Rabu, 29 April 2015

Keputusan Mahakam, Kembali Meleset

Target pemerintah terkait penyelesaian kasus Mahakam kembali meleset, dari April entah sampai kapan. Padahal yang menjadi ironi, semakin lamanya keputusan terkait operatoship di blok tersebut dibuat, maka akan semakin berdampak pada produksi dalam masa jangka panjang.

Sebelumnya pemerintah memastikan bahwa jika tidak ada aral melintang, pada medio April ini masalah Mahakam akan selesai. Pada bulan ini diharapkan Pertamina dan Total mencapai kesepakatan mengenai masa transisi dan juga rencana pengembangan Mahakam pasca 2017. Namun dalam hitungan hari, Mei akan segera menjelang.

Pertamina sendiri mengakui belum ada pembicaraan dengan Total terkait dengan masalah transisi yang diungkapkan pemerintah. Saat ini, menurut Pertamina, Total masih menanti keputusan terkait pengoperasian Mahakam dari pemerintah. Dengan demikian maka pembahasan terkait heads of agreements mengenai masa transisi sebelum 2017 yang diinginkan Pertamina belum dapat dimulai.

Nah bisa dibayangkan jika saja pembahasan tersebut belum dimulai, lalu kapan keputusan mengenai operatorship bisa dilakukan? Bukan tak mungkin, itu baru terjadi dalam dua atau tiga bulan mendatang. Dan tentu saja semakin lama keputusan itu diambil maka produksi Mahakam bisa terancam.

Saat ini, selain transisi, masalah krusial lainnya adalah siapa saja perusahaan yang akan digandeng Pertamina per Januari 2018. Memang dalam berbagai kesempatan Pertamina senantiasa menegaskan akan bekerjasama dengan Total. Pertamina sendiri telah menyiapkan opsi untuk menggandeng Total E&P Indonesie dalam mengelola blok di delta Sungai Mahakam tersebut. Syaratnya, Total memberikan masa transisi sebelum kontrak pengelolaan berakhir pada 2017. Kemudian setelah 2017, Total akan turut menjadi operator.

Selain Total, Pertamina diminta pemerintah untuk juga menggandeng Pemerintah Daerah Kalimantan Timur. Yang menjadi masalah pemerintah telah menegaskan bahwa pemda tidak boleh menggandeng perusahaan swasta dalam mengelola Mahakam. Semua pendanaan harus dilakukan oleh pemda sendiri agar mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. Namun pemda juga telah berkali-kali mengatakan bahwa tanpa pihak swasta, pihaknya akan sulit mendanai Mahakam.

Kini pemerintah harus bergerak cepat. Langkah awal adalah dengan memberikan surat keputusan ke SKK Migas. Dan selanjutnya SKK Migas memberikan surat tersebut ke pihak Total. Secara pararel mungkin Pertamina sudah mulai dapat melakukan diskusi dengan Total terkait kemungkinan masa transisi. Memang harus diakui, permintaan masa transisi ini agak sulit mengingat klausul tersebut tidak tercantum dalam kontrak kerja sama (PSC). Jika ada pemaksaan dari pemerintah, tentu jelas itu akan mencederai kontrak.

Meski demikian masa transisi itu bukan mustahil terjadi jika memang timbal balik untuk Total dalam pengelolaan Mahakam cukup ekonomis dan menguntungkan. Namun tentunya harus dilakukan berdasarkan pendekatan business to business dan simbiosis mutulisme bagi kedua belah pihak.


Pemerintah memang menginginkan agar setidaknya Pertamina menjadi pemilik saham mayoritas di tahun 2018, meski bagaimanapun Total harus diikutsertakan. Memang di atas kertas Pertamina merasa mampu untuk mengelola Mahakam, meski harus diakui tampaknya perusahaan plat merah itu kemungkinan bisa kesandung masalah dana karena keterbatasan kemampuan. Pertamina, menurut ESDM, bersedia menginvestasikan dana sebesar US$ 25,2 miliar selama 20 tahun di Mahakam. Jika dibagi 20 tahun, maka hanya ada dana sekitar US$ 1,26 miliar yang diinjeksikan untuk Mahakam. Percayalah, kolaborasi Pertamina dan Total masih merupakan opsi yang terbaik dalam pengelolaan Mahakam.

Jumat, 24 April 2015

Total Komit Tetap Investasi di Mahakam

Kendati kontrak PT Total E&P Indonesie di Blok Mahakam akan berakhir pada akhir 2017, namun perusahaan minyak asal Perancis itu tetap akan menanamkan investasi di Blok Mahakam dalam beberapa tahun ke depan. Langkah tersebut penting untuk tetap mempertahankan produksi di blok tersebut.

Kesinambungan suatu produksi memang tak lepas dari komitmen investasi suatu perusahaan. Apalagi untuk blok tua seperti Mahakam yang membutuhkan kegiatan eksplorasi dan pengembangan lebih jauh untuk menjaga produksi tidak turun. Nah ini lah yang akan dilakukan Total dalam menjaga produksi Mahakam. Memang harus diakui, dibutuhkan jiwa besar untuk tetap terus melakukan investasi di tengah ketidakpastian mengenai perpanjangan kontrak di Mahakam.

Total tidak mengurangi besaran investasi di Blok Mahakam. Pada tahun ini, nilai investasi Total mencapai US$ 2,4 miliar. Angka ini sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang ditetapkan pemerintah melalui SKK Migas. Menurut Hardy investasi tersebut tidak akan dikurangi untuk menjaga tingkat produksi Blok Mahakam. Apalagi masih ada kontrak penjualan gas ke Jepang sampai 2022.

“POD (plan of development) yang sudah disetujui kita hormati, harus diikuti secara profesional. Karena kalau POD sudah disetujui SKK Migas kita harus jalankan,” kata dia.

Keseriusan Total ini sebelumnya juga pernah ditunjukan pada tahun lalu dengan tetap melakukan pengembangan-pengembangan untuk menjaga level produksi. Proyek Sisi Nubi Fase 2B yang menelan investasi sebesar US$ 739 juta adalah salah satu contoh pengembangannya. Proyek yang bagian dari proyek MP3EI yang telah dicanangkan sejak beberapa waktu lalu secara resmi diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 15 September 2014.

Dalam pengembangan proyek Sisi-Nubi Fase 2, Total akan menambah 35 sumur dan menelan biaya US$1.033 miliar, dimana US$ 739 juta dialokasikan untuk Fase 2B. Suatu angka fantastis meski di tengah ketidakjelasan nasibnya dalam pengelolaan blok tersebut.

Memang Mahakam adalah pemasok gas terbesar, yaitu sebesar 80 persen bagi kilang LNG Bontang di Kalimantan Timur. Kilang itu sendiri sebagian besar diperuntukan ekspor ke negara-negara Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Jika saja produksi Mahakam turun, maka sudah pasti penerimaan negara juga akan anjlok. Dan bukan tak mungkin Indonesia harus menelan pil pahit, dari mulai kemungkinan membayar penalti dan juga dibawa ke arbitrase internasional.


Nah, keseriusan Total memang sudah tampak jelas. Duet Pertamina dan Total dalam mengelola Mahakam pasca 2017 bisa jadi merupakan solusi terbaik. Itu adalah win-win solution yang membawa kebaikan bagi negara ini. 

Selasa, 14 April 2015

April, Masalah Blok Mahakam Selesai

Jika tidak ada aral melintang, pada medio April ini masalah Mahakam akan selesai. Pada bulan ini diharapkan Pertamina dan Total mencapai kesepakatan mengenai masa transisi dan juga rencana pengembangan Mahakam pasca 2017.

Masalah transisi ini memang akan dituangkan dalam Heads of Agreements antara kedua belah pihak. Hingga saat ini pembahasannya tengah berlangsung. Masalah berapa besar saham Total di Mahakam nanti bisa menjadi salah satu bargaining power bagi Total untuk menentukan masa transisi. Maklum saja, klausul mengenai masa transisi ini tidak ada dalam kontrak Total E&P Indonesia dan Inpex Corporation dengan pemerintah.

Pertamina sendiri telah menyiapkan opsi untuk menggandeng Total E&P Indonesie dalam mengelola blok di delta Sungai Mahakam tersebut. Syaratnya, Total memberikan masa transisi sebelum kontrak pengelolaan berakhir pada 2017. Kemudian setelah 2017, Total akan turut menjadi operator. Namun sampai saat ini, belum ada pembicaraan mengenai berapa persen saham yang akan didapatkan Total setelah kontrak berakhir.

Memang tidak bisa tidak, Total harus diikutsertakan dalam pengelolaan Mahakam pasca 2017. Hal itu telah diutarakan pemerintah berulangkali. Mengelola Mahakam memang tidak mudah karena usianya yang sudah tidak lagi muda sehingga investasipun secara otomatis akan meningkat. Jadi mau tidak mau, Total tetap harus dilibatkan pasca 2017. Perusahaan plat merah Indonesia akan mendapatkan teknologi terbaru dan etos kerja dari Total yang berguna ketika melakukan ekspansi ke luar negeri. Dan lagi, yang tak dapat dihindari adalah pentingnya Total untuk menunjang operasional Mahakam. Dengan modal sebesar US$ 2,5 miliar per tahun tentunya akan sulit bagi Pertamina untuk mengelola Mahakam sendirian.

Pemerintah memang menginginkan agar setidaknya Pertamina menjadi pemilik saham mayoritas di tahun 2018, meski bagaimanapun Total harus diikutsertakan. Memang di atas kertas Pertamina merasa mampu untuk mengelola Mahakam, meski harus diakui tampaknya perusahaan plat merah itu kemungkinan bisa kesandung masalah dana karena keterbatasan kemampuan. Pertamina, menurut ESDM, bersedia menginvestasikan dana sebesar US$ 25,2 miliar selama 20 tahun di Mahakam. Jika dibagi 20 tahun, maka hanya ada dana sekitar US$ 1,26 miliar yang diinjeksikan untuk Mahakam.


Percayalah, kolaborasi Pertamina dan Total masih merupakan opsi yang terbaik dalam pengelolaan Mahakam. Toh jalan ini diambil demi keuntungan negara ini pula. Dan kini, April hampir habis. Kita berharap masalah ini segera diputuskan demi terjaganya level produksi Mahakam di masa mendatang.

Sabtu, 11 April 2015

Pemerintah Segera Keluarkan Permen Perpanjangan Kontrak Migas

Setelah dinanti sekian lama, akhirnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengeluarkan peraturan menteri (Permen) yang mengatur pengelolaan blok-blok minyak dan gas bumi (migas) yang akan habis masa kontraknya. Penerbitan Permen tersebut guna memberikan kejelasan terhadap status blok-blok migas tersebut. Apalagi, terdapat sebanyak 28 blok migas yang akan habis kontraknya dalam kurun tujuh tahun ke depan.

Rencana dikeluarkannya Permen Perpanjangan Blok Migas ini sebenarnya telah direncanakan sejak jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Rencananya hal ini akan dijadikan legal basis dari perpanjangan seluruh blok migas di Indonesia, termasuk Mahakam. Namun nyatanya pembahasannya belum juga usai. Padahal rencana awalnya, aturan tersebut akan diterbitkan pada tahun 2014.

Menurut Satuan Kerja Usaha Hulu Migas (SKK Migas), Ada beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian dalam peraturan perpanjangan kontrak blok migas. Pertama, adalah mengenai jangka waktu pengajuan perpanjangan kontrak yang akan habis. Saat ini, untuk mengajukan kontrak perpanjangan itu jangka waktunya berkisar dua sampai 10 tahun sebelum masa kontrak berakhir. Hal tersebut tidak efektif karena industri migas membutuhkan dana investasi yang besar, sehingga perlu kepastian sejak jauh-jauh hari.

Kedua, adalah kriteria untuk memperpanjang kontrak. Selama ini untuk memperpanjang kontrak migas hanya berdasarkan kinerja. Dia ingin salah satu pertimbangan ke depan juga harus melihat pemulihan lingkungan. Kontrak-kontrak yang akan habis saat ini merupakan kontrak yang tidak mewajibkan kontraktor untuk melakukan pemulihan lingkungan. Ini karena kontrak-kontrak blok Migas yang akan habis merupakan kontrak yang dilakukan sebelum 1994 dan tidak ada kewajiban untuk itu.

Ketiga, adalah mengenai saham partisipasi atau participating interest (PI). Menurut SKK Migas, tidak hanya daerah saja yang mendapatkan PI, tetapi PT Pertamina (Persero) juga harus mendapatkan PI khusus jika ada blok migas yang ingin diperpanjang.

Memang tidak dapat disangkal, kepastian mengenai masalah perpanjangan kontrak demi kesinambungan produksi suatu lapangan sangat penting. Dan tentunya kepastian jauh sebelum masa kontrak berakhir akan sangat membantu dalam kesinambungan produksi suatu lapangan.

Selain itu pemerintah diharapkan memperlihatkan proses yang transparan dalam menentukan diperpanjang atau tidaknya suatu kontrak. Kasus tidak diperpanjangnya KKKS Chevron di Blok Siak pada detik-detik terakhir, bisa menjadi pembelajaran sendiri, karena hal tersebut menunjukkan bagaimana pemerintah tidak bisa memberikan kepastian investasi bagi para penanam modal.

IPA mencatat bahwa dalam lima tahun mendapat terdapat sekitar 20 perusahaan minyak yang masa kontraknya akan habis dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Dan pengaruhnya terhadap produksi minyak nasional mencapai 30 persen. Sedangkan dalam 10 tahun mendatang, kontrak yang akan habis mencapai equivalent 61 persen atau setara dengan sekitar 601.000 barel oil equivalent per day (setara minyak per hari) terhadap produksi migas nasional. Sedangkan produksi migas nasional saat ini hanya mencapai sekitar 2 juta barrel setara minyak per hari.


Kepastian perpanjangan kontrak sangat dibutuhkan bagi kesinambungan produksi suatu blok itu sendiri. Dapat dibayangkan jika tanpa kepastian, maka investor tidak akan menanamkan modal untuk pengembangan blok tersebut. Hal ini pernah terjadi pada blok West Madura Offshore, dimana operator terdahulunya yaitu Kodeco tidak lagi menginjeksikan dana investasi pengembangan akibat ketidakpastian perpanjangan kontrak dari pemerintah. Akibatnya produksi blok tersebut jeblok dan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai angka produksi normal.