tribunnews.com |
Setelah bertahun-tahun
gagal dalam mencapai target produksi minyak dan gas nasional, tahun ini
pemerintah kembali berwacana untuk menurunkan target produksi yang telah
ditetapkan dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2014. Alasannya,
selain cuaca ekstrem, tak tercapainya target lifting juga disebabkan
karena produksi minyak di Blok Cepu mengalami kemunduran. Seharusnya Cepu
berproduksi pada Juli 2014. Namun karena terkendala teknis maka Blok Cepu
ditargetkan berproduksi November 2014.
Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
(SKK Migas) memperkirakan akibat cuaca ekstrem, negara kehilangan produksi
minyak mentah dan kondensat sebesar 70.000 barrel per hari, sehingga berakibat
merosotnya produksi minyak nasional.
Saat ini produksi rata-rata minyak nasional merosot
hingga 745.000 barrel per hari. Turunnya produksi dikarenakan putusnya tali
pengikat kapal floating storage and off loading (FSO) Cinta Natomas dari
alat tambatnya. Sehingga berakibat produksi dari Joint Operating Body
Pertamina-Petrochina East Java, Mobil Cepu Limited dan Pertamina EP Cepu tidak
dapat disalurkan. Selain itu, potensi produksi akibat bornya hose yang
menghubungkan alat tambat dengan FSO Abherka west Madura Offshore mencapai
22.500 barrel per hari. Bahkan kehilangan potensi kehilangan produksi sebesar 1.500
barrel per hari juga menimpa PT Sele Raya.
Sebelumnya SKK Migas pernah
melansir bahwa untuk tahun ini Indonesia sangat bertumpu pada 13 proyek minyak
dan gas bumi yang direncanakan berproduksi tahun 2014. Total kapasitas produksi
dari seluruh proyek tersebut adalah 954 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd)
dan 194.121 barel minyak per hari. Salah satu proyek yang menjadi andalan
adalah Blok Mahakam yang dikelola Total E&P Indonesie diharapkan dapat
berproduksi total sebesar 645 juta kaki kubik per hari dan 6.521 barrel liquid
per hari pada tahun ini. Sedangkan Cepu yang dikelola ExxonMobil Oil Indonesia
diharapkan dapat mencapai kapasitas produksi sebesar 165.000 barrel per hari
pada kuartal keempat 2014 dengan sejumlah tantangan yang bakal dihadapi, yakni masalah
sosial ekonomi dan keterlambatan dalam proses rekayasa, pengadaan, dan
konstruksi fasilitas.
Cuaca ekstrim memang bisa dibilang sebagai
force majeure, suatu keadaan yang tidak diduga. Tapi inti permasalahan dari
kegagalan dalam pencapaian target produksi adalah tidak adanya penemuan baru
yang signifikan yang dapat menambah cadangan minyak kita (reserve replacement
ratio).
Peningkatan eksplorasi memang satu-satunya
cara yang harus diambil untuk meningkatkan produksi migas nasional, khususnya
di masa mendatang. Namun tingkat minat eksplorasi itu berkaitan dengan banyak
hal, termasuk diantaranya paket kebijakan ekonomi berupa insentif dan iklim
investasi di negara ini.
Sejumlah pihak menilai kondisi industri migas
nini ditengarai sebagai akibat akumulasi permasalahan di hulu migas yang mirip
dengan bola salju, baik terkait sistem pengelolaan yang memakai pola pemerintah
– swasta maupun masalah nonteknis seperti terkait ketidakpastian aturan main,
koordinasi pemerintah lemah, kendala pembebasan lahan, dan kendala sosial.
Tak hanya itu lambannya pemerintah dalam
mengambil keputusan strategis dalam industri migas, turut memberikan
ketidaknyamanan bagi investor. Lambannya pemerintah terlihat dari sejumlah
kasus perpanjangan blok yang nasibnya terkatung-katung hingga kini. Sebut saja
Blok Mahakam yang dioperatori Total dan Inpex dan juga Blok Masela yang
dikelola Inpex. Total telah menyatakan komitmennya untuk menginjeksikan
investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 jika pemerintah memperpanjang blok
tersebut.
Proposal perpanjangan Blok Mahakam sendiri
sudah diajukan Total sejak 2008, namun hingga kini belum ada keputusan. Sementara
pemerintah harus berkejaran dengan waktu agar produksi di Mahakam tidak menurun
drastic akibat ketidakjelasan ini. Apalagi Mahakam adalah pemasok gas terbesar,
yaitu sebesar 80 persen bagi kilang LNG Bontang di Kalimantan Timur. Kilang itu
sendiri sebagian besar diperuntukan ekspor ke negara-negara Asia, seperti
Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Jika saja produksi Mahakam turun, maka sudah
pasti penerimaan negara juga akan anjlok.
Kini saatnya pemerintah serius menggarap
kebijakan migas dan memberikan kepastian bagi investor. Bagaimanapun juga
Indonesia masih membutuhkan investor asing mengingat industri migas adalah
industri yang padat karya, padat modal dan padat teknologi. Apalagi cadangan
migas yang tersisa saat ini hanya tinggal di wilayah laut dalam yang lebih
membutuhkan investasi besar.