Agustiawan juga merebut posisi keenam dalam jajaran 50 wanita paling kuat di dunia bisnis versi majalah Fortune Global.

Karen dinilai berhasil mengelola Pertamina dengan pendapatan 70 miliar dollar AS dan laba bersih 2,7 miliar AS, hingga menyabet peringkat 122 pada ”Fortune Global 500”. Pertumbuhan laba bersih sebesar 15 persen sejauh ini merupakan pencapaian tertinggi dalam sejarah Pertamina.

Di bawah pimpinan Karen pula lah Pertamina banyak melakukan sejumlah ekspansi, baik di dalam maupun luar negeri. Pertamina sendiri telah mulai melakukan ekspansi ke luar negeri sejak Januari 2002 melalui kontrak kerjasama pada Blok 10 dan 11.1 Vietnam dengan pola kerjasama yang diawali dengan government to government. Selanjutnya diikuti dengan Blok SK-305 di Malaysia pada Juni 2003 serta Blok 3 Western Desert Irak, Blok 13 Read Sea, Sudan, Blok 123-3 Sirte Onshore, Blok 17-3 Sabratah Offshore dan Blok 3 Offshore Qatar.

Sedangkan di dalam negeri, sejumlah blok-blok migas, seperti Offshore North West Java juga dilalapnya. Ekspansi agresif Pertamina ini banyak mendapatkan jempol. Apalagi hal tersebut sejalan dengan target perusahaan untuk dapat memproduksi 2,2 juta barrel per hari pada tahun 2025. Pertamina juga tengah mengincar untuk memiliki 10 persen participating interest di Blok Masela. Selain itu juga tengah mengincar untuk mendapatkan hak pengelolaan Blok Mahakam pasca 2017.

Libido Pertamina untuk dapat mengelola Blok Mahakam patut diapresikan karena bagaimanapun sebagai perusahaan BUMN, Pertamina harus mendapat panggung di negeri sendiri. Namun kita juga tidak bisa menafikan bahwa kepiawaian teknologi, didukung dengan teknologi dan Sumber Daya Manusia yang mumpuni juga sangat dbutuhkan dalam suatu pengelolaan blok. Sama seperti blok-blok Pertamina di luar negeri, dalam menjalankan blok-blok tersebut Pertamina juga bermitra dengan perusahaan lain. Hal ini pula lah yang diperlukan di Mahakam.

Pertamina tetap butuh mitra dalam mengelola Mahakam. Blok tersebut telah berumur sangat tua. Maklum saja, ia telah mulai berproduksi puluhan tahun lamanya. Dibutuhkan teknologi khusus untuk mengelolanya demi memastikan bahwa produksi tidak akan jeblok. Untuk itu kemitraan antara Pertamina, Total dan Inpex sangat masih diperlukan. Karena bagaimanapun, Mahakam masih merupakan salah satu blok gas yang sangat berpengaruh dalam menyumbang pencapaian produksi migas nasional.


Kini, masalah Mahakam ada di tangan Jokowi sebagai Presiden RI ketujuh terpilih. Hendaknya beliau bijak dalam menentukan keputusan mengenai nasib Blok Mahakam dan juga orang nomer satu di Pertamina nanti. Kedua hal tersebut bisa jadi merupakan salah satu prioritas pemerintahan mendatang untuk segera diselesaikan. Dua masalah itu pulalah yang akan menentukan nasib industri migas nasional di masa mendatang. Kalau sampai salah langkah, jangan harap produksi migas nasional akan kembali kinclong. Kini saatnya melakukan perubahan. Kalau bukan sekarang kapan lagi?

Kamis, 14 Agustus 2014

2016, Krisis Listrik Ancam Pulau Jawa

detikfinance.com
Pulau Jawa akan terancam mengalami krisis listrik pada tahun 2016, dua tahun lebih cepat dibandingkan prediksi awal tahun 2018. Ancaman krisis listrik di Jawa tersebut diprediksi sulit dihindari karena defisit pasokan listrik sangat besar. Sedangkan dua tahun ke depan hanya akan ada tambahan tiga pembangkit listrik yang masuk ke sistem Pulau Jawa yang tidak dapat memenuhi kebutuhan listrik nasional.

Ketiga pembangkit listrik tersebut adalah PLTU Tanjung Awar-Awar 2 x 350 MW, PLTU Adipala 1 x 660 MW dan PLTU Cilacap Ekspansi 2 x 600 MW itu independent power producer (IPP). Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat setidaknya ada pembangkit yang berkapasitas total 6.000 megawatt yang seharusnya memasok jaringan Jawa-Bali terlambat pembangunannya, yang terdiri dari tiga proyek PLTU yakni PLTU Sumatera Selatan 8, 9, dan 10, dengan total kapasitas 3.000 MW. Ditambah dari PLTU Batang 2 x 1.000 MW dan PLTU Indramayu 1 x 1.000 MW.

Ketiga PLTU tersebut harusnya selesai sebelum 2018, namun hingga sampai saat ini ketiga proyek tersebut ada yang baru mulai, namun ada juga yang harus dipindah karena permasalan lahan dan ada pula yang belum mendapatkan izin dari pemerintah daerah.

Sebelumnya pemerintah memberikan peringatan bahwa Indonesia berpotensi mengalami krisis pasokan listrik pada tahun 2018. Krisis itu tak hanya terjadi di Pulau Jawa saja, namun juga di seantero nusantara akibat terbatasnya dana investasi dan mendeknya pembangunan mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batang di Jawa Tengah yang berkapasitas total 2.000 megawatt (MW).

Untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah dan PLN saat ini sedang menyusun tambahan pasokan dengan mengandalkan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) di Muara Karang, Muara Tawar, Grati, dan Gresik. Meski demikian, ancaman krisis listrik tetap di depan mata.

Pulau Jawa memang pulau yang sangat menyedot kebutuhan listrik nasional. Saat ini, beban puncak listrik di Pulau Jawa adalah 23.000 MW, sementara kapasitas listriknya 31.000 MW, sehingga masih ada cadangan 30%. Namun dalam empat hingga lima tahun ke depan, beban ini bakal naik bila tak ada tambahan listrik. Kebutuhan listrik tiap tahun terus meningkat mencapai hingga 8,5% per tahun jika pertumbuhan ekonomi mencapai 6% per tahun.

Jika di Pulau Jawa saja kondisi kelistrikan sudah sedemikian buruk, lalu bagaimana dengan di luar Jawa? Pemerintah sendiri juga mengaku prihatin dengan kondisi listrik di luar Jawa, seperti misalnya Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang sangat parah kekurangan pasokannya. Dan ternyata, masalah perijinan juga menjadi masalah dalam sektor kelistrikan, sebagaimana terjadi juga di sektor migas nasional.

Ancaman krisis listrik ini mungkin bukan hal yang baru lagi. Jadi yang dibutuhkan saat ini adalah langkah cepat pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah-masalah terkait. Pasalnya listrik adalah energi vital untuk menggerakan perekonomian nasional. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah meningkatkan penggunaan gas domestik dan juga menciptakan iklim investasi yang kondusif. Pemerintah selama ini dinilai kurang mengakomodir permintaan investor sehingga pembangunan infrastruktur gas menjadi terhambat. Adanya pembangunan sektor gas ini akan sangat membantu Indonesia agar keluar dari krisis energi nasional.

Beberapa tahun silam, Wakil Presiden Boediono pernah mengingatkan betapa pentingnya pembangunan infrastruktur bagi pengembangan dan penggunaan gas domestik. Namun pembeli gas harus bersedia melakukan renegosiasi harga beli gasnya agar produsen bisa mendapatkan harga yang kompetitif. Maklum saja, masih banyak kontrak jual beli gas domestic yang nilainya masih di bawah $4/MMBtu. Maka tak heran jika banyak produsen gas yang lebih memilih ekspor ketimbang memasok gas dalam negeri.  

Harus diingat, peranan pemerintah sangat besar karena kebijakannya lah yang akan menentukan banyak tidaknya investor masuk ke industri gas nasional. Bisa dibayangkan, dengan prototype Indonesia sebagai negara kepulauan, tentunya dibutuhkan investasi yang besar untuk dapat membangun pipa yang menghubungkan satu kepulauan dengan kepulauan lain. Dan untuk itu dibutuhkan insentif, baik untuk industri hilir maupun hulu.

Investor sangat membutuhkan insentif untuk menjamin proyeknya berjalan lancar. Insentif apakah yang bisa diberikan pemerintah? Ya misalnya insentif fiscal, seperti pembebasan biaya masuk dan tax holiday. Insentif-insentif ini akan merangsang investor di kegiatan hulu untuk melakukan eksplorasi dan meningkatkan produksinya. Sementara di kegiatan hilir, ini dapat mempercepat pembangunan pipanisasi yang terintegrasi di Indonesia. Siapa tahu, jika di masa mendatang gas dari Kalimantan bisa dialirkan ke Jawa melalui pipa.

Meski demikian pemerintah sebaiknya tidak lupa untuk memberikan kepastian hukum demi kelancaran investasi dan juga cepat dalam memberikan keputusan. Sudah sekian banyak contoh yang menunjukan betapa pemerintah sangat lamban dalam memberikan kepastian, misalnya di kasus Blok Mahakam, dimana Total E&P Indonesie dan Inpex telah mengajukan perpanjangan sejak 2008 namun hingga kini belum ada keputusan. Hendaklah hal ini menjadi pelajaran pemerintah di masa mendatang jika memang ingin menghindari krisis energi terjadi di Indonesia.


Selasa, 05 Agustus 2014

Calon MESDM...Kurtubi, Luluk, Tumiran atau.....?

antara
Sejumlah nama masuk dalam bursa calon Menteri Energi Sumber Daya Mineral di bawah kabinet presiden Republik Indonesia terpilih periode 2014-2019 Joko Widodo. Nama-nama yang berseliweran itu diantaranya Kurtubi, Luluk Sumiarso dan juga Tumiran. Siapakah mereka?

Luluk Sumiarso adalah mantan pejabat karir di Kementrian ESDM. Sejumlah jabatan pernah disandangnya, seperti Direktur Jenderal Kelistrikan, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi serta Sekretaris Jenderal ESDM. Sementara Tumiran dikenal sebagai anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2014-2019. Nama yang satu ini memang kurang terkenal dibandingkan dengan dua nama potensial yang disebut karena ia lebih berkecimpung di industri kelistrikan.

Lalu bagaimana dengan Kurtubi? Nama yang satu ini memang lebih dikenal masyarakat ketimbang Luluk dan Tumiran. Namanya sering menghiasi media massa dan membuat para pejabat berkerut. Nama Kurtubi mencuat menjadi salah satu potensial kandidat MESDM lantaran ia berasal dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang merupakan salah satu partai koalisi yang mendukung Jokowi. Latar belakangnya sebagai pengamat migas yang vokal tentu saja menarik perhatian khalayak sehingga dinilai sangat cocok untuk menduduki posisi MESDM.

Kurtubi sendiri adalah mantan pegawai Pertamina. Selama ini ia vokal dalam mengkritisi Undang Undang Migas No 22 tahun 2001 dimana hak-hak monopoli Pertamina sebagai BUMN dinilai dikuliti habis-habisan. Menurut Kurtbui, Pertamina sangat dirugikan karena hak monopoli untuk menandatangani kontrak bagi hasil dan juga sebagai salah satu-satunya perusahaan yang boleh menjual BBM di Indonesia diubah secara drastis. Fungsi Pertamina sebagai regulator dicabut pemerintah. Maka dibentuknya Badan Pengatur Usaha Hulu dan Minyak Bumi (BP Migas) pada tahun 2003, sedangkan perusahaan-perusahaan asing diperbolehkan masuk ke industri hilir. Kurtubi amat mengkritisi hal tersebut.

Padahal akibat perubahan fungsi Pertamina tersebut baru terlihat saat ini, dimana korporasi menjadi fokus dalam urusan bisnis saja. Sedangkan fungsi regulator dialihkan ke SKK Migas. Coba kita lihat, bagaimana ekspansi Pertamina di luar negeri, seperti misalnya di Aljazair dan di Irak. Mungkin jika UU Migas 2001 tidak diundangkan, Pertamina akan sulit berkembang seperti sekarang ini.

Kurtubi juga dikenal sebagai salah satu orang yang vokal dalam melihat penurunan produksi minyak nasional. Ia jugalah yang selama ini mendesak pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan blok Mahakam di Kalimantan Timur kepada PT Pertamina (Persero) saat kontrak perusahaan migas asal Perancis, Total E&P Indonesie di wilayah kerja itu berakhir pada 2017.

Kurtubi jugalah yang mendesak pengambilalihan 100% blok produksi yang sudah selesai kontraknya oleh negara, baik oleh BUMN ataupun BUMD. Alasannnya hal tersebut akan menguntungkan negara dan akan menjadi sumber pendanaan yang besar bagi negara.

Siapapun MESDMnya kelak, itu semua adalah hak prerogatif Jokowi sebagai presiden terpilih. Meski demikian, Jokowi harus mengingat bahwa sektor ESDM adalah sektor teknis. Dengan demikian posisi ini harus diisi oleh orang-orang yang mumpuni,yang paham betul dengan kondisi lapangan dan bukan sekedar pandai berteori. Menjadi pengamat, tentulah sangat berbeda dengan menjadi regulator dimana saat itu seseorang akan dihadapkan oleh data-data riil sehingga kebijakan yang diambil bisa jadi tidak populis di mata rakyat. Pengamat bisa berteriak seenaknya karena data yang diberikan sering kali tidak sesuai dengan kenyataan.

Sektor ESDM bukan sektor yang cocok untuk orang yang pandai beretori ataupun politisi nir pengalaman migas. Percaya lah, sektor ini sangat rumit. Dibutuhkan praktisi yang punya pengalaman asam garam di industri ini. Pasalnya terlalu banyak pekerjaan rumah di sektor migas yang harus diselesaikan oleh Jokowi, seperti misalnya perpanjangan kontrak migas, paket insentif dan bagaimana menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Ambil contoh kasus Mahakam. Tentunya tak heran jika sejumlah pengamat meminta Pertamina harus memegang kendali 100% atas blok tersebut. Wajar demikian, karena pengamat tidak melihat data yang riil. Namun jika melihat data yang ada, setidaknya para pejabat saat ini menilai bahwa blok tersebut harus dikelola bersama. Keberadaan Pertamina sebagai BUMN harus diperhitungkan dalam pengelolaan Mahakam pasca 2017, namun pengalaman Total pun tidak bisa dinafikan demi mempertahankan produksi blok tersebut.


Pertimbangan-pertimbangan yang arif inilah yang dibutuhkan dalam mencari sosok MESDM baru mendatang. Sosok yang benar-benar mengerti industri migas (karena bagaimana pun migas memegang peranan penting ketimbang tambang dan listrik), bukan sekedar mengeluarkan kebijakan nasionalis agar dinilai tokoh populis dan juga bukan berteori.