Rabu, 15 Januari 2014

Mengupas Isu Nasionalisme di Industri Migas Indonesia

jpnn.com

Lagi, pemerintah Indonesia dituding pro asing dan tidak nasionalis terkait dengan dominasi perusahaan asing di sektor minyak dan gas nasional. Selain itu pemerintah juga dinilai mengkhianati konstitusi karena hak pengelolaan migas diserahkan kepada asing. 

Baru-baru ini Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) Binsar Effendi Hutabarat menilai pemerintah Indonesia  mengerdilkan Pertamina. Menurutnya Pertamina telah ditempatkan majalah Fortune Global 2013 di posisi 122 dari 500 perusahaan terbesar di seluruh dunia dan merupakan satu-satunya perusahaan asal Indonesia yang masuk dalam daftar bergengsi ini. Pemerintah, masih menurut Binsar, harusnya bisa melihat prestasi Pertamina, bukan malah mengerdilkannya. Yang terjadi justru pemerintah mengabaikan pencapaian ketahanan dan kedaulatan energi, serta menyakiti hati rakyat Indonesia.

Tak hanya itu, lembaga kajian Indonesian Resources Studies (IRESS) pada Rabu (16/01/2014) meminta pemerintah untuk memberikan konsensi kepada BUMN untuk menjaga usaha energi dan migas nasional. Pemerintah juga diminta mendukung penuh pengembangan dan dominasi BUMN/Pertamina di sektor migas dan energy nasional melalui penguasaan cadangan blok-blok migas yang potensial dan strategis, termasuk kontrak-kontrak migas yang akan berakhir masa berlakunya.

Terkait dengan akan berakhirnya kontrak Blok Mahakam pada tahun 2017, IRESS juga memintah pemerintah untuk segera memutuskan bahwa pengelolaannya diserahkan kepada Pertamina. Sedangkan kontrak dengan pihak asing, yakni Total E&P Indonesie dan Inpex tidak diperpanjang. Sikap pemerintah perlu dideklarasikan selambat-lambatnya pada Januari 2014.

Desakan pemerintah untuk pro perusahaan nasional sangat mengemuka menjelang tahun 2014, tahun dimana pesta rakyat alias Pemilu akan digelar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejumlah partai politik akan mencari dukungan publik, mencari popularitas dengan memberi janji-janji palsu. Dan mendadak semuanya menjadi pro nasionalisme.

Lepas dari itu semua, sudah selayaknya semua pihak menyadari bahwa industri migas bukan lah industri rumahan yang semua orang bisa menggelutinya. Industri migas adalah industri yang padat karya, padat modal dan padat teknologi.

Mengapa padat karya? Karena kegiatan eksplorasi dan eksploitasi akan membutuhkan ribuan orang yang terlibat secara aktif.  Bisa dibayangkan untuk beberapa blok di Indonesia saja, Total mempekerjakan 20.000 orang karyawan tetap bekerja di berbagai lokasi di Indonesia. Perusahaan asal Perancis ini telah beroperasi di lebih dari 130 negara memiliki sekitar 93.000 orang karyawan di bagian eksplorasi dan produksi minyak dan gas alam, penyulingan dan pemasaran, gas dan energi alternatif, perdagangan dan industri kimia.

Mengapa padat modal? Kegiatan hulu migas ini merupakan industri yang mahal dan beresiko tinggi. Untuk mengebor satu sumur saja setidaknya diperlukan biaya US$ 20 juta. Padahal untuk mengalirkan produksi minyak atau gas, dibutuhkan puluhan bahkan ratusan sumur untuk dibor. Itu jika beruntung mendapatkan kandungan hydrocarbon. Sedang yang tidak menemukan apapun dalam kegiatan eksplorasinya, maka resiko ditanggung perusahaan. Menurut Undang Undang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah hanya dapat mengembalikan biaya investasi suatu perusahaan jika ditemukan cadangan yang ekonomis dan dapat diproduksikan.

Menurut data Satuan Kerja Khusus (SKK Migas), setidaknya terdapat sejumlah perusahaan asing yang mengalami kerugian sebesar total $1,9 miliar karena gagal menemukan cadangan minyak dan gas lepas pantai di laut dalam yang diupayakan sejak 2009. Perusahaan tersebut adalah perusahaan asing semua, yaitu Exxon Mobil Corp, Statoil ASA, ConocoPhillips, Talisman Energy Inc, Marathon Oil Corp, Tately NV, Japan Petroleum Exploration Co, Cnooc Ltd, Hess Corp, Niko Resources Ltd, dan Murphy Oil Corp. Artinya perusahaan-perusahaan tersebut harus menanggung biaya sendiri dalam kegagalan kegiatan eksplorasinya. Bisa dibayangkan, betapa besarnya resiko yang harus dihadapi suatu perusahaan migas dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi.

Point terakhir, mengapa dikatakan padat teknologi? Industri migas membutuhkan terobosan teknologi untuk mengetahui berapa besar cadangan yang dikandung suatu blok. Diperlukan inovasi-inovasi teknologi terbaru. Perkembangan teknologi terkini dipandang sangat perlu dalam rangka peningkatan produksi nasional. Masalahnya, teknologi identic dengan investasi. Semakin canggih teknologi yang digunakan akan semakin tinggi investasi yang dibutuhkan.

Melihat faktor-faktor tersebut, masihkah pemerintah dianggap pro-asing? Sekadar kilas balik, pada sekitar tahun 2008 pemerintah memenangkan Hess atas pengelolaan Blok Semai V di Papua. Padahal saat itu Pertamina sudah menyatakan ketertarikannya untuk mengelola blok tersebut. Blok tersebut dinilai potensial berdasarkan data geologi karena diperkirakan mengandung delapan miliar kaki kubik gas. Namun nyatanya beberapa tahun kemudian Hess melepas blok tersebut. Jika saja Pertamina yang menang, tentunya perusahaan plat merah ini harus merogoh kantong demi mengebor sesuatu yang tidak pasti.


Kini public harus berbesar hati bahwa perusahaan migas nasional masih belumlah mampu untuk mengelola blok-blok besar karena keterbatasan ketiga faktor tersebut diatas. Seperti misalnya Blok Mahakam, Pertamina masih belum mampu untuk mengelolanya sendiri. Masih dibutuhkan waktu untuk dapat mengelolanya dengan terus mempertahankan produksi. 

Win-win solution terbaik adalah dengan menerapkan joint operatorship, dimana operator lama tetap diperpanjang namun dengan melibatkan Pertamina pula. Dengan demikian pemerintah tidak akan dirugikan akibat potensi penurunan produksi. Apalagi kini sejumlah perusahaan migas berhati-hati dalam menandatangani komitmen investasi baru di Indonesia terkait dengan kurangnya kejelasan aturan.

2 komentar:

  1. Menurut saya gerakan nasionalisasi migas digunakan segelintir elemen masyarakat untuk memenuhi kepentingan dan ambisi pribadi, kelompok tapi dapat mengorbankan kepentingan nasional yg lebih besar. Bayangkan misalnya seluruh perusahaan asing minggat dari Indonesia, mampukah Pertamina mengelola semua blok2 migas di Indonesia? Pertamina saja masih belum mampu mengembangkan blok2 migas yg dimilikinya. Pertamina menguasai 47% blok2 migas di Indonesia, tapi banyak yg idle/tidak dikembangkan. Dampak buruknya Indonesia akan terpuruk akibat krisis energi. Sekarang saja, Indonesia hrs mengimpor minyak dlm volume yg besar. Apalagi bila produksi migas oleh perusahaan2 asing di Indonesia distop. Lembaga-lembaga/LSM itu hanya ingin mencari perhatian dr berbagai pihak untuk mendatangkan pundi2 bagi lembaga2 mereka.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus