jpnn.com |
Lagi,
pemerintah Indonesia dituding pro asing dan tidak nasionalis terkait dengan
dominasi perusahaan asing di sektor minyak dan gas nasional. Selain itu pemerintah
juga dinilai mengkhianati konstitusi karena hak pengelolaan migas diserahkan
kepada asing.
Baru-baru
ini Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) Binsar Effendi Hutabarat
menilai pemerintah Indonesia mengerdilkan
Pertamina. Menurutnya Pertamina telah ditempatkan majalah Fortune Global 2013 di
posisi 122 dari 500 perusahaan terbesar di seluruh dunia dan merupakan
satu-satunya perusahaan asal Indonesia yang masuk dalam daftar bergengsi ini. Pemerintah,
masih menurut Binsar, harusnya bisa melihat prestasi Pertamina, bukan malah
mengerdilkannya. Yang terjadi justru pemerintah mengabaikan pencapaian
ketahanan dan kedaulatan energi, serta menyakiti hati rakyat Indonesia.
Tak hanya itu, lembaga kajian Indonesian
Resources Studies (IRESS) pada Rabu (16/01/2014) meminta pemerintah
untuk memberikan konsensi kepada BUMN untuk menjaga usaha energi dan migas
nasional. Pemerintah juga diminta mendukung penuh pengembangan dan dominasi
BUMN/Pertamina di sektor migas dan energy nasional melalui penguasaan cadangan
blok-blok migas yang potensial dan strategis, termasuk kontrak-kontrak migas
yang akan berakhir masa berlakunya.
Terkait dengan akan berakhirnya kontrak Blok
Mahakam pada tahun 2017, IRESS juga memintah pemerintah untuk segera memutuskan
bahwa pengelolaannya diserahkan kepada Pertamina. Sedangkan kontrak dengan
pihak asing, yakni Total E&P Indonesie dan Inpex tidak diperpanjang. Sikap
pemerintah perlu dideklarasikan selambat-lambatnya pada Januari 2014.
Desakan
pemerintah untuk pro perusahaan nasional sangat mengemuka menjelang tahun 2014,
tahun dimana pesta rakyat alias Pemilu akan digelar. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa sejumlah partai politik akan mencari dukungan publik, mencari popularitas
dengan memberi janji-janji palsu. Dan mendadak semuanya menjadi pro
nasionalisme.
Lepas
dari itu semua, sudah selayaknya semua pihak menyadari bahwa industri migas
bukan lah industri rumahan yang semua orang bisa menggelutinya. Industri migas
adalah industri yang padat karya, padat modal dan padat teknologi.
Mengapa
padat karya? Karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi akan membutuhkan ribuan
orang yang terlibat secara aktif. Bisa
dibayangkan untuk beberapa blok di Indonesia saja, Total mempekerjakan 20.000
orang karyawan tetap bekerja di berbagai lokasi di Indonesia. Perusahaan asal
Perancis ini telah beroperasi di lebih dari 130 negara memiliki sekitar 93.000
orang karyawan di bagian eksplorasi dan produksi minyak dan gas alam,
penyulingan dan pemasaran, gas dan energi alternatif, perdagangan dan industri
kimia.
Mengapa
padat modal? Kegiatan hulu migas ini merupakan industri yang mahal dan beresiko
tinggi. Untuk mengebor satu sumur saja setidaknya
diperlukan biaya US$ 20 juta. Padahal untuk mengalirkan produksi minyak atau
gas, dibutuhkan puluhan bahkan ratusan sumur untuk dibor. Itu jika beruntung
mendapatkan kandungan hydrocarbon. Sedang yang tidak menemukan apapun dalam
kegiatan eksplorasinya, maka resiko ditanggung perusahaan. Menurut Undang
Undang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah hanya dapat mengembalikan biaya
investasi suatu perusahaan jika ditemukan cadangan yang ekonomis dan dapat
diproduksikan.
Menurut data Satuan Kerja Khusus (SKK Migas),
setidaknya terdapat sejumlah perusahaan asing yang mengalami kerugian sebesar
total $1,9 miliar karena gagal menemukan cadangan minyak dan gas lepas pantai
di laut dalam yang diupayakan sejak 2009. Perusahaan tersebut adalah perusahaan
asing semua, yaitu Exxon Mobil Corp, Statoil ASA, ConocoPhillips, Talisman
Energy Inc, Marathon Oil Corp, Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co, Cnooc
Ltd, Hess Corp, Niko Resources Ltd, dan Murphy Oil Corp. Artinya
perusahaan-perusahaan tersebut harus menanggung biaya sendiri dalam kegagalan
kegiatan eksplorasinya. Bisa dibayangkan, betapa besarnya resiko yang harus
dihadapi suatu perusahaan migas dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan
produksi.
Point
terakhir, mengapa dikatakan padat teknologi? Industri migas membutuhkan
terobosan teknologi untuk mengetahui berapa besar cadangan yang dikandung suatu
blok. Diperlukan inovasi-inovasi teknologi terbaru. Perkembangan teknologi
terkini dipandang sangat perlu dalam rangka peningkatan produksi nasional.
Masalahnya, teknologi identic dengan investasi. Semakin canggih teknologi yang
digunakan akan semakin tinggi investasi yang dibutuhkan.
Melihat
faktor-faktor tersebut, masihkah pemerintah dianggap pro-asing? Sekadar kilas
balik, pada sekitar tahun 2008 pemerintah memenangkan Hess atas pengelolaan
Blok Semai V di Papua. Padahal saat itu Pertamina sudah menyatakan
ketertarikannya untuk mengelola blok tersebut. Blok tersebut dinilai potensial berdasarkan
data geologi karena diperkirakan mengandung delapan miliar kaki kubik gas.
Namun nyatanya beberapa tahun kemudian Hess melepas blok
tersebut. Jika saja Pertamina yang menang, tentunya perusahaan plat merah ini
harus merogoh kantong demi mengebor sesuatu yang tidak pasti.
Kini public harus berbesar hati bahwa
perusahaan migas nasional masih belumlah mampu untuk mengelola blok-blok besar
karena keterbatasan ketiga faktor tersebut diatas. Seperti misalnya Blok
Mahakam, Pertamina masih belum mampu untuk mengelolanya sendiri. Masih dibutuhkan
waktu untuk dapat mengelolanya dengan terus mempertahankan produksi.
Win-win
solution terbaik adalah dengan menerapkan joint operatorship, dimana operator
lama tetap diperpanjang namun dengan melibatkan Pertamina pula. Dengan demikian
pemerintah tidak akan dirugikan akibat potensi penurunan produksi. Apalagi kini
sejumlah perusahaan migas berhati-hati dalam menandatangani komitmen
investasi baru di Indonesia terkait dengan kurangnya kejelasan aturan.
Menurut saya gerakan nasionalisasi migas digunakan segelintir elemen masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan ambisi pribadi, kelompok tapi dapat mengorbankan kepentingan nasional yg lebih besar. Bayangkan misalnya seluruh perusahaan asing minggat dari Indonesia, mampukah Pertamina mengelola semua blok2 migas di Indonesia? Pertamina saja masih belum mampu mengembangkan blok2 migas yg dimilikinya. Pertamina menguasai 47% blok2 migas di Indonesia, tapi banyak yg idle/tidak dikembangkan. Dampak buruknya Indonesia akan terpuruk akibat krisis energi. Sekarang saja, Indonesia hrs mengimpor minyak dlm volume yg besar. Apalagi bila produksi migas oleh perusahaan2 asing di Indonesia distop. Lembaga-lembaga/LSM itu hanya ingin mencari perhatian dr berbagai pihak untuk mendatangkan pundi2 bagi lembaga2 mereka.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus