Kamis, 30 Januari 2014

Produksi Migas Indonesia Sudah SOS!

tribunnews.com
Setelah bertahun-tahun gagal dalam mencapai target produksi minyak dan gas nasional, tahun ini pemerintah kembali berwacana untuk menurunkan target produksi yang telah ditetapkan dalam Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) 2014. Alasannya, selain cuaca ekstrem, tak tercapainya target lifting juga disebabkan karena produksi minyak di Blok Cepu mengalami kemunduran. Seharusnya Cepu berproduksi pada Juli 2014. Namun karena terkendala teknis maka Blok Cepu ditargetkan berproduksi November 2014.

Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memperkirakan akibat cuaca ekstrem, negara kehilangan produksi minyak mentah dan kondensat sebesar 70.000 barrel per hari, sehingga berakibat merosotnya produksi minyak nasional.

Saat ini produksi rata-rata minyak nasional merosot hingga 745.000 barrel per hari. Turunnya produksi dikarenakan putusnya tali pengikat kapal floating storage and off loading (FSO) Cinta Natomas dari alat tambatnya. Sehingga berakibat produksi dari Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java, Mobil Cepu Limited dan Pertamina EP Cepu tidak dapat disalurkan. Selain itu, potensi produksi akibat bornya hose yang menghubungkan alat tambat dengan FSO Abherka west Madura Offshore mencapai 22.500 barrel per hari. Bahkan kehilangan potensi kehilangan produksi sebesar 1.500 barrel per hari juga menimpa PT Sele Raya.

Sebelumnya SKK Migas pernah melansir bahwa untuk tahun ini Indonesia sangat bertumpu pada 13 proyek minyak dan gas bumi yang direncanakan berproduksi tahun 2014. Total kapasitas produksi dari seluruh proyek tersebut adalah 954 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd) dan 194.121 barel minyak per hari.  Salah satu proyek yang menjadi andalan adalah Blok Mahakam yang dikelola Total E&P Indonesie diharapkan dapat berproduksi total sebesar 645 juta kaki kubik per hari dan 6.521 barrel liquid per hari pada tahun ini. Sedangkan Cepu yang dikelola ExxonMobil Oil Indonesia diharapkan dapat mencapai kapasitas produksi sebesar 165.000 barrel per hari pada kuartal keempat 2014 dengan sejumlah tantangan yang bakal dihadapi, yakni masalah sosial ekonomi dan keterlambatan dalam proses rekayasa, pengadaan, dan konstruksi fasilitas.

Cuaca ekstrim memang bisa dibilang sebagai force majeure, suatu keadaan yang tidak diduga. Tapi inti permasalahan dari kegagalan dalam pencapaian target produksi adalah tidak adanya penemuan baru yang signifikan yang dapat menambah cadangan minyak kita (reserve replacement ratio).

Peningkatan eksplorasi memang satu-satunya cara yang harus diambil untuk meningkatkan produksi migas nasional, khususnya di masa mendatang. Namun tingkat minat eksplorasi itu berkaitan dengan banyak hal, termasuk diantaranya paket kebijakan ekonomi berupa insentif dan iklim investasi di negara ini.

Sejumlah pihak menilai kondisi industri migas nini ditengarai sebagai akibat akumulasi permasalahan di hulu migas yang mirip dengan bola salju, baik terkait sistem pengelolaan yang memakai pola pemerintah – swasta maupun masalah nonteknis seperti terkait ketidakpastian aturan main, koordinasi pemerintah lemah, kendala pembebasan lahan, dan kendala sosial.

Tak hanya itu lambannya pemerintah dalam mengambil keputusan strategis dalam industri migas, turut memberikan ketidaknyamanan bagi investor. Lambannya pemerintah terlihat dari sejumlah kasus perpanjangan blok yang nasibnya terkatung-katung hingga kini. Sebut saja Blok Mahakam yang dioperatori Total dan Inpex dan juga Blok Masela yang dikelola Inpex. Total telah menyatakan komitmennya untuk menginjeksikan investasi sebesar $7,3 miliar hingga 2017 jika pemerintah memperpanjang blok tersebut.

Proposal perpanjangan Blok Mahakam sendiri sudah diajukan Total sejak 2008, namun hingga kini belum ada keputusan. Sementara pemerintah harus berkejaran dengan waktu agar produksi di Mahakam tidak menurun drastic akibat ketidakjelasan ini. Apalagi Mahakam adalah pemasok gas terbesar, yaitu sebesar 80 persen bagi kilang LNG Bontang di Kalimantan Timur. Kilang itu sendiri sebagian besar diperuntukan ekspor ke negara-negara Asia, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Jika saja produksi Mahakam turun, maka sudah pasti penerimaan negara juga akan anjlok.

Kini saatnya pemerintah serius menggarap kebijakan migas dan memberikan kepastian bagi investor. Bagaimanapun juga Indonesia masih membutuhkan investor asing mengingat industri migas adalah industri yang padat karya, padat modal dan padat teknologi. Apalagi cadangan migas yang tersisa saat ini hanya tinggal di wilayah laut dalam yang lebih membutuhkan investasi besar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar