skalanews.com |
Faktor
ketidakpastian hukum di Indonesia sudah lama menjadi sorotan berbagai pihak,
termasuk diantaranya para pelakunya yang tergabung dalam Indonesian Petroleum
Association. Mereka menilai kebijakan pemerintah yang ada saat ini amat
kontraproduktif terhadap target pencapaian produksi sebesar 1 juta barrel per
hari yang semula diharapkan dapat dicapai pada tahun 2014.
Meski
demikian, ternyata Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)
menargetkan pertumbuhan investasi pada tahun ini meski di atas kertas produksi
Indonesia hanya akan berada di kisaran 804.000 barrel per hari dibandingkan
target Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2014 sebesar 870.000 barrel per hari.
Berdasarkan pembahasan rencana kerja dan anggaran (work program
and budget/WP&B) antara SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS),
nilai investasi kegiatan hulu migas tahun ini diperkirakan naik 32 persen
menjadi US$ 25,64 miliar. Sedangkan realisasi investasi hulu migas tahun 2013 mencapai
US$19,342 miliar.
Besaran
investasi 2014 tersebut terdiri dari kegiatan eksplorasi sebesar US$3,84
miliar, administrasi US$1,6 miliar, pengembangan US$5,3 miliar, dan produksi
sebanyak US$14,9 miliar. Rencana kegiatan yang akan dilakukan, tambahnya,
antara lain, survei seismik dua dimensi (2D) sepanjang 9.020 kilometer (km),
seismik tiga dimensi (3D) seluas 11.633 km persegi, pengeboran sumur eksplorasi
sebanyak 205, pengembangan 1.364 sumur, dan kerja ulang (work over)
sebanyak 932 sumur, serta perawatan sumur (well services) sebanyak 33.060.
Ketua
Pelaksana SKK Migas Johanes Widjonarko menyatakan pihaknya mendorong
peningkatan investasi, khususnya pada kegiatan eksplorasi untuk penemuan
cadangan baru.
Memang
kegiatan eksploitasi migas tak lepas dari kegiatan eksplorasi. Itu adalah kunci
utama. Tanpa kegiatan eksplorasi, maka mustahil peningkatan produksi migas bisa
dilakukan.
Kegiatan
eksplorasi memang sangat beresiko karena tingginya investasi yang dibutuhkan.
Padahal di satu sisi pemerintah tidak menanggung segala bentuk pengeluaran –dikenal
dengan sebutan cost recovery- yang dilakukan suatu Kontraktor Kontrak Kerja
Sama dalam melakukan kegiatan eksplorasi. Jadi semua resiko murni ditanggung
oleh KKKS sendiri. Sementara cadangan migas Indonesia sudah mulai beralih ke
laut dalam atau Indonesia bagian timur yang relative lebih sulit dan memakan
investasi yang lebih besar. Jadi bisa dibayangkan, betapa tingginya resiko
kegiatan eksplorasi migas di Indonesia!
Menyinggung
soal estimasi pencapaian produksi tahun ini yang jauh dari target APBN, SKK
Migas pernah mengungkapkan bahwa salah satu penyebabnya adalah adanya patokan
(capping) cost recovery di APBN. Padahal KKKS menilai untuk memproduksi sebesar
angka 804.000 barrel per hari saja, setidaknya dibutuhkan biaya sebesar US$ 20
miliar pada tahun ini. Namun apa daya, Dewan Perwakilan Rakyat sudah
menyepakati untuk mematok cost recovery sebesar US$15 miliar saja. Tingginya
asumsi cost recovery Indonesia memang tidak lepas dari kondisi lapangan migas
nasional yang sudah tua sehingga membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Bahkan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik pernah mengibaratkan lapangan
migas Indonesia sama seperti orang yang sudah lanjut usia yang biasanya
membuthkan biaya pengobatan ekstra.
Cost
recovery ini memang menjadi salah satu hal yang dianggap tidak pro investor.
Selain itu, isu lainnya adalah masalah ketidakpastian hukum. Sudah menjadi
rahasia umum bahwa pemerintah sangat lamban dalam mengambil setiap keputusan,
terutama masalah perpanjangan kontrak blok migas.
Wood
Mckenzie pernah merilis bahwa setidaknya terdapat 20 Kontrak Kerja Sama (KKS)
yang akan habis masa kontraknya pada lima tahun mendatang. Produksi total
kelima KKS itu mencapai 635.000 barrel per hari pada tahun 2013 atau setara
dengan 30 persen dari total produksi migas nasional saat ini. Laporan tersebut
juga menyebutkan bahwa keputusan pemerintah terkait perpanjangan kontrak Blok
Mahakam yang saat ini dioperatori Total E&P Indonesie adalah salah satu
titik kritikal terkait dengan nasib perpanjangan blok lainnya.
Total
telah mengajukan perpanjangan kontrak Blok Mahakam sejak tahun 2008. Namun
hingga kini pemerintah tetap belum memberikan keputusan. Padahal keputusan
cepat sangat dibutuhkan karena terkait dengan rencana pengembangan Mahakam yang
hingga saat ini masih tercatat sebagai blok yang memproduksi gas terbesar di
Indonesia. Dengan produksi sekitar 1,7 miliar kaki kubik per hari, Mahakam
memasok 80% kebutuhan gas Kilang Bontang yang kemudian memprosesnya menjadi
LNG. Selanjutnya LNG tersebut diekspor ke sejumlah konsumen di Asia, seperti
Jepang, Taiwan dan Korea Selatan.
Masih
terkait dengan urusan perpanjangan kontrak, tentunya publik tak akan lupa
bagaimana pemerintah mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang kontrak
Chevron di Blok Siak tahun silam persis ketika kontrak berakhir pada 27
November. Dan sekonyong-konyong menyerahkan blok tersebut ke Pertamina. Padahal
Chevron telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak tahun 2010. Sejumlah pihak
menilai bahwa keputusan pemerintah dan cara pemerintah untuk memutuskan hal
tersebut hanya menambah daftar panjang buruknya iklim investasi migas di
Indonesia.
Kini
di tahun 2014, Indonesia akan disibukan dengan Pemilihan Presiden. Terhitung
sejak bulan April, negara ini akan memfokuskan diri pada kegiatan Pemilu. Lalu
bagaimana dengan nasib perpanjangan sejumlah blok migas kita? Bagaimana nasib
Mahakam? Bagaimana nasib Blok Masela? Bagaimana nasib Blok East Natuna? Masih
banyak pekerjaan rumah pemerintah yang jauh dari selesai. Dan untuk itu
pemerintah harus serius untuk menuntaskan semua PR tersebut sebelum Pemilu
dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar