Kamis, 24 April 2014

Menteri Dilarang Ambil Keputusan Strategis, Bagaimana Nasib Mahakam?

Investor di Indonesia tampaknya harus wait and see dan sabar menunggu Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden usai pada Juli mendatang untuk mendapatkan kebijakan-kebijakan strategis. Hal ini terkait dengan surat edaran yang diterbitkan Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam yang ditujukan kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, dan para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) agar tidak mengambil kebijakan strategis yang berdampak luas dalam masa pemilihan umum legislatif dan Pemilu Presiden 2014.

Kebijakan yang diambil para pemangku jabatan tersebut dikhawatirkan dapat berdampak luas dan meresahkan masyarakat serta dapat membebani pemerintahan yang akan datang. Dengan demikian, para Menteri dan pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dihimba untuk tidak lagi mengambil kebijakan, keputusan atau program yang memiliki implikasi luas selama masa menjelang dan berlangsungnya Pemilihan Presiden dan wakil presiden, sampai dengan menjelang masa bakti pemerintahan. Hal tersebut dilakukan guna menghindari terganggunya stabilitas ekonomi, sosial, politik dan keamanan, kecuali dilaporkan ke presiden dan wakil presiden.

Adanya himbauan ini tentunya mengingatkan kita bahwa banyak pekerjaan rumah yang seharusnya diselesaikan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Investor dan sejumlah pihak sangat mengharapkan kebijakan-kebijakan strategis segera diputuskan pemerintah sekarang sebelum usai masa baktinya pada Oktober 2014. Misalnya saja masalah minyak dan gas bumi. Meski hal tersebut tidak akan mengganggu stabilitas ekonomi dan politik, namun bukan tidak mungkin dampak kebijakan pelarangan itu akan mempengaruhi nasib blok-blok migas yang membutuhkan persetujuan pemerintah dalam pengembangan selanjutnya.

Saat ini ada sejumlah Kontrak Kerja Sama yang akan habis masa kontraknya dan membutuhkan kepastian hukum dari pemerintah, apakah diperpanjang atau tidak, apakah go or not go. Hal ini terkait dengan kepastian hukum yang diharapkan para investor dalam mengembangkan blok-blok migas. Maklum saja investasi migas adalah investasi yang membutuhkan miliaran dollar AS, bukan investasi yang sedikit. Selain adanya blok migas yang akan habis, juga terdapat blok migas lainnya yang membutuhkan kepastian perpanjangan sejak awal meski masa kontraknya masih jauh, karena terkait dengan nilai keekonomian proyek semata. Secara total, blok-blok tersebut antara lain adalah Blok Mahakam, Blok East Natuna, Blok Masela, dan sejumlah blok lainnya.

Wood Mckenzie pernah merilis bahwa setidaknya terdapat 20 Kontrak Kerja Sama (KKS) yang akan habis masa kontraknya pada lima tahun mendatang. Produksi total kelima KKS itu mencapai 635.000 barrel per hari pada tahun 2013 atau setara dengan 30 persen dari total produksi migas nasional saat ini. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa keputusan pemerintah terkait perpanjangan kontrak Blok Mahakam yang saat ini dioperatori Total E&P Indonesie adalah salah satu titik kritikal terkait dengan nasib perpanjangan blok lainnya.

Total telah mengajukan perpanjangan kontrak Blok Mahakam sejak tahun 2008. Namun hingga kini pemerintah tetap belum memberikan keputusan. Padahal keputusan cepat sangat dibutuhkan karena terkait dengan rencana pengembangan Mahakam yang hingga saat ini masih tercatat sebagai blok yang memproduksi gas terbesar di Indonesia. Dengan produksi sekitar 1,7 miliar kaki kubik per hari, Mahakam memasok 80% kebutuhan gas Kilang Bontang yang kemudian memprosesnya menjadi LNG. Selanjutnya LNG tersebut diekspor ke sejumlah konsumen di Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.

Total dan mitranya perusahaan asal Jepang, Inpex Corp, telah mengajukan proposal perpanjangan tersebut dengan sejumlah opsi. Diantaranya bersedia mengalihkan teknologi ke Pertamina pada lima tahun pertama masa transisi. Total dan Inpex juga komit untuk menggelontorkan dana sebesar US$ 7,3 miliar untuk pengembangan Blok Mahakam hingga masa kontraknya habis tahun 2017.

Masalahnya tanpa kepastian perpanjangan tahun ini, maka akan sulit bagi Total untuk mengembangkan lapangan-lapangan baru untuk menjaga kesinambungan produksi gas di blok tersebut. Dan tanpa pengembangan lapangan baru, dikhawatirkan produksi Mahakam akan semakin turun. Apalagi pengembangan lapangan baru akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Padahal peran Mahakam terhadap Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) sangat signifikan.


Tak hanya itu, jika kebijakan perpanjangan blok harus menunggu pemerintahan baru, maka bisa dibilang kebijakan pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang ada saat ini amat kontraproduktif terhadap target pencapaian produksi sebesar 1 juta barrel per hari yang semula diharapkan dapat dicapai pada tahun 2014. Jika semua harus menunggu, kapan Indonesia bisa kembali berkibar menjadi negara pengekspor minyak dan LNG?

Rabu, 23 April 2014

Menebak Koalisi Jelang Pilpres Indonesia

Situasi perpolitikan Indonesia tengah memanas menjelang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang jadwalnya terlaksana pada 9 Juli mendatang. Ini tak lepas dari hasil hitung cepat (quick count) Pemilihan Legislatif kemarin yang memprediksikan bahwa tidak ada partai politik yang dominan untuk dapat melenggang sendirian dalam mencalonkan presiden. PDIP yang sebelumnya menargetkan meraih 27 persen suara tampaknya harus puas dengan prediksi angka 19 persen. Mau tak mau koalisi harus dilakukan untuk memuluskan Joko Widodo menjadi RI-1.

Sejumlah pengamat politik menilai bahwa akan ada tiga pasangan capres yang akan bertarung di pilpres nanti adalah PDIP, Golkar, dan Gerindra. PDIP sejauh ini akan berkoalisi dengan Nasdem dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sementara Partai Golkar diprediksi akan menjalin koalisi bersama dengan Hanura dan PKS. Sedangkan PPP kemungkinan akan berkoalisi dengan Gerindra, bersama dengan PAN dan PBB. Sementara Partai Demokrat masih belum menunjukkan keinginannya untuk berkoalisi dengan satu partai pun karena masih menunggu hasil konvensi Mei mendatang. Meski demikian banyak pengamat yang memprediksikan Demokrat akan bersanding dengan Gerindra pada Pilpres mendatang.
Meski peta perkoalisian belum resmi diumumkan, namun sejumlah spekulasi mengenai nama calon presiden dan calon wakil presiden telah beredar di pasaran. Maklum saja, dengan tidak adanya partai yang dominan dalam Pemilihan Legislatif kemarin, faktor calon wakil presiden akan menjadi faktor yang sangat menentukan kemenangan sang calon presiden. Kini masyarakat sudah semakin melek informasi, sehingga diperkirakan yang dipilih pada Pemilihan Presiden dan Calon Wakil Presiden nanti, figure calon pemimpin lah yang akan dipilih, bukan karena partai pengusungnya.
Dari ketiga calon presiden yang diperkirakan akan melaju pada Juli mendatang, baru PDIP lah yang tampaknya memberikan titik terang dalam mencalonkan cawapres. Sedangkan partai-partai lain masih abu-abu. Partai Golkar diperkirakan akan memasangkan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Ketua Umum Partai Hanura Wiranto dalam Pemilu Presiden 2014 menemui kendala. Meski saat ini Golar masih menemui kendala karena Wiranto diperkirakan tidak mau "turun kelas" menjadi calon wakil presiden. Sedangkan Prabowo diperkirakan akan berpasangan dengan Pramono Edhie Wibowo. Namun yang harus diingat Wiranto dan Pramono Edhie Wibowo berasal dari kalangan miiliter. Sedangkan saat ini fenomena anti militer masih tampak pada sebagian orang.
Sejauh ini baru PDIP yang tampaknya sudah agak mengerucut dalam memilih cawapres. Partai berlambang Banteng itu disebut-sebut tengah melirik tiga nama untuk dipasangkan dengan Jokowi. Diduga, tiga calon itu adalah Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan mantan KSAD Ryamizard Ryacudu. Dari ketiga nama tersebut, nama Mahfud dan Jusuf Kalla dinilai sangat menjual karena kedua sosok tersebut berasal dari sipil dan terkenal sangat kontroversial ketika menduduki posisinya sebagai Cawapres Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 1 dan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Tentunya kita masih ingat bagaimana Jusuf Kalla ketika menjabat sebagai Wakil Presiden memiliki track record yang bagus dalam mengambil keputusan. Ia dikenal sangat cepat tanggap dan berani mengambil keputusan dengan cepat. Misalnya saja ketika bencana Tsunami melanda Aceh pada 2004, Jusuf Kalla segera memerintahkan tanggap darurat dan menyatakan Aceh harus bersih dalam tempo tiga bulan.
Sementara Mahfud MD pun terkenal sebagai sosok kontroversial melalui keputusannya untuk membekukan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) pada 13 November 2012 karena lembaga tersebut dinilai tidak sesuai dengan konstitusi. Kontan saja, keputusan tersebut disambut positif karena banyak orang yang melihat lembaga ini sebagai lembaga yang obesitas.
Meski demikian, meski kedua tokoh tersebut memiliki track record baik, sejumlah pengusaha menilai bahwa Jusuf Kalla lebih mumpuni dibandingkan dengan Mahfud karena memiliki pengalaman di bidang pemerintahan yang diharapkan dapat membantu Jokowi dalam menjalankan tugasnya. Terlebih lagi, Jusuf Kalla dipandang sebagai sosok representasi tokoh dari luar Jawa –dimana sebagian orang sudah bosan jika hanya orang Jawa yang memimpin negara ini-. Dengan kehadiran Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi, diharapkan pembangunan tidak hanya dilakukan di Jawa, tetapi juga menyeluruh di luar Jawa, terutama di Indonesia bagian timur. Selain itu, Jusuf Kalla dinilai cukup mumpuni dalam bidang pemerintahan, seperti pengalamannya di bidang ekonomi.

Siapapun cawapres yang akan dipilih nanti, semoga duet presiden dan cawapres terpilih akan memberikan warna positif bagi negara ini. Pasalnya banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemimpin baru negara demi menciptakan iklim investasi yang kondusif, diantaranya memberikan kepastian hukum terkait perpanjangan blok-blok migas yang akan habis masa kontraknya.

Rabu, 09 April 2014

Indonesia Hadapi Krisis Pemimpin dan Krisis Energi

Indonesia sedang tak hanya mengalami krisis energi, melainkan juga krisis pemimpin. Dan dua-duanya memiliki keterikatan yang sangat kuat. Pemimpin yang dianggap mumpuni alias the right man in the right place dalam kabinet saat ini nyaris tidak ada, sehingga tak heran jika hal itu secara tidak langsung juga memicu krisis energi nasional. Kok bisa?

Tentunya bisa. Untuk keluar dari krisis energi saat ini, Indonesia dalam hal ini pemerintah, harus berani melakukan maneuver yang sigfikan. Harus ada terobosan-terobosan yang kata orang harus bersifat ‘out of the box’. Soalnya kalau hanya berpikir soal ketakutan dan segala macam resikonya saja, maka Indonesia tidak akan maju. Figur inilah yang dicari oleh masyarakat Indonesia.
Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua dianggap gagal memenuhi keinginan masyarakat, atau lebih sempitnya investor minyak dan gas yang beroperasi di negara ini. Pemerintah dinilai terlalu berhati-hati dalam mengambil setiap kebijakan yang berujung pada ketidakjelasan nasib bagi investor. Berbeda dengan KIB Jilid Satu dimana Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden berani mengambil keputusan secara cepat, Boediono justru sangat berhati-hati.  Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebut sejumlah pengamat sebagai peragu (meski akhirnya dibantah oleh sang presiden sendiri) membutuhkan masukan yang cepat dan tepat. Pasangan RI-1 dan RI-2 yang serba ekstra hati-hati inilah yang mengakibatkan segala sesuatunya hanya bersifat wacana dengan realisasi yang ibarat jauh panggang dari api.

Saat ini terlalu banyak pekerjaan rumah yang tidak tergarap. Apa saja itu? Diantaranya:  

Pertama, Amandemen Undang-Undang Migas. Banyak investor yang menanti-nanti bagaimana bentuk UU Migas karena perangkat perundangan itu diharapkan mampu memberikan kepastian hukum terhadap investasi migas di Tanah Air. Meski di satu sisi dari analisis statistik yang dilakukan Indonesia Petroleum Association menunjukkan setiap kali terjadi pergantian UU, investasi di sektor migas cenderung menurun karena kerap menimbulkan ketidakpastian baru dalam dunia usaha.

Namun harus diingat, pembubaran Badan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas) dan disusul dibentuknya lembaga yang bersifat adhoc (sementara) Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebabkan pemerintah dan legislative harus bekerjakeras memikirkan lembaga baru yang sifatnya definitive. Meski kontrak-kontrak migas yang berlaku saat ini tidak mengalami dampaknya alias tetap berlaku, namun investor tetap membutuhkan kepastian.

Kedua, kepastian perpanjangan kontrak. KIB Jilid Dua dianggap gagal dalam menciptakan iklim investasi yang kondusif. Salah satunya kepastian hukum terkait dengan perpanjangan kontrak blok migas. Masalah perpanjangan Kontrak Kerja Sama (KKS) di Indonesia sering menjadi masalah. Acap kali pemerintah memberikan keputusan menjelang akhir kontrak, sehingga amat sulit bagi investor untuk membuat rencana investasi jangka panjang. Padahal dalam Peraturan Pemerintah No 35 tahun 2004 disebutkan, perusahaan yang masa kontraknya akan habis dapat mengajukan perpanjangan secepat-cepatnya 10 tahun sebelum kontrak berakhir atau selambat-lambatnya dua tahun sebelum kontrak usai. Namun pada prakteknya, itu hanya teori semata.

Sejumlah fakta empiris bisa kita lihat. Sebut saja Blok Siak yang dioperatori oleh Chevron. Kontrak blok tersebut habis pada 27 November 2013, namun tidak diperpanjang kontrak persis pada tanggal kontrak itu habis. Padahal Chevron telah mengajukan perpanjangan tersebut sejak tahun 2010.

Lain kali kasusnya dengan Blok Mahakam. Perusahaan asal Perancis Total E&P Indonesie dan partnernya asal Jepang Inpex, telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak tahun 2008. Bahkan Total telah menyatakan komitmennya untuk menginvestasikan dana sebesar $7,3 miliar di Blok Mahakam hingga 2017 yang akan digunakan untuk menekan laju penurunan alamiah yang mencapai 50 persen. Namun pemerintah bergeming. Proposal tinggal proposal. Pemerintah senantiasa berdalih dengan mengatakan, “masih dalam evaluasi.”

Pengamat dari ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro pernah mengatakan bahwa idealnya pemerintah memberikan keputusannya setidaknya enam bulan setelah proposal perpanjangan diajukan investor. Dengan demikian investor akan memiliki waktu untuk menyusun rencana investasi dan produksi dalam jangka panjang.

Kini pemerintahan KIB JIlid Dua akan segera berakhir. Masyarakat banyak menaruh harap Joko Widodo yang dicalonkan PDI Perjuangan dapat melaju menjadi RI-1. Jokowi, demikian pria yang pernah dinobatkan sebagai walikota terbaik itu, diharapkan dapat memberikan gebrakan.

Maklum saja, ide-ide Jokowi ketika menduduki Gubernur DKI Jakarta sungguh mencengangkan. Misalnya saja lelang jabatan. Hanya mereka yang lolos fit and proper test saja yang bisa menduduki jabatan di wilayah DKI Jakarta ini. Siapa tahu, jika Jokowi menjadi presiden republik ini, jabatan-jabatan strategis di BUMN akan turut dilelang. Dengan demikian budaya korupsi dapat dieliminir. Dan hanya orang-orang yang mumpuni saja yang bisa menjadi orang-orang nomer satu di negara ini.


Selain itu, keberanian Jokowi dalam mengambil keputusan secara cepat diharapkan dapat memberikan kepastian kepada investor dan menciptakan iklim investasi yang kondusif. Dan akibatnya investor berbondong-bondong datang ke Indonesia. Jika hal tersebut terjadi, maka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Indonesia akan meningkat. Dengan demikian, krisis energi Indonesia setidaknya bisa sedikit mendapat titik pencerahan.

Kamis, 03 April 2014

Panas Bumi, Masa Depan Sumber Energi Indonesia

Letak Indonesia yang berada di lingkaran cincin api (ring of fires) membuat negara ini memiliki sumber daya energi dari panas bumi (geothermal) yang luar biasa. Panas bumi banyak ditemui di daerah yang memiliki banyak gunung berapi aktif, seperti Indonesia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Jepang, Filipina, Meksiko, dan Islandia
Panas bumi merupakan salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) dan berkelanjutan (sustain). Sumber energy ini memiliki kekuatan yang lebih besar dari pada minyak dan gas alam. Berdasarkan data kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, potensi panas bumi di dunia yang bisa dimanfaatkan untuk sumber listrik mencapai 113 Giga Watt (GW), dimana 40%-nya dimiliki oleh Indonesia, yaitu sebesar 28 GW. Indonesia memiliki potensi Geothermal terbesar di dunia, khususnya di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi dimana perkembangan penduduk dipulau pulau tersebut sangat pesat dan sangat membutuhkan energi listrik saat ini maupun masa depan. Tak heran jika Dewan Energi Nasional (DEN) telah menetapkan panas bumi akan memberikan peran atau share sebanyak 5 persen dalam bauran energi nasional dalam tahun 2025.

Saat ini Indonesia baru memanfaatkan energy panas bumi sebesa 1.100 MW, atau kurang dari 10 persen.

Hal ini jauh dibanding Amerika yang pemakaìan energi panas bumi sekira 4.000 MW dan Filipina sekira 2.500 MW. Belum lagi Selandia Baru yang berhasil dengan sukses dalam mengaplikasikan energi panas bumi yang mendominasi bauran energinya.

Saat ini saja, di Indonesia baru ada tiga perusahaan yang menghasilkan listrik dari panas bumi, yaitu Chevron, Star Energy dan Pertamina Geothermal. Terbatasnya pemain di sektor panas bumi ini tak lepas dai kenyataan pahit bahwa pengembangan panas bumi Indonesia masih banyak kendala, baik dari segi hukum maupun dari segi teknis dan non-teknis.

Dari segi aspek legal misalnya, adanya isu tumpang tindih antara konsensi panas bumi dengan hutan membuat pengembangan energi ini sering kali menemui masalah. Para pengembang menghadapi kesulitan karena tidak dapat beroperasi didalam hutan konservasi karena adanya UU Kehutanan yang melarang para pengembang panas bumi untuk beroperasi dalam hutan konservasi kalau dilanggar akan mendapat permasalah hukum. Sementara sebagian besar cadangan panas bumi berada di hutan konservasi.

Sementara dari sisi teknis, adanya keterbatasan peralatan, misalnya persediaan rig, membuat kegiatan ekplorasi panas bumi jadi tersendat. Sedangkan di sisi lain harga untuk menyewa rig itu sekarang bersaing dengan eksplorasi perminyakan, sehingga harga nya menjadi mahal.

Belum lagi masalah sumber daya manusia yang ahli di bidang panas bumi di Indonesia juga masih sangat terbatas. Sehingga kalau memang pemerintah ingin panas bumi berkembang, maka mau tidak mau Indonesia harus melirik ekspatriat yang mumpuni dalam urusan panas bumi.

Tak hanya itu, keterbatasan infrastructure juga menyebabkan pengembangan panas bumi agak terhambat, misalnya tidak adanya infrastruktur jalan menuju ke area panas bumi yang ada di daerah pegunungan.

Sementara dari sisi bisnis, para pengembang menghadapi permasalah dengan harga jual listrik kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang dinilai sangat rendah. Akibatnya biaya investasi yang dikeluarkan menjadi tidak tercover. Sebagai contoh, untuk pengembangan energi panas bumi yang dapat menghasilkan listrik 45 Mega Watts diperlukan investasi sekira US$105 juta. Dan untuk mencapai hasil 45 MW diperlukan sumur produksi tujuh sampai sembilan sumur untuk dibor. Biaya satu sumur sekira US$5 juta, ditambah turbin pembangkit dan pembangunan infrastruktur.


Untuk itu, pemerintah harus turun tangan karena bagaiamanapun harga panas bumi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Indonesia sudah tidak bisa bergantung lagi pada sumber daya minyak.  

Sebagai bayangan saja, produksi minyak Indonesia saat ini berada di kisaran 800.000an barrel per hari. Dari jumlah itu hanya 650.000 barrel per hari yang bisa diolah di kilang Pertamina. Untuk memenuhi kebutuhan BBM domestic yang mencapai 1,4 sampai 1,5 juta barrel per hari, Indonesia harus melakukan impor.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengakui bahwa saat ini Indonesia membutuhkan dana sekitar US$ 120 juta atau hampir Rp 1,5 triliun per hari hanya untuk mengimpor BBM termasuk solar, avtur dan jenis lainnya. Pemerintah memperkirakan impor BBM dan minyak Indonesia akan mencapai hingga Rp 1,8 triliun per hari di tahun 2019.

Jadi kini keputusan ada di tangan pemerintah, apakah bersedia campur tangan dengan memberikan insentif dan menciptakan iklim investasi yang kondusif atau tidak. Akankah Indonesia tetap terkenal menjadi negara pengimpor minyak? Ataukah mampu mengembangkan seluruh sumber daya energinya?