Investor
di Indonesia tampaknya harus wait and see
dan sabar menunggu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden usai pada Juli
mendatang untuk mendapatkan kebijakan-kebijakan strategis. Hal ini terkait
dengan surat edaran yang diterbitkan Sekretaris
Kabinet (Seskab) Dipo Alam yang ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia
Bersatu (KIB) II, dan para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
agar tidak mengambil kebijakan strategis yang berdampak luas dalam masa
pemilihan umum legislatif dan Pemilu Presiden 2014.
Kebijakan yang diambil para pemangku
jabatan tersebut dikhawatirkan dapat berdampak luas dan meresahkan masyarakat
serta dapat membebani pemerintahan yang akan datang. Dengan demikian, para
Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dihimba untuk tidak lagi
mengambil kebijakan, keputusan atau program yang memiliki implikasi luas selama
masa menjelang dan berlangsungnya Pemilihan Presiden dan wakil presiden, sampai
dengan menjelang masa bakti pemerintahan. Hal tersebut dilakukan guna
menghindari terganggunya stabilitas ekonomi, sosial, politik dan keamanan,
kecuali dilaporkan ke presiden dan wakil presiden.
Adanya himbauan ini tentunya
mengingatkan kita bahwa banyak pekerjaan rumah yang seharusnya diselesaikan
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Investor dan sejumlah pihak sangat
mengharapkan kebijakan-kebijakan strategis segera diputuskan pemerintah
sekarang sebelum usai masa baktinya pada Oktober 2014. Misalnya saja masalah
minyak dan gas bumi. Meski hal tersebut tidak akan mengganggu stabilitas
ekonomi dan politik, namun bukan tidak mungkin dampak kebijakan pelarangan itu
akan mempengaruhi nasib blok-blok migas yang membutuhkan persetujuan pemerintah
dalam pengembangan selanjutnya.
Saat ini ada sejumlah Kontrak Kerja Sama
yang akan habis masa kontraknya dan membutuhkan kepastian hukum dari
pemerintah, apakah diperpanjang atau tidak, apakah go or not go. Hal ini
terkait dengan kepastian hukum yang diharapkan para investor dalam
mengembangkan blok-blok migas. Maklum saja investasi migas adalah investasi
yang membutuhkan miliaran dollar AS, bukan investasi yang sedikit. Selain
adanya blok migas yang akan habis, juga terdapat blok migas lainnya yang
membutuhkan kepastian perpanjangan sejak awal meski masa kontraknya masih jauh,
karena terkait dengan nilai keekonomian proyek semata. Secara total, blok-blok
tersebut antara lain adalah Blok Mahakam, Blok East Natuna, Blok Masela, dan
sejumlah blok lainnya.
Wood
Mckenzie pernah merilis bahwa setidaknya terdapat 20 Kontrak Kerja Sama (KKS)
yang akan habis masa kontraknya pada lima tahun mendatang. Produksi total
kelima KKS itu mencapai 635.000 barrel per hari pada tahun 2013 atau setara
dengan 30 persen dari total produksi migas nasional saat ini. Laporan tersebut
juga menyebutkan bahwa keputusan pemerintah terkait perpanjangan kontrak Blok
Mahakam yang saat ini dioperatori Total E&P Indonesie adalah salah satu
titik kritikal terkait dengan nasib perpanjangan blok lainnya.
Total
telah mengajukan perpanjangan kontrak Blok Mahakam sejak tahun 2008. Namun
hingga kini pemerintah tetap belum memberikan keputusan. Padahal keputusan
cepat sangat dibutuhkan karena terkait dengan rencana pengembangan Mahakam yang
hingga saat ini masih tercatat sebagai blok yang memproduksi gas terbesar di
Indonesia. Dengan produksi sekitar 1,7 miliar kaki kubik per hari, Mahakam
memasok 80% kebutuhan gas Kilang Bontang yang kemudian memprosesnya menjadi
LNG. Selanjutnya LNG tersebut diekspor ke sejumlah konsumen di Asia, seperti
Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.
Total
dan mitranya perusahaan asal Jepang, Inpex Corp, telah mengajukan proposal
perpanjangan tersebut dengan sejumlah opsi. Diantaranya bersedia mengalihkan
teknologi ke Pertamina pada lima tahun pertama masa transisi. Total dan Inpex
juga komit untuk menggelontorkan dana sebesar US$ 7,3 miliar untuk pengembangan
Blok Mahakam hingga masa kontraknya habis tahun 2017.
Masalahnya
tanpa kepastian perpanjangan tahun ini, maka akan sulit bagi Total untuk
mengembangkan lapangan-lapangan baru untuk menjaga kesinambungan produksi gas
di blok tersebut. Dan tanpa pengembangan lapangan baru, dikhawatirkan produksi
Mahakam akan semakin turun. Apalagi pengembangan lapangan baru akan membutuhkan
waktu yang tidak sebentar. Padahal peran Mahakam terhadap Anggaran Belanja dan
Pendapatan Negara (APBN) sangat signifikan.
Tak
hanya itu, jika kebijakan perpanjangan blok harus menunggu pemerintahan baru,
maka bisa dibilang kebijakan pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang
ada saat ini amat kontraproduktif terhadap target pencapaian produksi sebesar 1
juta barrel per hari yang semula diharapkan dapat dicapai pada tahun 2014. Jika
semua harus menunggu, kapan Indonesia bisa kembali berkibar menjadi negara
pengekspor minyak dan LNG?