Rabu, 19 November 2014

Pemerintah Akan Perpanjang Kontrak Total di Mahakam?

merdeka
Pemerintah memberikan sinyal akan memperpanjang kontrak Total di Blok Mahakam pasca 2017. Meski demikian, perpanjangan tersebut mungkin tidak diberikan selama lima tahun, melainkan hanya dua atau tiga tahun pada masa transisi. Pada saat itu Total dan Pertamina akan bekerjasama dalam mengelola Blok Mahakam.

Meski demikian keputusan belum mencapai final. Pasalnya Pertamina juga masih melakukan kajian mengenai apa keinginannya. Sementara pemerintah juga terus menggodok pilihan apa yang terbaik terkait masalah Mahakam ini. Tentunya baik bagi negara, bagi Pertamina dan juga bagi Total. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said berjanji untuk menyelesaikan carut marut masalah Mahakam ini dalam tempo kurang dari tiga bulan sejak November. Jadi kira-kira, masalah Mahakam baru akan tuntas pada triwulan pertama 2015.

Kembali ke masalah transisi. Memang harus diakui, Mahakam adalah blok yang memiliki karakteristik sulit, dimana pengelolaannya membutuhkan teknologi, sumber daya dan finansial yang tidak sedikit. Maklum saja, umur blok itu sudah tua sehingga membutuhkan ekstra dana untuk mencapai produksi yang diinginkan demi menahan laju penurunan produksi. Total dan Inpex saat ini menginjeksikan dana sekitar $2,5 miliar per tahun dalam mengelola Mahakam. Dan bukan tak mungkin, kebutuhan dana tersebut akan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Masalah perpanjangan kasus Mahakam ini dimulai sejak tahun 2008. Saat itu kontraktor Mahakam, perusahaan asal Perancis dan partnernya perusahaan asal Jepang, Inpex mengajukan perpanjangan Blok Mahakam yang akan habis tahun 2017.

Total telah menyampaikan proposal terbarunya pada tahun lalu. Dalam proposal tersebut Total mengajukan opsi adanya masa transisi pada lima tahun pertama setelah 2017. Pada masa transisi itu lah Total mengajukan skema partnership dengan komposisi saham 35:35:30 persen, dimana masing-masing untuk Total, Inpex dan Pertamina. Total berjanji untuk mentransfer teknologi untuk Pertamina selama masa transisi tersebut. Sementara Pertamina juga telah menyatakan minatnya kepada pemerintah untuk ikut mengelola Blok Mahakam pasca 2017. Namun pemerintah bergeming.

Kini pemerintah baru muncul dengan sejumlah opsi, dimana diantaranya memperpanjang kontrak Total selama dua tahun di Mahakam. Suatu langkah yang patut mendapat apresiasi. Meski demikian, pemerintah harus juga turut mempertimbangkan apakah hanya dengan dua tahun Pertamina sudah benar-benar dianggap mumpuni dalam mengambil alih blok sebesar Mahakam?

Bukan bermaksud meragukan kemampuan Pertamina. Namun masa transisi lima tahun adalah masa yang paling ideal bagi sebuah perusahaan untuk benar-benar mendapatkan etos kerja suatu perusahaan lain. Dengan demikian pasca lima tahun masa transisi tersebut, Pertamina akan dapat mengoperasikan Blok Mahakam dengan kekuatan yang maksimal. Selain itu, tentunya akan sangat memakan cash flow Pertamina jika setiap tahun perusahaan milik negara itu harus mengalokasikan dana sebesar $2,5 miliar untuk Mahakam saja. Bukankah Pertamina tengah fokus melakukan ekspansi di luar negeri yang tentunya membutuhkan dana puluhan miliar dollar AS.


Kini pemerintah tengah bekerja untuk memutuskan Mahakam. Kita berharap pemerintah akan menghasilkan keputusan yang win-win solution baik bagi Pertamina dan juga Total.

Naiknya Harga BBM dan Implikasinya Terhadap Konsumsi

Kurang dari sebulan menjadi presiden, Joko Widodo resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Harga premium naik Rp 2.000 menjadi Rp 8.500 per liter. Turut naik juga harga solar menjadi Rp 7.500 per liter dari sebelumnya Rp 5.500 per liter. Harga BBM baru yang akan berlaku pukul 00.00 WIB terhitung sejak 18 November 2014. Kenaikan harga BBM yang diberlakukan pemerintah akan menghasilkan penghematan anggaran hingga Rp 120 triliun mulai 2015.

Yang menarik, pengumuman tersebut dilakukan Jokowi secara langsung. Semua orang tahu bagaimana sensitifnya isu kenaikan harga BBM di Indonesia. Sudah dapat dipastikan bahwa hal ini akan memicu komentar-komentar negatif terhadap Jokowi. Jika memang Jokowi tidak ingin mengambil resiko ini, bisa saja pengumuman tersebut dilemparkan ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil ataupun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Namun itu tidak dilakukan Jokowi.

Sesaat setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) diumumkan oleh Presiden Joko Widodo, aktivis yang tergabung dalam Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) langsung mengelar aksi di pertigaan depan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kali Jaga. Aksi puluhan mahasiswa ini sebagai bentuk protes atas kenaikan harga BBM bersubsidi.

Mahasiswa memandang bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah mengkhianati rakyat dengan menaikkan harga BBM. Kepercayaan rakyat memilih Jokowi-JK menjadi pemimpin negara disalahgunakan dengan menaikkan harga BBM secara mendadak.

Ada yang salah penafsiran dalam hal ini. Sejak masa kampanye, tim Jokowi-JK sudah menyuarakan tentang pentingnya pengalihan subsidi BBM ini. Jokowi menilai kenaikan harga BBM adalah hal pertama yang harus dipecahkan pemerintahannya untuk mengakhiri defisit ganda, defisit neraca pembayaran dan defisit perdagangan. Kalau dua defisit tersebut bisa dipecahkan, Jokowi yakin bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menjadi sehat. Dan jika makan trust terhadap pemerintahan baru akan terbangun sehingga arus investasi masuk.

Jokowi berjanji bahwa rakyat akan mendapatkan keuntungan dari pengalihan anggaran subsidi BBM ke pengembangan infrastruktur, pertanian, usaha kecil, untuk solar nelayan. Untuk itu diperlukan sistem benar dan dipastikan tepat sasaran agar penyaluran subsidi bisa dipertanggungjawabkan.

Soal subsidi ini memang selalu menjadi urusan pelik. Pasalnya tak hanya pejabat, bahkan rakyat biasa pun sebenarnya paham bahwa harga BBM tidak bisa tidak harus segera dinaikkan. Sistem yang ada saat ini dinilai tidak efektif dan salah sasaran. Bayangkan, bagaimana mungkin seseorang yang sanggup membeli mobil tapi masih menikmati subsidi dari pemerintah. Sedangkan rakyat di Papua yang notabene rawan miskin malah tidak menikmatinya. Dimana rasa keadilan itu?

Meski demikian, menaikkan harga BBM adalah bola panas yang terus dihindari pemerintah. Misalnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas telah menolak untuk menaikkan harga BBM dengan alasan tidak mau menambah beban masyarakat yang sudah cukup berat. Terlebih harga BBM sudah dinaikkan pada 2013 lalu, ditambah dengan adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada tahun ini.

Padahal, dalam APBN 2014 pemerintah dan DPR telah sepakat untuk memangkas volume quota BBM bersubsidi dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kl dengan asumsi harga BBM akan dinaikkan Rp 1.000 per liter pada Agustus ini. Tak heran jika pemerintah mendatang merasa pusing tujuh keliling untuk memecahkan masalah agar subsidi BBM Indonesia tidak melebihi budget yang telah ditentukan.

Tanpa ada kenaikan harga, masyarakat akan terus boros mengonsumsi BBM bersubsidi dan kuota 46 juta kilo liter bisa terlampaui. Pertamina memperkirakan quota BBM akan melebihi 1,9 juta kiloliter pada tahun ini tanpa ada kenaikan. Nah jika ada ada kenaikan, penambahan quota diharapkan tak lebih dari 1,65 juta kiloliter. Jadi mau tidak mau memang perilaku masyarakat yang boros dalam mengkonsumsi BBM harus diubah. Pasalnya kika terus mengeluarkan anggaran subsidi BBM ratusan triliun rupiah per tahun, negara bisa bangkrut. Maka tidak ada lagi sisa untuk membangun infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Memang diakuii, pemerintahan SBY telah berulang kali melakukan kenaikan harga BBM. Bahkan tahun 2005 sempat menaikan sampai 140 persen. Tahun 2013 lalu juga sudah menaikan kembali harga BBM sekitar 33 persen. Namun bukan berarti kebijakan itu tidak bisa diambil lagi mengingat saat ini kondisinya sudah sangat mendesak. Kebijakan kenaikan harga BBM memang tidak popolis namun hanya itu satu-satunya yang bisa ditempuh untuk mengurangi defisit anggaran.

Kebijakan pemberian subsidi BBM Indonesia terus menuai kritik karena dianggap tidak mencapai sasaran. Bagaimana tidak, kalangan menengah yang dianggap mampu –setidaknya mampu membeli mobil segenap dengan segala konsekuensinya- tetap diberi kucuran subsidi oleh pemerintah.

Bank Dunia (World Bank) berulangkali telah mengeritik kebijakan pemerintah tersebut. World Bank menilai tingginya subsidi BBM dan listrik dapat menekan keuangan negara dan dapat menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan alokasi subsidi BBM untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak, seperti subsidi untuk investasi dalam bidang infrastruktur, perbaikan iklim investasi, dan perbaikan pelayanan masyarakat.

Jika Jokowi berani menaikkan harga BBM, maka sudah sepatutnya ia mendapatkan apresiasi. Pasalnya hal tersebut akan meruntuhkan dugaan pencitraan terhadap Jokowi. Resiko menaikkan harga BBM sudah jelas sangat berat, yaitu menurunnya simpati publik karena masyarakat Indonesia sangat gerah dengan keputusan kenaikan harga BBM. Turunnya Presiden Soeharto setelah 32 tahun merajai Indonesia sedikit banyak juga dipicu oleh kebijakan kenaikan harga BBM.

Rakyat Indonesia banyak menaruh harapan terhadap Jokowi. Bukan hanya soal menaikkan harga BBM, tapi juga menyelesaikan banyak pekerjaan rumah pemerintahan SBY. Sebut saja soal perpanjangan kontrak migas. Saat ini banyak blok-blok migas yang menanti kepastian pemerintah, misalnya Blok Mahakam dan Blok Masela. Padahal kedua blok tersebut akan sangat memberikan kontribusi yang signifikan pada APBN.


SBY memang terkenal dengan prinsip kehati-hatian yang amat sangat. Bahkan saking hati-hatinya, terlalu banyak kebijakan yang mengambang yang tidak membuahkan hasil. Padahal keputusan dari pemerintah telah dinanti-nantikah khalayak. DI tangan Jokowi, gebrakan-gebrakan yang tak populer itu lah yang dinanti-nanti. Sebagai mantan pengusaha, Jokowi pasti mengerti langkah-langkah apa yang harus diambil untuk meningkatkan investasi. Dan tak muluk jika kita mengharapkan Indonesia baru di masa lima tahun mendatang.

Rabu, 05 November 2014

Pemerintah Janji Putuskan Nasib Blok Mahakam Segera

Pemerintah berjanji akan segera memberikan kepastian terkait masalah perpanjangan kontrak blok-blok minyak dan gas, termasuk Blok Mahakam, yang akan habis dalam waktu dekat. Kabar baik itu datang dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.

Masalah perpanjangan blok ini memang sering kali menjadi pokok pembicaraan dari sejumlah pemain migas. Bayangkan saja, dalam lima tahun ke depan, terdapat sekitar 20 kontrak kerja sama hulu migas yang akan habis. Padahal seluruh blok tersebut memberikan kontribusi terhadap produksi migas nasional secara signifikan, yakni gas 30% dan minyak 20%. Dengan demikian harus ada kepastian apakah kontrak-kontrak itu akan diperpanjang atau tidak karena menyangkut masalah investasi dan kepastian bagi investor untuk menyusun program kerjanya.

Sementara Indonesia Petroleum Association (IPA) mengatakan 61 persen produksi sebesar 1,2 juta barel setara minyak (boepd) berasal Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang akan habis masa kontraknya dalam 10 tahun ke depan. Dan hanya 30 persen produksi migas nasional tahun 2020 berasal dari proyek-proyek migas yang saat ini dalam tahap perencanaan. Menurut IPA pengembangan potensi remaining resource memerlukan teknologi tinggi, padat modal dan tenaga kerja yang kompeten serta mempunyai keahlian khusus.

Sudirman mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengecek kembali kontrak-kontrak migas mana yang akan segera berakhir dan akan segera diputuskan. Dan pada waktunya akan diputuskan yang terbaik untuk negara. Namun, ia menegaskan, tidak harus setiap blok migas yang berakhir tidak boleh diperpanjang lagi atau diserahkan ke Pertamina untuk dikelola.

"Terbaik bukan berarti harus diberikan semua kepada Pertamina, tapi soal value added bagaimana? Sebagai contoh kita harus memikirkan memikirkan risk dan capability perusahaan-perusahaan nasional, tidak hanya Pertamina. Kita harus memikirkan Indonesia incorporated, semua perusahaan nasional harus diberi ruang yang baik untuk tumbuh bersama-sama demi kepentingan nasional. Termasuk yang lagi di-review itu tentang Blok Mahakam. Dalam waktu dekat akan ada keputusan," tuturnya.

Masalah perpanjangan kasus Mahakam ini dimulai sejak tahun 2008. Saat itu kontraktor Mahakam, perusahaan asal Perancis dan partnernya perusahaan asal Jepang, Inpex mengajukan perpanjangan Blok Mahakam yang akan habis tahun 2017. Ketika itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral masih dipegang oleh Purnomo Yusgiantoro. Tahun berganti tahun, keputusan masalah Blok Mahakam belum juga putus, bahkan ketika MESDM sudah berada di tangan Darwin Zahedi Saleh dan juga Jero Wacik yang dilantik pada Oktober 2011. Namun nyatanya hingga kini keputusan itu tak kunjung datang.

Total telah menyampaikan proposal terbarunya pada tahun lalu. Demikian pula Pertamina. Perusahaan merah itu juga telah menyatakan minatnya kepada pemerintah untuk ikut mengelola Blok Mahakam pasca 2017. Namun pemerintah bergeming.

Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono ragu untuk memutuskan kasus Mahakam. Pemerintah, kata Wacik kala itu, masih berpikir apakah akan memberikan keputusan mengenai perpanjangan kontrak Blok Mahakam saat ini atau menunggu pemerintahan baru. Apalagi blok tersebut masa kontraknya baru akan habis tahun 2017.

Padahal kepastian mengenai masalah perpanjangan kontrak demi kesinambungan produksi suatu lapangan sangat penting. Dan tentunya kepastian jauh sebelum masa kontrak berakhir akan sangat membantu dalam kesinambungan produksi suatu lapangan. Jika keputusan yang diberikan terlambat, bukan tak mungkin produksi migas akan meluncur bebas. 


Lain lagi dengan masalah operatorship. Memang harus diakui, perusahaan migas nasional jangan sampai menjadi tamu di negeri sendiri. Harus ada porsi tersendiri untuk mereka agar dapat berkiprah di Indonesia. Meski demikian, pemerintah harus mengingat bahwa industri ini adalah industri yang padat modal, sumber daya manusia dan juga teknologi. Jangan sampai hal ini diabaikan. Jadi kerjasama antara industri lokal dengan perusahaan asing masih tetap dibutuhkan hingga kita bisa mandiri dari segala aspek.