inilah.com |
Pro dan kontra kenaikan harga elpiji di awal tahun
2014 masih belum lepas dari ingatan kita. Saat itu masyarakat tercengang dengan
keputusan Pertamina untuk menaikan harga elpji sebesar 68 persen atau sekitar
Rp 3.900/kilogram. Padahal untuk kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
sebesar Rp 1.000/liter saja, pemerintah sudah melakukan sosialiasi sejak
jauh-jauh hari. Bukankah elpji dan BBM adalah sama-sama bahan bakar yang
terkait erat dengan hajat kehidupan orang banyak?
Makanya tak heran jika Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono segera ikut campur dengan menyatakan bahwa Pertamina harus melakukan
review terkait dengan kenaikan tersebut. Dan akhirnya, seperti sudah ditebak
harga diturunkan. Sehingga kenaikan harga hanya sebesar Rp 1.000/kg dari harga
semula sebesar Rp 5.850/kg. Banyak kejadian menggelikan yang terjadi dalam
kasus kenaikan elpiji ini. Ibarat masyarakat sedang menonton dagelan ala
srimulat di panggung pemerintahan.
Pertama, sejumlah menteri terkait seperti Menteri
Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Jero Wacik dan Menter Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengaku pemerintah
tidak bisa intervensi urusan Pertamina. Pasalnya kenaikan harga elpji adalah
kewenangan korporat. Bagaimana bisa hal tersebut terjadi? Pertamina adalah
BUMN, setiap kebijakan perseroan harus melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang
Saham yang dipegang oleh pemerintah. Lalu bagaimana pemerintah mengatakan tidak
bisa intervensi? Namun memang pada akhirnya Dahlan Iskan mengakui kesalahannya
dengan mengatakan ‘semua salah saya’.
Kedua, sejalan dengan akan digelarnya Pemilihan
Umum pada April tahun ini, sejumlah partai politik mengambil kesempatan untuk
menarik perhatian konsituen dengan menolak kebijakan kenaikan. Yang lebih menggelikan
lagi, Partai Demokrat turut menolak kebijakan tersebut. Bahkan Sekjen Partai
Demokrat (Edhie Naskoro Yudhoyono menegaskan bahwa kenaikan hanya akan
membebani biaya hidup rakyat dan meminta pemerintah dan PT Pertamina segera
mengevaluasi dan membatalkan keputusan kenaikan tersebut.
Ketiga, usai menurunkan harga, Pertamina
memperkirakan proyeksi pertumbuhan profit perseroan tahun 2014 akan turun dari
semula 13,17 persen menjadi hanya 5,65 persen. tahun 2014, maka potensi dividen
yang bakal diperoleh pemerintah dari badan usahanya ini juga akan ikut menurun.
Namun
demikian, untuk besaran dividen yang akan diterima pemerintah dari Pertamina
sendiri belum dipastikan. Pada tahun 2012, Pertamina menyetorkan Rp 7,74
triliun dividen kepada pemerintah.
Untuk itu pihak direksi mengajukan revisi Rencana
Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2014 yang menyangkut proyeksi
kerugian bisnis elpiji 12 kg bertambah menjadi sebesar US$ 510 juta atau
sekitar Rp 5,4 triliun dengan asumsi kurs Rp 10.500 per US$.
Pertamina menargetkan laba bersih perusahaan
sebesar US$3,44 miliar pada 2014 yang diperoleh dari pertumbuhan agresif pada
seluruh lini bisnis perusahaan baik hulu maupun hilir. Sementara itu target
perolehan pendapatan senilai US$79 miliar atau setara dengan Rp 830 triliun
dengan asumsi kurs rupiah terhadap dolar Rp10.500/US$. Angka pendapatan
tersebut lebih tinggi sekitar 6% dibandingkan dengan prognosa pendapatan
2013.
Di bawah kepempimpinan Karen Agustiawan, Pertamina memiliki ambisi besar
untuk menjadi World Energy Company atau perusahaan energy multinasional.
Pertamina berambisi dapat menyaingi perusahaan asal Malaysia Petronas dalam
waktu dekat dan juga atau perusahan-perusahaan energi berstatus BUMN dari
negara lain.
Tak mau kalah dengan Petronas yang memiliki twin towers, Pertamina juga
akan membangun gedung pencakar langit di Jakarta Selatan. Gedung bernama
Pertamina Energy Tower (PET) tersebut dimaksudkan sebagai representasi PT Pertamina
yang bertransformasi menjadi perusahaan energi kelas dunia. Gedung yang
membutuhkan dana sebesar Rp 200 miliar dan memiliki tinggi 530 meter tersebut
akan menjadi landmark tertinggi di Indonesia yang direncanakan selesai
dan disempurnakan pada 2020 mendatang. Fisik gedung sendiri diproyeksikan
selesai dibangun 2014.
Tapi apakah memiliki gedung pencakar langit adalah jawaban untuk menjadi
perusahaan kelas dunia? Mari kita lihat portfolio perusahaan. Pertamina di
tahun 2013 memang melakukan aksi akuisisi secara besar-besaran. Miliaran dolar
berhasil dikucurkan untuk mengakusisi blok-blok di Irak dan juga Aljazair.
Sejumlah blok di dalam negeri juga tak ketinggalan.
Pada 2014, Pertamina menargetkan produksi minyak bisa mencapai
284 ribu barel per hari dan gas 1.567 juta kaki kubik per hari (million
standard cubic feet per day/mmscfd). Angka tersebut lebih besar
dibandingkan dengan target 2013 sebesar 243.920 barel per hari atau naik 24,4 persen
dibandingkan 2012 sebesar 196.060 barel per hari. Angka realisasi 2013 memang
belum diaudit, namun diperkirakan tidak mencapai target.
Sebagai perusahan plat merah, Pertamina menguasai hampir seluruh
blok-blok migas di negara ini. Bisa dikatakan Pertamina memonopoli industri
migas di Indonesia. Namun mengapa produksi minyaknya hanya di kisaran 200.000
barrel per hari dan gas 1,5 miliar kaki kubik per hari? Apakah ada yang salah
dalam kegiatan eksploitasi dan eksplorasi perusahaan?
Hingga saat ini Chevron masih merupakan penghasil minyak terbesar di
angka sekitar 320.000-340.000 barrel per hari. Padahal produksi tersebut hanya
berasal dari wilayah kerja di Sumatra tengah. Sementara produsen gas terbesar
di Indonesia masih dipegang oleh Total E&P sebesar 1.7 miliar kaki kubik
per hari. Lagi-lagi produksi tersebut
hanya berasal dari Blok Mahakam saja. Bisa dibayangkan satu blok dibanding
dengan hampir seluruh blok di Indonesia ini, Chevron dan Total masih lebih
unggul dibandingkan Pertamina.
Untuk itu sudah saatnya Pertamina membenahi diri. Tidak hanya sibuk
memberi polesan, namun melakukan perbaikan dari dasar. Sebagai perusahaan
migas, tentunya Pertamina harus memfokuskan diri pada kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi. Dan untuk itu banyak ilmu yang harus ditimba agar benar-benar bisa
menjadi perusahaan nasional multinasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar