Rabu, 01 Januari 2014

Peningkatan Investasi vs Turunnya Produksi Migas Indonesia

skalanews.com
Faktor ketidakpastian hukum di Indonesia sudah lama menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk diantaranya para pelakunya yang tergabung dalam Indonesian Petroleum Association. Mereka menilai kebijakan pemerintah yang ada saat ini amat kontraproduktif terhadap target pencapaian produksi sebesar 1 juta barrel per hari yang semula diharapkan dapat dicapai pada tahun 2014.

Meski demikian, ternyata Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menargetkan pertumbuhan investasi pada tahun ini meski di atas kertas produksi Indonesia hanya akan berada di kisaran 804.000 barrel per hari dibandingkan target Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2014 sebesar 870.000 barrel per hari. Berdasarkan pembahasan rencana kerja dan anggaran (work program and budget/WP&B) antara SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), nilai investasi kegiatan hulu migas tahun ini diperkirakan naik 32 persen menjadi US$ 25,64 miliar. Sedangkan realisasi investasi hulu migas tahun 2013 mencapai US$19,342 miliar.

Besaran investasi 2014 tersebut terdiri dari kegiatan eksplorasi sebesar US$3,84 miliar, administrasi US$1,6 miliar, pengembangan US$5,3 miliar, dan produksi sebanyak US$14,9 miliar. Rencana kegiatan yang akan dilakukan, tambahnya, antara lain, survei seismik dua dimensi (2D) sepanjang 9.020 kilometer (km), seismik tiga dimensi (3D) seluas 11.633 km persegi, pengeboran sumur eksplorasi sebanyak 205, pengembangan 1.364 sumur, dan kerja ulang (work over) sebanyak 932 sumur, serta perawatan sumur (well services) sebanyak 33.060.

Ketua Pelaksana SKK Migas Johanes Widjonarko menyatakan pihaknya mendorong peningkatan investasi, khususnya pada kegiatan eksplorasi untuk penemuan cadangan baru.

Memang kegiatan eksploitasi migas tak lepas dari kegiatan eksplorasi. Itu adalah kunci utama. Tanpa kegiatan eksplorasi, maka mustahil peningkatan produksi migas bisa dilakukan.

Kegiatan eksplorasi memang sangat beresiko karena tingginya investasi yang dibutuhkan. Padahal di satu sisi pemerintah tidak menanggung segala bentuk pengeluaran –dikenal dengan sebutan cost recovery- yang dilakukan suatu Kontraktor Kontrak Kerja Sama dalam melakukan kegiatan eksplorasi. Jadi semua resiko murni ditanggung oleh KKKS sendiri. Sementara cadangan migas Indonesia sudah mulai beralih ke laut dalam atau Indonesia bagian timur yang relative lebih sulit dan memakan investasi yang lebih besar. Jadi bisa dibayangkan, betapa tingginya resiko kegiatan eksplorasi migas di Indonesia!

Menyinggung soal estimasi pencapaian produksi tahun ini yang jauh dari target APBN, SKK Migas pernah mengungkapkan bahwa salah satu penyebabnya adalah adanya patokan (capping) cost recovery di APBN. Padahal KKKS menilai untuk memproduksi sebesar angka 804.000 barrel per hari saja, setidaknya dibutuhkan biaya sebesar US$ 20 miliar pada tahun ini. Namun apa daya, Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyepakati untuk mematok cost recovery sebesar US$15 miliar saja. Tingginya asumsi cost recovery Indonesia memang tidak lepas dari kondisi lapangan migas nasional yang sudah tua sehingga membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Bahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik pernah mengibaratkan lapangan migas Indonesia sama seperti orang yang sudah lanjut usia yang biasanya membuthkan biaya pengobatan ekstra.

Cost recovery ini memang menjadi salah satu hal yang dianggap tidak pro investor. Selain itu, isu lainnya adalah masalah ketidakpastian hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah sangat lamban dalam mengambil setiap keputusan, terutama masalah perpanjangan kontrak blok migas.

Wood Mckenzie pernah merilis bahwa setidaknya terdapat 20 Kontrak Kerja Sama (KKS) yang akan habis masa kontraknya pada lima tahun mendatang. Produksi total kelima KKS itu mencapai 635.000 barrel per hari pada tahun 2013 atau setara dengan 30 persen dari total produksi migas nasional saat ini. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa keputusan pemerintah terkait perpanjangan kontrak Blok Mahakam yang saat ini dioperatori Total E&P Indonesie adalah salah satu titik kritikal terkait dengan nasib perpanjangan blok lainnya.

Total telah mengajukan perpanjangan kontrak Blok Mahakam sejak tahun 2008. Namun hingga kini pemerintah tetap belum memberikan keputusan. Padahal keputusan cepat sangat dibutuhkan karena terkait dengan rencana pengembangan Mahakam yang hingga saat ini masih tercatat sebagai blok yang memproduksi gas terbesar di Indonesia. Dengan produksi sekitar 1,7 miliar kaki kubik per hari, Mahakam memasok 80% kebutuhan gas Kilang Bontang yang kemudian memprosesnya menjadi LNG. Selanjutnya LNG tersebut diekspor ke sejumlah konsumen di Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.

Masih terkait dengan urusan perpanjangan kontrak, tentunya publik tak akan lupa bagaimana pemerintah mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang kontrak Chevron di Blok Siak tahun silam persis ketika kontrak berakhir pada 27 November. Dan sekonyong-konyong menyerahkan blok tersebut ke Pertamina. Padahal Chevron telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak tahun 2010. Sejumlah pihak menilai bahwa keputusan pemerintah dan cara pemerintah untuk memutuskan hal tersebut hanya menambah daftar panjang buruknya iklim investasi migas di Indonesia.

Kini di tahun 2014, Indonesia akan disibukan dengan Pemilihan Presiden. Terhitung sejak bulan April, negara ini akan memfokuskan diri pada kegiatan Pemilu. Lalu bagaimana dengan nasib perpanjangan sejumlah blok migas kita? Bagaimana nasib Mahakam? Bagaimana nasib Blok Masela? Bagaimana nasib Blok East Natuna? Masih banyak pekerjaan rumah pemerintah yang jauh dari selesai. Dan untuk itu pemerintah harus serius untuk menuntaskan semua PR tersebut sebelum Pemilu dimulai.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar