Kamis, 11 Juni 2015

Pemerintah Fokus Bangun Infrastruktur Migas

Mimpi besar Indonesia adalah mengurangi impor BBM dengan membangun infrastruktur migas secara masif. Meski demikian, mimpi yang telah belasan tahun itu hingga kini masih sekedar menjadi mimpi. Nah pemerintah saat ini menunjukkan keseriusannya untuk mengembangkan migas di seluruh nusantara.

Infrastruktur di sektor minyak dan gas Indonesia memang diakui sangat minim. Akibat minimnya pembangunan infrastruktur ini, pemanfaatan gas domestik menjadi tidak dapat terserap secara maksimal. Padahal banyak sumber gas yang berada di wilayah timur Indonesia, namun tidak dapat dialirkan ke Pulau Jawa yang terkenal sebagai sentra industri, karena tiadanya pipa yang menghubungkan dari pulau ke pulau.

Timpangnya tingkat produksi migas dengan pemanfaatannya di dalam negeri akan memicu persoalan ekonomi dan sosial yang semakin luas. Apalagi, saat ini industri sudah mulai beralih menggunakan gas sebagai sumber energi menggantikan bahan bakar minyak.

Untuk mendorong pengembangan migas di Indonesia, pemerintah memfokuskan lima infrastruktur migas untuk wilayah kepulauan, pipa gas, infastruktur untuk daerah yang tidak dapat dibangun pipa, jaringan gas bumi untuk rumah tangga serta SPBG.

Dirjen Migas Kementerian ESDM IGN menjelaskan, pembangunan infastrukturu ntuk wilayah kepulauan difokuskan pada pembangunan depo-depo di wilayah Indonesia Timur yang saat ini masih sangat kurang. Bahkan di beberapa pulau, sama sekali tidak memiliki SPBU dan tangki penyimpanan.Kekurangan ini menyebabkan harga BBM menjadi sangat mahal apabila terjadi gelombang laut yang besar.

Infrastruktur pipa gas yang menjadi fokus adalah penyambungan pipa gas dari ujung Sumatera sampai ke ujung Jawa dan hingga Bali jika memungkinkan. Selain itu, pembangunan pipa Gresik-Semarang dan diharapkan pada tahun 2016, dapat dilakukan pembangunan pipa dari Semarang ke Cirebon. Dua tahun ke depan ditargetkan pipa dari Duri ke Dumai bisa nyambung. Diharapkan dalam lima tahun, pembangunan pipa sudah bisa tersambung dari Semarang ke Jogja dan Solo.

Fokus proyek infrastuktur ketiga adalah pembangunan infrastruktur gas untuk pulau-pulau di Timur Indonesia yang tidak bisa dibangun pipa. Untuk itu, Pemerintah akan membangun sarana untuk mendistribusikan LNG ke pulau-pulau. Proyek yang akan selesai dalam waktu dekat adalah LNG untuk pembangkit listrik di Benoa, Bali, yang akan beroperasi pada Agustus atau September mendatang. Infrastruktur serupa akan dibangun di Gorontalo dan Makassar. Selain itu, pembangunan jaringan distribusi untuk rumah tangga yang akan fokus di 20 kota pada tahun 2016. Pembangunan jargas bertujuan menggantikan LPG. Terakhir, pembangunan 22 SPBU di tahun 2015.

Jika ingin investor ikut membangun negara ini, maka pemerintah harus tidak segan-segan memberikan insentif. Alangkah baiknya jika pemerintah memberikan paket insentif yang menarik agak seluruh investor dapat berlomba-lomba seluruh infrastruktur tersebut. Maklum saja, selama ini pemerintah dikenal pelit dalam memberikan insentif kepada investor sehingga mengakibatkan pembangunan infrastruktur jadi tersendat. Tak heran jika seluruh rencana pengembangan kilang menjadi tidak jelas bahkan terancam gagal akibat rigidnya pemerintah dalam memberikan paket insentif.

 Pelitnya insentif ini tak hanya terjadi di bisnis hilir saja, melainkan juga di bisnis hulu, yaitu eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gasbumi. Jadi, sekali lagi, berhasil tidaknya kebijakan penggunaan BBG ini ada di tangan pemerintah. Tanpa insentif yang memadai, jangan harap Indonesia bisa mengurangi ketergantungannya pada impor BBM dan minyak mentah.

Senin, 08 Juni 2015

Jumat, MESDM Laporkan Masalah Mahakam ke Presiden Jokowi

Jika tidak ada aral melintang, Jumat pekan ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said akan menghadap Presiden Joko Widodo untuk melaporkan perkembangan terakhir mengenai Mahakam. Perkembangan apakah itu?

Pertengahan pekan ini, pemerintah kembali menggelar pertemuan dengan Pertamina dan Total terkait masalah Blok Mahakam. Memang belum ada tanda-tanda kejelasan mengenai nasib blok ini dalam waktu dekat. Meski demikian pemerintah memastikan bahwa Pertamina dilarang untuk mengambil partner lain selain Total dan Inpex. Alasannya, kedua perusahaan inilah yang mengerti seluk beluk Mahakam sehingga dapat membantu Pertamina untuk mempertahankan produksi. Sementara perusahaan lain, diyakini tidak akan membantu banyak.

Namun demikian, pemerintah daerah Kalimantan Timur tetap berhak mendapatkan 10 persen di Mahakam setelah 2017, meski dengan embel-embel bahwa mereka dilarang menggandeng perusahaan swasta lain sebagai partnernya. Masalah pendanaan untuk pemda, pemerintah meyakini bahwa hal itu bisa didapat melalui dana dari Pertamina ataupun konsorsium.

Kini pemerintah harus bergerak cepat. Langkah awal adalah dengan mendelegasikan masalah transisi kepada SKK Migas seperti yang diinginkan pemerintah. Memang, saat ini berkembang dua opsi yakni menentukan masa transisi sebelum tahun 2017 atau sesudahnya. Maklum saja, masalah transisi sebelum kontrak berakhir memang tidak terdapat dalam klausul kontrak bagi hasil saat ini. Jika ada pemaksaan dari pemerintah, tentu jelas itu akan mencederai kontrak.

Meski demikian masa transisi itu bukan mustahil terjadi jika memang timbal balik untuk Total dalam pengelolaan Mahakam cukup ekonomis dan menguntungkan. Namun tentunya harus dilakukan berdasarkan pendekatan business to business dan simbiosis mutulisme bagi kedua belah pihak. Nah inilah yang harus dipikirkan pemerintah.

Selain itu juga masalah pembagian saham. Pemerintah harus mengingat bahwa pengembangan Mahakam membutuhkan dana sekitar US$ 2,5 miliar per tahun. Pertamina sendiri diperkirakan hanya sanggup menggelontorkan sebagian dari itu karena masih harus melakukan ekspansi ke luar negeri juga. Nah jika Total dan Inpex hanya diberikan sebagian kecil saham di Mahakam, maka sudah pasti porsi Pertamina dalam mengeluarkan modal akan semakin besar. Yang menjadi masalah, apakah Pertamina sanggup? Dan apakah ini akan memberikan dampak pada rencana ekspansi ke luarnegerinya?


Pemerintah memang harus bekerja ekstra keras untuk segera memutuskan kasus Mahakam yang telah terombang-ambing selama beberapa tahun. Apalagi tahun 2015 telah mencapai setengahnya, dimana pengembangan sejumlah sumur pasca 2017 harus ditentukan sejak sekarang. Jangan sampai salah langkah hanya akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.