Rabu, 29 Januari 2014

Mengkritisi Empati Pemimpin Indonesia Dalam Hadapi Bencana Nasional

detikcom
Bencana tengah melanda Indonesia. Tak hanya kebanjiran yang melanda ibukota DKI Jakarta dalam beberapa bulan terakhir, banjir dan tanah longsor yang menghanyutkan kota Menado Sulawesi Utara sekitar dua pekan yang lalu, namun juga letusan gunung berapi Sinabung di Sumatera Utara yang telah berlangsung beberapa waktu lamanya.

Untuk menunjukkan empatinya sebagai kepala negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu memutuskan untuk mengunjungi pengungsian Gunung Sinabung. Tindakan yang terpuji, meski tampak sedikit terlambat. Mengapa ke Sinabung ketika erupsi sudah berlangsung lama?

Kritisi terhadap kepala negara tak hanya itu. Pasalnya untuk menyambut kedatangan orang nomer satu republik ini dibutuhkan dana sebesar –yang awalnya dilansir- sebesar Rp 15 miliar. Dana tersebut dipergunakan untuk membangun tenda Very Important Person (VIP) untuk presiden beserta jajaran menteri Kabinet Pembangunan jilid dua plus Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang ikut dalam lawatan tersebut. Jelas saja sontak rencana tersebut menuai kritis. Sejumlah pihak mengkritisi hal tersebut dengan mengatakan presiden tidak memiliki sense of crisis dan sense of urgency. Alih-alih merasakan penderitaan pengungsi yang tidur dalam keadaan sempit-sempitan, presiden malah enak-enakan tidur di tenda mewah, lengkap dengan pendingin ruangan dan toilet duduk.

Belakangan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membantah kabar penggunaan tenda seharga Rp 15 miliar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sinabung. Ditegaskan presiden akan menggunakan tenda posko selama berkunjung di Sinabung. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, tenda posko itu biasa dipakai BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah untuk menampung pengungsi serta operasional di lapangan. Harga tenda posko tak menjulang seperti isu yang berkembang, tetapi hanya Rp 60 juta per unit.



Masih menurut BNPB, tenda posko semacam itu antara lain pernah dipakai di tempat bencana di Way Ela Maluku, di Mentawai, gempa Aceh, serta banjir Jakarta. Tenda posko bersifat multifungsi. Di Way Ela, saat tanggap darurat banjir bandang, tenda digunakan untuk posko, sekolah darurat, dan pengungsi. Adapun di Aceh digunakan untuk pengungsi, musala, dan penampungan logistik.

Tenda serupa di Mentawai dipakai untuk aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi. Di Yogyakarta, tenda digunakan untuk gladi, sedangkan di Monumen Nasional Jakarta digunakan untuk logistik penanganan banjir.

Baiklah mari kita hitung Rp 60 juta per unit untuk sebuah tenda. Itu baru satu unit, sedangkan rombongan presiden akan membutuhkan berunit-unit. Tapi akal sehat tetap mengatakan tenda tersebut masih terhitung mahal. Dengan uang Rp 60 juta sudah berapa nasi bungkus yang dapat dibagikan ke masyarakat yang sedang terkena bencana? Sudah berapa rumah sederhana yang dapat dibangun pasca bencana? Dimanakah letak sense of crisis dan sense of urgency para pemimpin negara ini?

Lain presiden, lain pula dengan ibu negara Ani Yudhoyono. Ketika semua rakyatnya tengah sibuk berjibaku melawan banjir dan gunung meletus, ibu negara malah sibuk dengan instagramnya. Pekan lalu Ibu Ani mengunggah foto cucunya, Airlangga Satriadhi Yudhoyono, yang sedang bermain piano mainan di Instagram. Foto itu diunggah Selasa (14/1/2014) dengan captionDo Re Mi Fa Sol La Si.. Do Re Mi Fa Sol La Ti.. Photo by Ani Yudhoyono F/4,5 . 1/100 . ISO 400. Lensa 18-200.”
Gambar ini sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan banjir Jakarta hingga salah seorang follower Instagram Ibu Ani, @zhafirapsp, mempertanyakan soal banjir Jakarta. “Di saat rakyatnya yang sedang kebanjiran, ibu negara malah sibuk dengan akun instagramnya :)),” kata @zhafirapsp
Nah, Ibu Ani merespons komentar ini dengan tanggapan pedas. “@zhafirapsp Lho ibu Jokowi dan ibu Ahok ke mana ya? Koq saya yang dimarahi?,” katanya.

Kontan saja hal tersebut kembali menuai kritik. Bukan apa-apa, masalahnya tragedi banjir bukan hanya terjadi di Jakarta, melainkan yang lebih parah terjadi juga di Menado. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB, jumlah korban tewas akibat banjir di Manado setidaknya mencapai 13 orang. Banjir ini terjadi di enam kabupaten/kota yaitu Manado, Minahasa Utara, Kota Tomohon, Minahasa, Minahasa Selatan, dan Kepulauan Sangihe.


Jika bencana tersebut sudah masuk kategori bencana nasional, apakah masih pantas seorang ibu negara malah sibuk dengan instagramnya dan tidak berempati sama sekali dengan rakyatnya? Inikah potret pemimpin-pemimpin negeri ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar